[Satu hari setelah Violette sadar]
[Musim Panas. Tanggal 327 Tahun 3216]
Suatu tempat, di mana tak ada yang namanya persaudaraan di hadapan takhta. Tempat di mana penuh sejarah dari anak selir. Cordelia, ini adalah tempatnya. Istana mewah, di hadapan taman istana.
Di sana, dia duduk. Penuh keanggunan dari rambut dan mata perak yang dipancarkan. Seperti sebuah lukisan indah yang menyimpan cerita tragis di baliknya. Cordelia yang sedang menikmati camilannya terlihat seperti gadis tak berdaya. Dia terlihat lemah, namun menyembunyikan kekuatan di balik gaun birunya.
Perlahan, bibir gadis itu bergerak. Bukan untuk melahap kue yang ada di depannya. Namun, untuk berdiskusi dengan sosok yang ada di meja yang sama. “Jadi, apa yang ingin kau katakan?” tanya Cordelia de Claudia.
“Alodie Spearblood.”
“Tak kusangka, ada gadis gila yang berteriak-teriak di depan istana pribadiku,” bibirnya mencibir, Cordelia mengejek gadis yang ada di hadapannya. “Ibumu sudah kusembuhkan, mungkin traumanya cukup berat hingga mentalnya sedikit terganggu.”
“Yahh, dia bukanlah petarung seperti aku dan ayahku. Ibu tak terbiasa dengan situasi mencekam macam ini,” lirih Alodie. Jantungnya berdebar, dia tak ingin melihat ibunya menderita.
“Apa yang harus ku katakan. Keluargaku sudah hancur, dan bagaimana caraku berbicara dengan Putri Cordelia. Bagaimana caraku mengawali pembicaraan,” Alodie berpikir keras di benaknya. Cordelia yang cerdas dan mampu membaca emosi lawan bicara, dia bisa menebak dengan mudah. Namun, Cordelia tetap berperilaku sebagaimana mestinya.
“Apa yang kau pikirkan, katakan saja. Tenang ... dan perlahan,” suruhnya. Sendok besi menancap di kue, Cordelia hanya santai menanggapi situasi ini. “Ugh. Sebenarnya satu hari lalu keluargaku telah di hancurkan. Mansion, bisnis kami di serang. Mereka juga membunuh anggota inti keluarga, termasuk ayah dan pamanku.”
“Aku sudah tahu kok,” cibir Cordelia. Dia memangku sepiring potongan kue di pahanya, lalu menyendok—memakan perlahan. “Ehh?”
“Jadi kau sudah tahu semuanya, tapi malah bersantai.” Alodie membentak, dia berdiri dengan kuat hingga membuat kursinya terjatuh. Perlahan, matanya menyadari perilaku kurang ajarnya. “Maafkan saya Putri Cordelia. Saya telah tak sopan.”
Sorot mata perak darinya menusuk Alodie dengan penuh ketegangan. “Kau dan ibumu akan langsung ku usir jika kau melakukannya lagi,” ancam Cordelia. “Ck, padahal aku memberi bantuan secara cuma-cuma,” sambungnya. Alodie menelan ludahnya, dia takut dan mencoba menahan diri.
“Sudah cukup seumur hidup aku dipandang rendah hanya karena aku anak selir. Dan sekarang, bahkan orang yang kubantu meremehkanku,” pikir Cordelia. “Sudahlah, katakan langsung ke intinya.” Cordelia mengambil sepotong kue, karena yang di piringnya telah habis.
Seorang pelayan telah datang. Rambut dan mata coklat macam beruang. Namun, tak garang seperti binatang itu, dia malah penuh ketenangan.
Berjalan—perlahan dengan kehati-hatian. Membawa steak sapi panggang dengan saus yang meleleh dan juga semangkuk kue kering dengan ekstra kacang. Perlahan, menaruh makanan di atas meja di antara tatapan mereka berdua. Helena, si pelayan, dia berpindah ke belakang Cordelia duduk.
“Tak apa, dia pelayanku. Bibi Helena, orang yang ku anggap ibu. Dia bisa dipercaya kok.” Cordelia mencoba membujuk Alodie yang terlihat ragu dengan kehadirannya. Mungkin, dia hanya mengira Helena adalah pelayan biasa.
“Ahh, iyaa. Saat itu, hanya ada tiga belas orang yang menyerang. Dua Licanthrope dari suku anjing putih dan harimau. Mereka berdua sangat kuat, tapi sebelas pasukan yang mereka bawa juga tak bisa diremehkan.”
“Bahkan ... bahkan hampir dua ratus prajurit yang menjaga mansion telah mereka libas. Mereka juga menggunakan bahasa yang aneh, aku tak pernah mendengarnya. Semua orang itu menyebut diri mereka adalah Assailant.”
“Jadi Yvonne telah kembali? Sudah jelas aku harus berhadapan lagi dengannya. Ini merepotkan,” pikir Cordelia. “Namun, jika mereka kuat, lantas kenapa Alodie masih hidup?”
“Saat Licanthrope itu bertarung satu sama lain, sebelas orang lainnya hanya menonton, tak ikut campur sama sekali. Setelah itu, ada orang bernama Yvonne yang datang.”
“Sudah kuduga, Yvonne. Lima tahun tak menunjukkan batang hidungmu, kau ke mana saja. Pasti banyak yang kau persiapkan. Tak masalah, aku sudah menanamkan seseorang.” Cordelia berpikir sambil menikmati kue kering itu.
“Kau tahu penampilan Yvonne? Jelaskan semua,” suruh Cordelia. “Rambut pirang, mata merah darah. Dia seumuran dengan kita, mungkin 15 tahun. Dia begitu angkuh, tapi kesombongannya setara dengan kekuatannya.”
“Mata merah darah? Mata itu cukup langka,” pikir Cordelia. “Yvonne, pemimpin mereka. Gerakannya sangat cepat dan fleksibel. Tak ada gerakan yang sia-sia, dia petarung yang hebat. Semua gerakannya efisien, dia bahkan menggunakan tenaga musuh dan mengalirkannya menjadi miliknya.”
“Namun, yang menakutkan bukan hal itu. Dia bukan hanya petarung, tapi dia juga penyihir. Dia bahkan bisa melakukan tanpa rapalan.”
“Yahh, jika tanpa rapalan, aku tak terlalu terkejut. Sebelumnya, aku bertemu bawahannya yang berambut hijau. Dia juga bisa melakukan tanpa rapalan,” ungkap Cordelia.
“Dia juga bisa memanifestasikan sihir dari jarak jauh. Umumnya sihir hanya bisa dibentuk dari jarak dekat atau telapak tangan, kemampuannya sungguh unik. Mungkin, dia setara penyihir kerajaan.”
“Kerajaan? Bukan kekaisaran?” pikir Cordelia di benaknya. “Aku tahu, kemampuan Yvonne tak bisa diremehkan. Dia yang mengerikan dari semuanya,” puji Cordelia. Bahkan Sang Putri Kekaisaran Claudia juga mengakuinya.
“Jadi, apa yang kau bawa.” Satu pertanyaan dari Cordelia mengubah ekspresi Alodie. Sang Putri seolah sudah tahu apa yang terjadi. Tentang hal yang disembunyikan Alodie, bahkan tujuannya.
“Ayo, katakan,” suruh Cordelia sambil menggigit sendok. “Yvonne saja sekuat itu, tak mungkin kau dibiarkan hidup setelah melihat wajahnya.”
“Anda benar. Putri, otak anda memang sesuai dengan rumornya.” Alodie memuji sambil memotong sapi panggang—perlahan dan sedikit gugup. “Yvonne ingin saya menyampaikan sesuai untuk anda.”
“Untuk dirimu, Cordelia. Situasi membuat kita tak akan pernah bisa saling bertatap mata dengan benar. Kau dan aku sama cerdasnya. Jadi, aku akan langsung ke intinya. Sebentar lagi, aku akan membunuh Garnet la Florist, kepala keluarga Florist pada tanggal 329. Sekitar dua hingga tiga hari lagi. Kau tahu apa maksudku bukan? Kau pasti menerimanya, dan aku sudah tahu itu. Karena, kita saling memahami.”
“Sekian, itu adalah pesan yang disampaikan Yvonne,” sambung Alodie. Cordelia termenung, ekspresi tenangnya tak bisa dibaca. Ekspresi yang sama seperti biasanya, dia bahkan menggigit sendok kue itu. “Sebuah undangan ya,” pikir Cordelia.
“Wah, Putri Cordelia. Yvonne ini orang yang sedikit menarik,” gumam Helena, bibirnya tersenyum tipis. “Yahh, begitulah bibi. Dia orang yang cukup merepotkan,” ungkap Cordelia, membalas perkataan pelayannya.
“Yvonne, kau orang ketiga yang tak memandang rendah diriku. Selain kak Michael dan bibi Helena tentunya. Namun, ini jelas berbahaya untukmu.” Cordelia terlarut dalam pemikirannya.
“Kau pasti bergerak sendirian, jika bersama bawahan kau tak akan bisa bergerak fleksibel,” pikirnya. “Baiklah, sekarang waktunya aku menyiapkan beberapa hal,” kata Cordelia sambil beranjak dari kursinya. Dia berjalan—menjauh dari Alodie yang duduk di sana. Alodie tersentak, dia memanggil Cordelia, “tunggu, Putri Cordelia.”
“Pulanglah, aku tak akan membantumu balas dendam,” suruh Cordelia. “Jadi, anda sudah tahu?”
“Bukankah dari tadi sudah kusuruh langsung ke intinya? Kau benar meremehkan perkataanku.” Cordelia berjalan, semakin menjauh darinya. Alodie dengan seluruh tenaganya berlari, kini dia tepat di hadapan Cordelia. Pandangan mereka saling bertemu.
“Kumohon, bantu saya. Akan kulakukan apa pun untuk balas dendam ini,” ungkapnya. “Aku tak tertarik, bekerja sama dengan Duke lebih berguna. Keluarga Spearblood saja sudah hancur, apa gunanya untukku?”
“Saya akan membangkitkan Keluarga Spearblood dengan tanganku sendiri. Saya akan segera menguasainya, teknik tombak darah terkuat.”
Ekspresi dingin Cordelia masih memberikan penolakan. Alodie menggenggam roknya, menundukkan kepala karena ke tidak berdayanya. “Kumohon.”
“Aku tak suka bawahan yang membangkang. Selain itu, kau harus menurutiku tanpa syarat,” usul Cordelia. Wajah Alodie terlihat bersinar, dia melihat cahaya harapan. “Baik,” katanya.
“Yvonne itu kuat, kau tak akan bisa mengejarnya. Jadi, kau harus menuruti perkataanku,” ungkapnya. “Baiklah, Putri Cordelia.”
“Bodoh, dari awal memang itu tujuanku. Terlalu sedikit orang di sisiku. Hanya dengan sedikit pancingan, kau menurut,” pikir Cordelia de Claudia.
“Putri, sisa makanannya akan saya bersihkan,” sela Helena, pelayan dari Cordelia. “Baiklah bibi Helena. Setelah itu ayo bergabung denganku.”
[Me and the Underworld]
Di suatu tempat, di hari yang bersamaan saat Alodie Spearblood meminta bantuan Putri Cordelia de Claudia. Di bawah rembulan malam, di desa kumuh, di dalam sebuah rumah sederhana dari kayu. Ada Yvonne, dia menggunakan identitasnya sebagai Fasha untuk menemui seseorang.
“Bagaimana penawaranku, lumayan bukan,” bujuk Fasha. “Namun, ini terlalu berbahaya untuk kami. Apa yang akan kau lakukan dengan hal itu.” Nampaknya, wanita yang ada di hadapannya tak sepenuhnya mempercayai Fasha.
“Mira, tenanglah. Apa pun yang kau lakukan, aku tetap akan menjamin keamananmu. Aku bahkan membayar tinggi untuk hal ini,” bujuk Fasha. “Dia bahkan tahu namaku, sebanyak apa yang dia selidiki dari Keluarga Florist,” pikir Mira di benaknya.
“Maaf, penawaran darimu terlalu berisiko. Aku sudah cukup nyaman hidup macam ini,” ungkap Mira. Dia masih kekeh menolak hal yang ditawarkan Fasha. Padahal itu mungkin kesempatan yang akan mengubah hidup mereka.
Di antara meja yang memisahkan Fasha dan Mira, ada sebuah pemikiran yang tak dapat dikatakan. Tentu penawaran itu menggiurkan bagi siapa pun, tapi Mira menolaknya. Bukan karena dia bodoh, tapi dia menyayangi adiknya yang sakit.
“Kau yakin? Padahal kau terkena siksaan juga.” Perkataan yang di lontarkan Fasha membuat Mira terkejut. Mira bangkit—menggebrak meja—menatap Fasha dengan sorot yang menyedihkan. Tindakannya seolah mengatakan “bagaimana dia bisa tahu.”
Perlahan, suara terdengar. “Kakak, apa ada tamu.” Bocah lelaki yang ada di ujung ruangan itu menggumam. Dia terbangun, mungkin suara meja telah menggugah tidurnya. Sepertinya, dia adalah adik dari Mira.
“Kakak, itu siapa?” tanya bocah itu. Mira melirik ke arah adiknya, wajahnya yang tadi terlihat kasihan berubah menjadi ramah, “tidak kok. Tidurlah.”
“Tolong, jangan katakan itu di depan adikku,” gumam Mira. Fasha hanya terdiam, ujung bibirnya melebar. “Kau juga suka dipukul dan dicambuk olehnya. Apa kau tak masalah? Uang yang kutawarkan setara dengan biaya seumur hidup.” Fasha menggumam, tetap kekeh menawarkan hal yang dia berikan.
Mira menelan ludahnya dengan terpaksa. Ketakutannya dan rasa tak nyaman semakin menjalar hingga tangannya gemetar. Dia memegang erat rok di pahanya. Dan sekali lagi, kepalanya menggeleng memberikan penolakan pada tawaran Fasha. “Maafkan aku Fasha. Aku tetap tak bisa melakukannya demi keselamatan adikku.”
Gadis itu menggertakkan giginya, membanting meja ke samping. Segera melayangkan tangannya—mencekik Mira. Dia di angkat hingga terpojok ke dinding. “Aku sudah berbaik hati mau mengubah nasibmu, dan kau menolaknya.”
“Aku sudah bersikap cukup lunak,” teriak Fasha. Kuku jari tajam merobek pakaian Mira. Memperlihatkan punggung wanita itu, penuh bekas lebam. Macam lukisan tragedi yang tak pernah menuntut keadilan. Banyak, banyak sekali bekas sayatan dari gesekan cambuk.
“Kakak, apa ini.” Perkataan yang diiringi dengan nada penuh kekecewaan, membuat Mira menengok ke adiknya.
Sosok rapuh dengan benjolan kecil yang mengkilap di beberapa bagian. Luka terbuka di lehernya yang tak kunjung sembuh, bahkan berkerak. Sosok menyedihkan—menahan tangis yang hampir tumpah karena kakaknya, Mira.
“Ti ... tidak. Bukan begitu.” Rasa gugup menyelimuti Mira diselingi kesedihan yang menyayat membuat perkataannya terbata-bata.
“Jadi yang orang ini katakan itu benar. Kakak sering dipukul oleh Florist, keluarga bangsawan itu.” Hanya dengan satu momen, hal ini berjalan penuh sesuai keinginannya. Dan, dengan satu sentuhan terakhir. “Benar,” ungkap Fasha.
“Kak Mira. Kenapa kau merahasiakan ini dariku. Bukankah sudah kubilang aku tak perlu diobati, jangan memaksakan dirimu bekerja di sana. Kenapa kau tak mengerti.”
“Justru kau yang tak mengerti,” bentak Mira padanya. “Kau, kau satu-satunya yang tersisa. Aku tak ingin kau mati. Aku akan melakukan apa pun untuk menyembuhkanmu,” ungkap Mira. Dia memegang bahu adiknya dengan kedua lengannya.
Tak seperti orang lain yang melihatnya dengan jijik, Mira justru menatapnya dengan kasih sayang. Itu wajar, karena mereka memiliki ikatan darah yang kuat. “Namun, jika aku menerima tawaran orang ini, kita bisa terancam.”
Mira memegang bahu adiknya. Wanita itu menunduk—menumpahkan tangis yang selama ini dia pendam. Perlahan, celana adiknya basah karena air mata darinya. “Kau, kau bisa mengatasi situasi ini bukan?” tanya bocah itu pada Fasha.
“Jadi hanya ini. Baiklah Mira, sebelumnya memang hanya dua, tapi kini aku akan menawarkan empat hal.” Fasha menggumam, ikut duduk di kasur. Masuk di antara pembicaraan mereka.
“Biaya koin emas. Penyembuhan adikmu. Keamanan kalian. Lalu, tempat tinggal yang jauh dari Florist. Jadi, bagaimana?” tawar Fasha. “Bagaimana jika ketahuan?” tanya Mira.
“Aku akan memprioritaskan keamanan kalian. Jika perlu, biar kuutamakan adikmu ini,” ungkapnya. “Aku hanya perlu menjadi mata dan telingamu di Keluarga Florist. Hanya itu bukan?” gumam Mira.
“Pagi ini, dan besok kau harus melaporkan segalanya padaku. Setelah itu di hari ketiga aku akan menggunakan identitasmu.” Penjelasan sederhana dari Fasha dapat dipahami oleh Mira.
“Biar kutambahi satu syarat lagi. Kau harus menjaga dan menyembuhkan adikku mulai saat ini.” Mira berdiri, tepat di hadapan Fasha. Pandangan mereka berdua bertemu—saling menatap satu sama lain.
“Memang itu niatku. Bawahanku sudah berada di depan pintu,” kata Fasha sambil berdiri. Dia pergi keluar ruangan, meninggalkan dua kakak beradik itu untuk bersiap siap.
Di sana, di luar. Ada Nino, salah satu bawahannya yang berjaga sejak awal. “Nona Fasha, memangnya perlu hingga seperti itu. Jika kakakku, dia pasti melakukan pendekatan emosional,” ungkap Nino pada Yvonne yang menggunakan identitas Fasha.
“Itu terlalu lama, aku cukup terburu-buru. Jadi lebih baik menunjukkan sisi buruknya ke adiknya itu,” ungkap Fasha. “Memangnya apa penyakit yang dideritanya.”
“Kanker kulit,” ungkap Fasha. “Jadi begitu, pantas saja tak ada yang bisa menyembuhkannya. Dibandingkan pengetahuan yang anda bawa, penyembuhan di dunia ini cukup terbelakang,” gumam Nino.
“Ya, itu benar,” jawab Fasha. “Salah satu contohnya adalah tumor,” sahut Nino.
“Di dunia ini cara menyembuhkan dengan sihir penyembuh hanyalah menyembuhkan. Tak ada hal lainnya yang efektif. Ini hanya cocok untuk luka sesaat di pertempuran, bukan penyakit yang rumit,” ungkap Nino.
“Di perpustakaan yang dikelola Keynara yang berisi ribuan buku yang anda tulis. Buku ke 13.867 yang kubaca, bab 5 halaman 134. Di sana berisi tentang tumor.”
“Cara untuk melawan Tumor adalah memotong dan membuangnya. Kesimpulannya adalah ada banyak metode untuk menyembuhkan yang berasal dari dunia anda. Dan itu bertolak belakang dari dunia ini.”
“Saya ingin mendengar pendapat anda secara pribadi. Kenapa dunia ini terasa bodoh jika dibandingkan dengan dunia lama anda. Padahal kami lebih kuat,” tanya Nino pada Fasha.
“Ingatanmu sungguh mendetail ya,” puji Yvonne. “Anda ini bagaimana,” ledek Nino. “Kan saya memang Atreya yang memiliki kemampuan ingatan detail.”
“Dia bahkan menyindirku secara langsung, mungkin cuma Nino yang berani seperti ini. Yahh, mulutnya memang sarkastik sih,” pikir Fasha.
“Dunia tempatku berasal tak memiliki sihir. Kami sangat lemah, bertolak belakang dengan di sini. Namun, karena mereka lemah, itu sebabnya mereka belajar,” ungkap Fasha.
“Jadi begitu. Di sini menggunakan kristal sihir untuk penerangan. Namun, di sana menggunakan listrik dan lampu bohlam. Yahh, markas sudah menerapkan lampu itu,” sela Nino.
“Sudah, masuklah ke dalam. Antarkan bocah itu ke markas kita, biarkan dia mendapat penyembuhan,” suruh Fasha. “Baiklah, senang rasanya berbicara dengan Anda.”
Di saat Nino memasuki pintu di belakang Fasha untuk menjemput mereka, saat itu anting logam di telinga kirinya bergetar. Lebih tepatnya kristal hijau di anting milik Fasha, kristal itu adalah kristal komunikasi. Fasha menyentuhnya dan berkata, “ada apa, Ayaa?”
“Apa? Daniel. Tak masalah, aku justru senang kau melaporkan hal ini padaku. Biar aku yang mengurusnya, kau sebutkan lokasinya,” gumam Fasha. Setelah itu, obrolannya dengan Ayaa telah terputus.
“Ini waktu yang tepat untuk menonjolkan satu dari tiga identitas buatanku,” gumam Fasha.
[Me and the Underworld]
Hutan gelap, tempat para monster dan hewan buas berada. Hutan sunyi, hanya terdengar semilir angin yang berteman dengan dedaunan dan dahan. Namun, di hutan yang sunyi itu, ada sebuah malapetaka bagi seseorang.
Langkah kaki yang terburu—sesuatu mengejarnya dari belakang, berkelompok. Bocah belasan tahun, berlari sambil meninggalkan keringat di jejaknya. Bocah dwarf itu melaju seolah bisa melihat dalam gelap, seolah hutan adalah taman di belakang rumahnya.
Bukan pepohonan dan medan hutan yang menjadi masalah bagi Daniel. Namun, sesuatu yang semakin mendekatinya seolah siap mencabik. Para bawahan bangsawan, Davin ra Holdein.
Luka sayatan di lengan kiri Daniel mungkin ulah mereka. Tak hanya itu, ada anak panah yang menancap kuat di punggung dwarf itu. Daniel adalah mangsa yang sedang diburu oleh mereka.
“Sial, sial, sial,” rintihnya. “Para begundal itu beraninya keroyokan,” lirih Daniel. Dia masih terus berlari, melompati akar dan batu besar. Suara rumput yang diinjak, nafas berat seolah dadanya terisi air.
Sebuah anak panah datang di tengah kegelapan, menusuk tepat ke kaki Daniel. Bocah dwarf itu terjatuh, terguling di atas tanah dan batuan kasar. Sekumpulan bajingan tengik penuh senjata yang mereka bawa semakin mendekati Daniel. Mereka petualang yang menjadi bawahan Davin.
Mereka telah datang bersamaan dengan Davin, bangsawan keluarga Holdein. Jarak di antara mereka hanya beberapa langkah dengan dwarf malang itu. “Daniel, bukankah sudah kubilang. Aku tak akan melupakan penghinaan itu,” rintih Davin.
“Tak cukup hanya mematahkan jarinya. Kau membuatnya buta. Kau merampas kemampuan memanahnya, padahal itu satu satunya bakat yang dia miliki.” Daniel merintih, dia menyeret tubuhnya sendiri dengan tangannya. Mencoba kabur sekuat tenaga, walau sia-sia.
Davin datang, mendekati Daniel yang kepayahan. Dia memegang lengannya, meletakkan jari Daniel di atas batu. Menginjaknya—mematahkan jari dwarf itu hingga dia merintih.
Daniel berguling di atas tanah kotor sembari memegang jarinya yang patah. Memuakkan, di antara puluhan orang yang memandang, tak ada satu pun di pihaknya.
“Apa ini, mengeroyok di malam hari. Memangnya kalian ini sekumpulan banci?” ledek suara dari atas pohon. Seorang gadis telah datang, rambut hitamnya yang seolah mewakili malam. Mata biru murni yang memisahkan Daniel dan semua orang di sana.
“Apa akan seperti itu lagi, apa dia mengenal Daniel,” pikir Davin di benaknya. “Tak mungkin orang ini akan membantunya. Setahuku, Daniel tak memiliki siapa pun lagi. Jadi, tak mungkin orang ini ingin membantunya,” pikirnya.
“Apa yang kau inginkan, kau tak bermaksud melindungi bocah itu bukan?” tanya Davin pada Fasha. “Kau salah paham. Dari awal, aku memang ingin membantu bocah ini.” Fasha mengambil pedang di punggungnya.
“Daniel, kenalanku bilang kau suka menggunakan trik saat berkelahi,” ungkap Fasha sambil membuang pedangnya menjauh. Fasha melucuti beberapa pisau di pahanya. Dia bahkan melepas armor kulit Serpent di dadanya. “Akan kutunjukkan padamu. Pertarungan dengan cara paling licik,” katanya. “Ayo, sini maju.”
Satu pria maju sambil menebaskan pisau. Fasha memegang lengannya, memutar tubuh pria itu—menggunakannya sebagai perisai. Fasha mendorongnya ke depan, membuatnya tertusuk pedang rekannya.
Dia menurunkan tubuhnya sendiri, memutarnya—gerakan sapuan dengan kaki yang merobohkan para petualang. Satu wanita datang mencoba menebas Fasha dari belakang. Namun, yang di lakukan gadis itu hanya melempar sekepal tanah ke wajahnya. Pandangannya terhalangi, punggung kakinya dipukul dengan batu yang lancip.
“Manfaatkan hal di sekitarmu, Daniel,” katanya. Fasha meloncat begitu tinggi, melemparkan tanah sekali lagi ke seluruh orang yang memandangnya.
Kakinya mendarat di wajah seseorang, membenamkannya di tanah kasar. Dua jarinya menusuk hidung, membantingnya ke batuan. Fasha sengaja melakukannya, punggung orang itu terbentur sudut batu tajam.
“Lihatlah, bagian mana yang harus di incar,” teriaknya. Satu tendangan kasar mengarah ke kelamin seseorang, menghancurkan alat vital mereka. Pukulan lurus ke ulu hati. Bahkan, saat ada yang mencoba memukul dirinya. Bukannya menangkis, Fasha menahan pukulan mereka dengan ujung sikutnya. Mungkin jari mereka patah karena hal itu.
“Jangan pernah memukul kepala,” suruh Fasha. “Pelipis, hidung, jakun, leher, mata, filtrum.” Fasha menyebut bagian itu sembari menyerangnya. Serangan tepat dan cepat pada bagian.
“Jadi, jangan hanya terpacu pada satu target. Pandanganmu harus lebih luas,” suruh Fasha. “Dia bahkan memukul bagian belakang kepala, menggigit jari yang menuju wajahnya, menyerang mata dengan kuku, merobek telinga, mematahkan hidung, hingga menusukkan pisau di antara rusuk,” pikir Daniel.
“Jadi, apa kau sudah paham semuanya. Daniel,” tanya Fasha. Lengan kirinya menjambak rambut wanita yang sudah tak sadarkan diri. Semua orang telah terkapar, tak berdaya. Namun, tak ada tanda keberadaan Davin sama sekali. “Bocah bangsawan itu kabur dari awal. Yahh, bukan urusanku. Aku tak peduli,” ledek Fasha.
“Kakak, apa itu kau?” tanya Daniel. “Kak Yvonne,” sambungnya.
Fasha terkejut, matanya terbelalak. Dia melepaskan rambut wanita itu dari genggamannya. Tubuhnya membeku mendengar perkataan Daniel. Namun, dia berusaha bersikap tetap tenang. “Bagaimana Daniel bisa tahu identitasku,” pikir Yvonne yang menggunakan identitas Fasha.
Dia menarik kerah baju Daniel. Mereka berdua berteleportasi, berpindah cukup jauh dari tempat itu. Walau masih tetap di dalam hutan. “Ya, aku Yvonne,” ungkapnya.
[Me and the Underworld]
“Ya, aku Yvonne,” ungkap Fasha. Perlahan, rambutnya berubah menjadi pirang. Tubuhnya memendek, berubah ke tinggi aslinya. Mata merah darah mulai terlihat. Dia Yvonne, dia telah mengubah tubuhnya, melepaskan diri dari penyamaran.
“Bagaimana bisa kau tahu. Mhmm?” tanya Yvonne. Daniel menghela nafasnya, dia begitu lega melihat idolanya. “Sejujurnya, tadi hanya firasatku.”
“Huhh, baiklah. Aku sendiri tak menyangka, bocah yang dulu hanya kasir yang membantu ibunya. Sekarang malah berubah menjadi petualang yang mengacungkan pisau di berbagai tempat,” Yvonne meledek. Dia duduk, bersandar di bawah pohon sembari mengamati Daniel.
“Sejujurnya, ini semua memuakkan untukku. Dunia di luar rumah cukup mengerikan. Aku tak pernah terbiasa, tapi aku memaksakan diriku,” ungkap Daniel.
“Kak Yvonne, kenapa kau barusan menyelamatkanku?” tanya Daniel. “Mana mungkin aku mengabaikan hidup orang yang mengikuti perkataanku.”
“Kau mengikuti saranku bukan? Aku pernah menyuruhmu untuk hidup dengan berani hingga tak ada yang mampu menatap matamu. Kau harus menggunakan keberanian itu untuk melindungi,” ungkap Yvonne.
“Saat aku menyelamatkanmu dari petualang yang bernama Aron, saat di kedai ibumu. Aku mengatakan hal itu,” ungkap Yvonne. Daniel hanya tersenyum, semua yang dikatakan Yvonne adalah kebenaran. Daniel hidup sesuai saran idolanya.
“Lima tahun sejak kita bertemu, berarti umurmu sekarang 13 tahun bukan?” tanya Yvonne. “Iyaa,” jawab Daniel singkat.
“Apa yang terjadi Daniel. Kenapa kau tak di kerajaan para dwarf, Funisia. Di sana tempatmu berasal, bukan di sini.” Satu pertanyaan yang dilontarkan Yvonne membuat Daniel menunduk. Dia meratapi semuanya dengan menunduk—menatap tanah. Perlahan, tanah berdebu itu menjadi basah, bukan karena hujan, tapi terkena air mata Daniel.
“Ibu telah mati. Dia telah di bunuh mereka. Ibu menyuruhku sembunyi di meja kasir saat para bajingan itu menyerang. Aku hanya mendengar suara tebasan dan teriakan ibuku saat itu. Lalu, aku teringat nasehat darimu kak, aku harus berani untuk melindungi. Aku mengambil pisau dapur, menusuknya dari belakang.”
“Untung saja saat itu hanya ada satu dari mereka. Aku membunuhnya dengan tanganku sendiri, sekuat tenaga. Aku berlari, menggendong tubuh ibu sambil berteriak meminta bantuan. Hanya ada kekacauan di sana. Prajurit dwarf sibuk melawan musuh di sana.”
“Aku berlari sambil menggendong ibu di punggung, meminta bantuan ke siapa pun. Namun, hanya mayat dan puing bangunan berserakan yang ada. Tak ada siapa pun yang menolong kami, ibu telah mati di gendonganku. Jadi, aku kabur, keluar dari Kerajaan Funisia dan memasuki hutan. Di sana ada Goblin dan Orc. Aku kabur hingga akhirnya terjatuh ke tebing. Syukurlah di bawah sana ada air.”
“aku pingsan selama beberapa hari, aku di rawat oleh pasangan lansia. Mereka manusia yang baik, tapi suatu hari aku tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Mereka berniat menjualku di pasar budak, jadi aku kabur saat itu juga. Tanpa arah, melakukan segalanya untuk tetap hidup hingga akhirnya menjadi petualang.”
“Wah, rumit juga,” gumam Yvonne. “Benar, itu masa yang berat untukku. Saat menjadi petualang, ada rekan yang selalu bersamaku. Dia adalah seorang pemanah yang cukup hebat. Itulah sebabnya aku begitu marah saat dia dilukai Davin.”
Yvonne berdiri—berjalan perlahan penuh keangkuhan ke arah Daniel. Dia tepat di depan dwarf muda itu. “Daniel, aku tahu siapa yang menyerang Kerajaan Funisia.”