Undangan Untuk Cordelia

“Jadi hanya ini?” ledek seorang gadis di sana. Berdiri di atap mansion—penuh kesombongan yang dipancarkannya. Memandang rendah semuanya seolah dia adalah yang terbaik, kesombongan mutlak yang terpancarkan.

Rambut pirangnya berkibar terkena angin, bersinar terkena cahaya rembulan yang menerpa. Wajah yang elok, mata merah darah yang memandang rendah, sosok beliau yang dari tadi Zero sebut. Yvonne, dia telah datang.

Yvonne, datang tanpa membawa senjata apa pun. Hanya mengenakan baju hitam ketat, dia bahkan tak memakai apa pun untuk menutupi wajahnya. dia sengaja memperlihatkan wajah ikonik yang memimpin perburuan bangsawan.

Yvonne, memandang rendah mereka bertiga. Matanya yang penuh kepercayaan diri bergerak—melirik ke arah Elizabeth. Bibirnya bergerak, dia mulai mengatakan sesuatu. “Elizabeth. Julukan yang kuberikan untukmu ternyata benar.”

“Fisikmu, setara denganku.”

“Tuan Yvonne, kenapa anda bersikap sombong begitu, seolah jarak di antara kita cukup jauh,” gertak Elizabeth padanya. “Kau tak sadar diri, katanya kau mengikuti orang kuat. Jadi, ikuti perintahku dengan benar, aku tak suka bawahan yang membangkang.”

“Tak mau. Anda cuma suka memerintah dan duduk di tempat, anda tak cukup kuat untuk memerintahku,” sanggah Elizabeth. Gadis pirang itu tersenyum tipis, dagunya terangkat menanggapi Licanthrope itu dengan penuh sifat kesombongan.

“Tunggu, apa yang mereka bicarakan? Bahasa apa itu,” Alodie kebingungan dengan hal yang terjadi di depannya. “Bahasa para High Elf? Atau para raksasa? Tidak, bukan. Aku pernah melihat mereka berbicara, tapi bahasa ini jauh berbeda dengan bahasa ras itu.”

Tenggelam dalam pemikirannya sendiri, Alodie mencoba mencari tahu berasal dari mana bahasa yang mereka gunakan. Namun, itu percuma saja, bahasa yang digunakan para Assailant adalah bahasa inggris, sebuah hal yang tak berasal dari dunia ini.

Setelah menatap bawahannya dengan kerendahan, Yvonne menggumam, “jadi, aku hanya perlu menunjukkan kekuatanku bukan?”

“Kemarilah harimau kecil, ayo bermain,” ledeknya. Dia memperlakukan hewan buas macam Elizabeth seperti sebuah kucing. Tentu itu akan mencoret harga dirinya yang berasal dari Licanthrope ras harimau, ras terkuat di antara Licanthrope lain.

Elizabeth melompat, menggigit pedangnya sendiri. Dia memanjat mansion dengan lincah, lalu saat di atap. Pedang besarnya dia tebaskan tepat ke arah wajah Yvonne. Dia ingin menghancurkannya—wajah kesombongan yang merendahkannya. “Kena,” pikir Elizabeth.

Namun, saat pedang itu berjarak beberapa cot (cm), Yvonne tersenyum. Gadis pirang itu hanya menggeserkan tubuhnya ke samping menghindarinya, sambil melihat ke arah pedang itu.

Lagi, tak ingin serangannya sia-sia, dia menebaskan pedang beratnya beberapa kali hingga menghancurkan genting di atap mansion. Dan seperti yang Zero pikirkan, Yvonne menghindari tebasan pedang Elizabeth, bahkan Yvonne terlihat santai. “Serangan tak teratur macam itu tak bisa digunakan untuk melawan beliau,” gumam Zero.

“Bahasa apa itu sebenarnya, bahasa apa yang mereka gunakan,” pikir Alodie saat mendengar Zero berbicara.

“Serangan berat dari pedang 100 kilogram dan tenaga kuat suku harimau, aku mengakuinya jika siapa pun yang terkena pedangmu, tulangnya akan hancur,” puji Yvonne. Dia mempermainkan Elizabeth, dia bahkan berbicara sambil bertarung. Yvonne hanya melakukan gerakan kecil untuk menghindari.

“Tuan Yvonne, jangan mengatakan hal yang tak perlu,” suruh Elizabeth. Dia benar-benar kesal karena lawannya tak mau beradu serangan dengannya. Elizabeth melompat, dia menghantam Yvonne dengan pedang besarnya hingga menghancurkan atap mansion.

Sebenarnya apa yang terjadi, bahkan serangan melompat dari Elizabeth juga tak dapat menyentuhnya walau hanya sehelai rambut. Pedang besar Beth menancap di atap, Yvonne berdiri tepat di sampingnya, tatapan dari mata merah darahnya menatap Elizabeth.

“Mungkin seranganmu yang terkuat di antara para Sword. Namun, secara keseluruhan, kau bukan yang teratas,” ledek Yvonne. Perlahan, lengan berototnya melepaskan pedang besar itu. Pukulan lurus mengarah ke dagu Yvonne, pukulan dengan seluruh tenaganya. “Berisik,” teriaknya.

Perlahan, Yvonne menangkap lengan Elizabeth yang mengarah ke dirinya. Dia juga memegang kerah baju dari Beth. Yvonne melempar binatang itu, bukan dengan tenaganya sendiri, tapi dengan tenaga pukulan Elizabeth.

Terbang melayang tanpa pijakan. Elizabeth menjauh dari mansion, dia mulai jatuh ke bawah. Dan dari posisinya, dia melihat seorang gadis pirang meloncat dari atap. Yvonne, dia berdiri di atas Elizabeth yang terjatuh.

Tubuh harimau perkasa itu menghantam tanah dengan kuat. Dia dipeluk oleh gravitasi planet. Tak hanya itu, Yvonne bahkan masih berdiri di atasnya walau mereka sudah mendarat. “Saat aku mengatakan fisikmu setara denganku, bukan berarti kau setara denganku. Bodoh.”

Perlahan, kaki kanan Yvonne terangkat dengan anggun. Kaki itu menurun kebawah dengan kecepatan tinggi, menyerang Beth—membenamkan kepala harimau itu ke dalam tanah. Yvonne meloncat, menyingkir dari tubuh bawahannya, yaitu Elizabeth.

“Apa apaan itu, dia menghindari serangannya dengan gerakan sederhana. Setelah itu saat menemukan celah, dia melemparnya dengan tenaga musuhnya sendiri. Dia bahkan menambah kecepatannya saat menabrak tanah dengan cara menaikinya,” pikir Alodie saat melihatnya.

“Inikah... inikah kemampuan dari Yvonne, pemimpin dari para Assailant,” pikirnya lagi. Alodie terkejut, dia terlihat kagum dengan gerakan efisien yang dilakukan Yvonne. Namun, di sisi lain dia juga merasa ketakutan hanya dengan keberadaan gadis pirang itu.

Setelah menyingkir dari tubuh Elizabeth, Yvonne memegang kaki Licanthrope itu. Dia melemparnya menjauh hingga terguling di atas taman mansion. Elizabeth mencoba berdiri, dia tetap percaya diri dan ingin melawan Yvonne. Di pipi Beth, terlihat bekas sepatu milik Yvonne

“Apa anda tak ingin melepasnya terlebih dulu,” tawar Elizabeth padanya. Yvonne terkejut, matanya terbuka lebar menyadari sesuatu. Perlahan, Yvonne menurunkan pandangannya—memandang ke sepatunya. Sepatu hitam mengkilat dengan hak tinggi. Memangnya ada orang yang berkelahi dengan high heels?

Tak ingin membuang kesempatan, Beth segera berlari ke arah Yvonne tanpa menimbulkan suara. Yvonne masih memandang ke sepatu hitamnya. “Apa seharusnya kucopot ya?” gumam Yvonne. Dia masih terus memandang ke sepatunya, Elizabeth menggerakkan kepalan tangannya, dia siap memukul kepala Yvonne.

Saat jarak di antara mereka hanya tersisa kedipan mata. Sesuatu telah terjadi, suatu hal yang tak pernah di sangka. Kaki Yvonne mendarat di dagu Elizabeth, heels tajam miliknya menancap di sana. Sebuah tendangan dengan kecepatan tinggi yang tak disadari oleh lawan. “Atau tak perlu?” ledek Yvonne sambil menyeringai.

Lututnya tertekuk, tanpa disadari dia sudah menunduk di depan Yvonne. Beth memegang dagunya yang bercucuran darah. Di sana mungkin berlubang, karena heels yang dipakai Yvonne cukup kecil dan panjang. Matanya terbelalak, keringat dingin di telapak tangannya tercampur dengan darah amis yang menetes. “Bagaimana, apa aku tak cukup kuat untuk memerintahmu?”

Elizabeth bergetar, namun dia berusaha terlihat tenang. Dia tersenyum lebar, seolah suatu hal yang dinanti telah tiba. Perlahan, dia mencipratkan darahnya ke samping, membuangnya menjauh. “Iyaa, saya dengan senang akan melayani anda mulai hari ini,” katanya sambil merunduk. Kepalanya bersujud—menempel dengan tanah kasar dan rumput hijau. “Angkat kepalamu,” suruh Yvonne.

Hanya dengan satu perintah, Elizabeth mengikutinya. Dia sebelumnya ragu karena Yvonne terlihat lemah, tapi jika gadis pirang itu cukup kuat, dia dengan senang hati mengikutinya.

Perlahan, Yvonne mengangkat tangannya. Memanifestasikan mana menjadi sihir yang menarik pedang besar Elizabeth dengan kuat. Pedang itu ditarik hanya dengan sihir, tetapi pedang besar itu menuju dirinya dengan kecepatan tinggi. Yvonne akhirnya menangkap pedang besar itu, dia memegangnya dengan kedua tangannya.

“Hah? Itu sihir, aku sangat yakin dengan pasti jika dia menggunakan sihir untuk mengambil pedang itu,” pikir Alodie saat melihatnya. “Hampir mustahil mewujudkan sihir dari jarak itu, hanya level penyihir kerajaan yang mampu. Terlebih lagi, dia ternyata seorang Dual Role (petarung sekaligus penyihir).” Alodie terjebak dalam pikirannya sendiri.

Yvonne mengambil kuda-kuda, kakinya terbuka cukup lebar sebagai fondasi tubuh. Perlahan, dari bawah ke atas tebasan kuat telah terjadi. Tebasan vertikal tepat di samping Elizabeth—hampir mengenainya. “Aku tak suka bawahan yang tak bisa di atur. Kau paham,” gertak Yvonne padanya.

“Iyaa, saya paham,” gumamnya. Yvonne meninggalkan Elizabeth yang sudah cukup jinak. Dia berjalan, menuju ke arah Zero dan Alodie Spearblood. Satu-satunya keturunan Keluarga Spearblood yang masih hidup.

Elizabeth menoleh ke belakang. Rasa kagum bercampur ketakutan terukir di jantungnya. “Wah sialan, dengan pedang berat itu dia membelah mansion besar secara vertikal hingga hancur. Aku bahkan tak bisa melakukannya,” pikir Beth di benaknya. Mulai saat ini dia menancapkan suatu hal dengan pasti di pikirannya. Bahwa dia tak akan pernah memancing kemarahan Yvonne, bahkan satu kali.

[Me and the Underworld]

Kaki ramping yang cukup panjang ditutupi celana hitam ketat. Melangkah penuh ketidakpedulian terhadap semuanya. Sorot mata merahnya menusuk ke dada Alodie. “Tunggu, kenapa dia mendekatiku. Apa dia akan menyiksaku untuk mencari informasi,” pikir Alodie, putri Keluarga Spearblood.

Rasa takut merayap di punggungnya, sekuat tenaga dia menggerakkan kakinya. Perlahan, meronta seperti tikus yang ketakutan. Alodie mencoba merangkak walau kakinya patah. Namun, Yvonne sudah berada di depannya tanpa dia sadari. “Tenanglah, aku takkan melukaimu. Aku berjanji,” desisnya.

Suara Yvonne terdengar dingin, tak ramah dan mendebarkan. Alodie yang tak sanggup melakukan apa pun, dia mencoba menurutinya. Nyawanya terlalu berharga jika dia buang.

“Kenapa kau menyerang kami, kenapa membunuh ayahku?” suara Alodie bergetar, penuh ketakutan. Namun, dia sudah dikuasai kebencian. Mata bocah itu melihat Yvonne penuh dengan kebencian. “Karena dia pantas mati,” jawab Yvonne singkat, perkataan tanpa keraguan di dalamnya.

“Apa yang kau inginkan dariku,” desisnya. Yvonne menyeringai, dia sangat menyukai situasi ini. Saat di mana semua hal berjalan sesuai dengan perkiraannya.

“Ada yang harus kau lakukan untukku.” Perlahan, Yvonne menurunkan tubuhnya. Tangannya meraba ke kaki Alodie yang patah. “Kakiku dia sembuhkan,” pikir Alodie Spearblood.

Yvonne menarik kerah gadis itu. Perlahan, mendekatkan bibir manisnya ke telinga Alodie. Suatu hal dia bisikkan padanya, entah apa itu. Namun, Alodie terlihat diam membeku saat mendengarnya. Setelah itu, gadis itu berdiri—berjalan menjauhi Yvonne tanpa melirik ke belakang.

“Aku sudah menyisipkan dua koin emas di kantungmu loh!” teriak Yvonne. “Itu biaya untuk melakukannya,” kata Yvonne. Perkataan yang seolah mengejek, tetapi tak bisa dibantah oleh Alodie Spearblood.

“Tuan Yvonne, anda membisikkan apa padanya?” tanya Zero. “Suatu hal yang tak mungkin dia tolak. Entah Alodie suka atau tidak,” gumam Yvonne Isabelle Coquette.

“Yvonne, suatu hari nanti. Aku akan membunuhmu dengan tombakku,” pikir Alodie. Dia menggigit lidahnya—menahan kebencian yang mendalam. Dia telah di injak-injak.

“Entah kenapa situasi barusan terasa tak asing untukku,” gumam Yvonne. “Tak asing?” tanya Elizabeth di sana. Di belakang harimau itu, ada sebelas member, pasukan tingkat terendah dari organisasi Yvonne.

“Iyaa. Saat di mana aku menghadapi samurai dari timur di kehidupan pertama. Aku berlari bersama ibuku hingga kematian menjemput. Situasi Alodie barusan cukup mirip dengan masa laluku.”

“Saya tak tahu anda punya pengalaman begitu. Yang ku tau hanya desa anda dibakar oleh bangsawan,” tanya salah satu member di sana, anggota Assailant dengan tingkat hierarki paling bawah.

“Yahh~ begitulah.”

Perlahan, Yvonne membuka kedua tangannya. Portal hitam besar telah terbentuk. Sebuah portal teleportasi untuk kembali ke markas, tempat Sang Naga Agung Nevanesce berada.

“Semuanya telah selesai, ayo kembali.”

[Me and the Underworld]

“Jadi begitu cara anda menjinakkannya ya,” puji Ayaa pada Yvonne. Lengan gemulainya menaruh secangkir kopi hitam di atas meja. Setelah menyiapkan kopi untuknya, Ayaa melangkah—duduk di sofa di hadapan Yvonne.

“Anda sengaja mengirim Zero karena tahu Elizabeth bergerak di bawahnya. Singkatnya, dia seorang pewaris. Anda bahkan menyuruh Zero melonggarkan kewaspadaannya agar Beth bergerak menyerang Alodie.” Pujian demi pujian di lontarkan dari mulut Elf itu. Jari lentiknya menjelajahi meja—mengambil kue kering.

“Begitulah,” gumam Yvonne. Dia mendekatkan tubuhnya ke meja—jari panjangnya mengambil secangkir kopi. Jempol dan ketiga jarinya memegang gelas dengan lentik. Kelingkingnya dia keluarkan, tak ikut memegang. Itu adalah kebiasaan Yvonne saat meminum.

“”Tapi, yahh. Menurutku itu bukan salah Elizabeth. Selama lima tahun, anda bergerak dengan pasif. Katanya anda bahkan melatih Zero di tempat khusus,” ungkap Ayaa. Dia memasukkan kue kering ke mulutnya—menggigit, menelan perlahan. “Mhmm.”

“Jadi, setelah ini apa rencana anda? Bangsawan mana yang akan menjadi target, apa saya boleh menebaknya?” tawar Ayaa pada Tuannya. “Boleh kok.” Yvonne tersenyum ramah, bibir mungilnya yang berwarna merah muda terlihat menawan.

Jarinya menyentuh ujung dagu. Ayaa merebahkan tubuhnya—bersandar pada sofa empuk. Menatap lampu bohlam di atas langit ruangan. “Ahh, saya tahu. Karena kita sudah menyerang, maka Cordelia pasti tahu jika kita telah kembali. Apa anda berniat menemuinya?”

“Tak salah aku menjadikanmu wakil. Kau tahu keinginanku dengan pasti,” puji Yvonne pada Ayaa, bawahan yang paling dia percayai. “Terima kasih atas pujiannya loh, Nonaku,” goda Ayaa padanya. Bibirnya bahkan menyengir saat mengatakannya. Entah dari mana sifat jahilnya.

“Kalau begitu, anda pasti sudah mengundangnya. Hal itu anda sampaikan lewat mana,” tanya Ayaa, raut wajahnya penasaran. Namun, dia lebih tertarik dengan kue kering yang ada di hadapannya. “Aku mengirim undangan lewat seseorang.”

“Ahh, Alodie Spearblood,” ungkap Ayaa. “Yup, benar. Suka atau tidak, dia tak akan menolaknya. Dia bahkan akan melakukannya.”

“Anda memanfaatkan kebencian Alodie pada anda, lalu mengiringnya ke Cordelia untuk mengirim undangan. Tuan, jujur saja, apa pertemuan anda nanti tak akan berisiko?” dahinya berkerut, matanya terheran dengan kelakuan Tuannya. Namun, Ayaa tetap akan mengikutinya apa pun yang terjadi.

Perlahan, dia mengambil kue kering sekali lagi. Kue coklat itu dia kunyah perlahan—beberapa kali, lalu dia telan. “Jujur saja, aku ingin bertemu dengannya. Keputusan dari orang secerdas Cordelia nanti akan sangat berpengaruh pada rencanaku.”

“Ayaa, apa kau ingin tahu hal yang kutahu? Coba sebutkan, siapa saja musuh dari Assailant, organisasi ini,” suruh Yvonne. Dari santai hingga serius, wajah Ayaa berubah drastis. Dia tentu akan serius saat Yvonne juga bersikap serius.

“Kekaisaran Claudia. Tempat di mana tiga keturunan yaitu Dante, Michael, dan Cordelia berada. Kekaisaran ini kotor, sehingga banyak yang bergabung dengan kita demi merubahnya atau balas dendam.”

“Hell Hound, organisasi kriminal yang bekerja sama dengan para bangsawan yang di sebut pemegang kunci. Mereka melakukan banyak bisnis kotor. Di sana juga tempat anda memungut si kembar, Riella Nino. Selain itu, anda masih mencari siapa saja dari mereka yang terlibat dalam pembakaran desa anda.”

“Yang terakhir dan yang paling merepotkan, Kultus Salvation. Kultus sesat yang menyembah iblis hingga menimbulkan banyak korban. Jeremy, Sword di tempat kita. Ibunya dijadikan bahan eksperimen, dia digabungkan dengan iblis. Sungguh kasihan.”

“Selain itu, hanya sedikit informasi dari kultus ini. Mereka organisasi level tinggi yang bergerak dengan rapi,” penjelasan Ayaa pada Tuannya. Yvonne meletakkan kopi yang dia seruput. Dia berdiri, menjauhi sofa. Berdiri di hadapan jendela—menatap matahari yang mulai terbit dari arah Hutan.

“Yang kau katakan itu benar. Namun, mau kupikir bagaimana pun masih tak logis. Hanya dengan Hell Hound, Kekaisaran Claudia yang sebesar ini takkan sekacau itu,” ungkap Yvonne.

“Tunggu, apa ada pihak lain yang ikut campur?” tebak Ayaa. “Ya, aku tak punya bukti, tapi sudah pasti seperti itu. Sosok kuat yang mampu mengendalikan semuanya, bahkan Hell Hound sekali pun. Sosok itu mengendalikan tanpa di sadari kekaisaran ini.”

“Anda pernah bilang jika Cordelia itu satu level di atas anda. Lalu kenapa dia tak menyadarinya, malah anda yang tahu tentang hal ini. Padahal anda adalah orang dari luar.”

“Justru karena aku orang dari luar, aku bisa mengamatinya. Namun, jika orang secerdas Cordelia tak merasakannya. Berarti...” Yvonne menggumam, dia membalikkan badannya—menatap Ayaa dengan mata merah darahnya.

“Berarti dia ada di sekitar Cordelia,” ungkap Ayaa. “Jadi begitu. Mungkin risikonya besar, tetapi hasilnya juga besar. Tuan Yvonne, anda luar biasa,” pujinya sambil menghela nafas.

Di saat mereka sibuk bertukar pikiran, suara ketukan pintu memecah pembicaraan. “Apa saya boleh masuk?”

“Ya, masuk lah,” suruh Yvonne. Dia kembali duduk di sofa, memegang kopi—meminumnya. Pintu terbuka, sosok itu mulai masuk.

Rambut merah muda bergelombang sepanjang bahu. Kulit seputih susu sapi murni. Mata cerah berwarna biru yang terlihat polos. Dari sudut mana pun kamu melihatnya, keimutan murni terpancar darinya, tapi dia adalah seorang lelaki.

“Maaf mengganggu waktunya, Tuan Yvonne,” sapa sosok itu. “Fiona ya? Ada apa, apakah ada suatu hal yang perlu di laporkan?” tanya Yvonne.

Dia adalah Fiona, adik tiri dari Frederick. Fiona termasuk salah satu yang paling awal memasuki Organisasi Yvonne, bahkan dia sudah masuk sebelum Rhea. Di sini, dia bukanlah petarung maupun penyihir.

Dia mencari informasi dengan cara menjadi pelukis di antara para bangsawan. Mata polosnya yang terlihat bodoh sebagai pelukis sering di sepelekan para darah biru. Padahal, kemampuan menipu musuh adalah yang diperlukan dalam menjadi penyelidik.

“Tuan Yvee. Putli anda, Nona Violette sudah bangun. Saya datang untuk menyampaikan ini,” ungkap Fiona. Dia memang cadel, tak bisa menyebut huruf R dengan benar. Namun, hal itu justru menambah keimutannya.

Mata Yvonne bersinar. Dia beranjak dari sofa empuk itu. Berjalan perlahan—mendekati Fiona, salah satu bawahannya. “Baiklah, terima kasih sudah memberitahuku.”

“Tuan, apa anda tahu Flederick ada di mana?” pertanyaan Fiona menghentikan langkah kakinya. “Di mansion, lantai tiga. Dia di kamarnya sedang mencoba membuat produk baru.” Yvonne berbalik, menatap Fiona dengan penuh kehangatan.

“Ada apa? Kau tak menghubunginya dengan kristal komunikasi?” tanya Yvonne pada lelaki imut itu. Matanya berbinar, bibir polosnya mulai bergerak. “Ahh, sejujulnya saya sudah melakukannya, tapi di abaikan oleh kak Fled. Mungkin dia sibuk,” gumam Fiona.

“Baiklah. Ayaa, apa jadwalmu setelah ini?” Yvonne bertanya padanya. Sosok elf berambut hitam di belakang Fiona. “Saya ada kelas mengajar di akademi yang anda buat,” ungkap Ayaa.

“Ajari para Sword dan Member dengan baik loh ya. Mereka tak sehebat kalian para Eternal Sword, dan sudah tugasmu mengajari mereka,” suruh Yvonne. Ayaa menunduk, memberikan hormatnya sambil mengatakan, “tentu Tuanku.”

[Me and the Underworld]

“Mama, di mana anjingku,” teriaknya. Suara yang menyambut Yvonne saat memasuki ruangan rumah sakit. Mata Yvonne terkejut, dia tak menyangka hal pertama yang akan dia katakan setelah terbangun adalah itu. Dia menghela nafas keheranan menanggapi putrinya.

Yvonne membuka tirai yang menutupi kasur di samping kasur putrinya. “Hei, apa kau tak melihatnya. Dia di sini, tepat di sampingmu,” ledeknya keheranan. “Dia juga kubawa kok, sedang di sembuhkan,” tambahnya.

Lengan lentiknya menarik kursi besi—mendudukinya, menghadap tepat ke putri kecilnya. “Apa masih terasa sakit?” tanyanya. “Sedikit, tapi aku bisa kembali bermain.” Violette berteriak, dia melompat ke arah Yvonne. Dengan gesit, dia menangkapnya. Raut wajah Yvonne mulai serius melihat kenakalannya. “Hehh, jangan melompat. Kamu masih di infus,” suruhnya.

Di saat mereka menikmati momen ibu dan anak, seseorang telah datang. Seorang elf yang bertanggung jawab, “Untuk saat ini akan saya lepaskan infusnya, Tuan Yvonne.”

Luca datang, dia membawa beberapa alat medis di atas meja. Perlahan, infus yang menempel di lengan Violette terlepas. Dengan dua lengan kuatnya, Yvonne menggendong Vio kecil. “Kamu akan memberi nama apa pada anjing itu.” Yvonne bertanya, menatap tepat ke mata merah putrinya dengan ketulusan penuh.

“Logan, mungkin?” gumam Violette kecil. “Setelah ini, mama akan bekerja lagi bukan?” raut wajahnya berubah. Pipinya menggembung, matanya sayu, dia terlihat tak bersemangat. “Kau bisa menemaniku menulis jika mau, tapi biarkan Logan dirawat di sini.”

“Terima kasih, mama.”

[Satu hari setelah Violette sadar]

[Musim Panas. Tanggal 327 Tahun 3216]

Suatu tempat, di mana tak ada yang namanya persaudaraan di hadapan takhta. Tempat di mana penuh sejarah dari anak selir. Cordelia, ini adalah tempatnya. Istana mewah, di hadapan taman istana.

Di sana, dia duduk. Penuh keanggunan dari rambut dan mata perak yang dipancarkan. Seperti sebuah lukisan indah yang menyimpan cerita tragis di baliknya. Cordelia yang sedang menikmati camilannya terlihat seperti gadis lemah. Dia terlihat lemah, namun menyembunyikan kekuatan di balik gaun birunya.

Perlahan, bibir gadis itu bergerak. Bukan untuk melahap kue yang ada di depannya. Namun, untuk berdiskusi dengan sosok yang ada di meja yang sama. “Jadi, apa yang ingin kau katakan?” tanya Cordelia de Claudia.

“Alodie Spearblood.”