“Jadi, Nona Yvonne. Bangsawan mana yang akan kita targetkan?” tanya Nino padanya. “Keluarga Spearblood.”
“Ohh, keluarga itu.” Frederick mengikuti alur pembicaraan. Dia mengambil secangkir kopi diatas meja, meminumnya beberapa teguk. Dia memandang Yvonne dengan tatapan tajam, seolah pandangannya sudah berbicara terlebih dahulu. “Ya, benar. Apa kalian tahu tentang mereka?” tanya Yvonne.
“Bawahanku, dari tim penyelidik telah mengetahui beberapa fakta tentang mereka. Keluarga Spearblood memiliki teknik tombak yang mengerikan. Dia juga ikut andil dalam perang melawan high elf, namun beberapa hari ini mereka turun sementara dari medan perang untuk memulihkan diri,” jawab Nino.
“Aku sudah membaca dokumen yang kau berikan. Dia salah satu pemegang kunci Hell Hound bukan?” tanya Yvonne. “Itu benar, Tuan. Namun, hanya kepala keluarga yang bekerja sama. Anak dan istrinya tak mengetahui apa pun.” Riella berbicara, dia ikut menambahkan informasi yang dikatakan adik kembarnya.
“Jadi keluarganya tak tahu kebejatan yang dia lakukan,” tambah Ayaa. Bibirnya terbuka—sebuah kue kering telah dia lahap. Mengunyah perlahan, dan menelannya secara cepat setelah berbicara. Dasar Ayaa, dia benar-benar suka camilan.
“Katanya dia punya teknik yang kuat bukan? Biar aku saja yang pergi,” usul Ayaa pada mereka semua. “Tak perlu, biar aku dan beberapa bawahanku yang bergerak,” imbuh Zero. Cukup jarang dia memberikan inisiatif macam ini.
“Alasannya? Hanya mengirim Ayaa seorang diri sepertinya cukup. Itu karena kekuatannya cocok untuk pembunuhan,” tanya Yvonne pada Zero. Yvonne, memainkan jarinya di atas meja. Ketukan berirama dan tertata terdengar dari sana. Dia terlarut dalam pikirannya sendiri, diam dan memikirkan puluhan langkah ke depan.
“Tidak, biar bawahanku yang pergi. Beberapa dari mereka adalah kru jalanan yang suka membuat masalah. Mereka pasti sudah gatal ingin menghajar beberapa orang. Terutama Beth, dia ingin segera diberikan perintah.”
“Selain itu, ada sesuatu yang ingin kucoba,” saran Zero. Apa yang dia pikirkan, hal apa yang akan dia coba. Yvonne melirik tepat ke arah Zero, bibirnya terbuka, “dan apa itu?”
“Tuan, anda pasti sudah tahu apa yang ingin ku uji,” jawab Zero. Yvonne tersenyum, dia menghela nafas seolah sudah menyadari semuanya. “Beth ya, aku tiba-tiba terpikirkan sesuatu yang menarik. Jika berjalan sesuai kemauanku, aku bisa menunjukkan beberapa hal padanya yang suka membangkang. Beth, dia masuk ke Assailant karena dia hanya mau tunduk pada yang lebih kuat.”
“Baiklah, Zero yang akan pergi kali ini. Namun, kau hanya boleh membunuh kepala dan pasukannya. Tak kuizinkan kalian membunuh bakat muda, yaitu putri dari keluarga Spearblood,” suruh Yvonne padanya.
“Tunggu, kau ingin menghancurkan kekaisaran. Namun, kau melakukan pengecualian. Apa maksudnya ini?” sanggah Frederick. Dia seolah tak menerima keputusan Yvonne secara mutlak seperti para Eternal Sword yang lain.
“Ada alasan khusus. Aku mendapatkan petunjuk dari perkataan Isabelle, itu alasan aku mengirim Dean dalam ekspedisi.” Yvonne menekuk kakinya, dia terlihat santai menanggapi sanggahan Frederick.
“Seperti biasa kau selalu menyembunyikan sesuatu,” ledek Fred padanya. “Nona Yvonne selalu seperti itu, tapi itu pasti untuk kebaikan semua orang,” kata Rhea. “Frederick, tenanglah,” suruh Ayaa padanya.
“Ugh, suasananya jadi berat. Aku harus melakukan sesuatu,” pikir Riella di benaknya. “Tuan Yvonne, kapan Zero harus memulai penyerangan itu,” tanya Riella pada Yvonne, si gadis pirang sekaligus ketua dari Assailant.
“Malam ini.”
“Cordelia, ini sapaan pertama dariku untukmu. Setelah ini, keputusanmu untuk menerima atau menolakku akan menjadi penentuan rencanaku. Rencana besar yang bercabang untuk melawan sesuatu yang memanipulasi Kekaisaran Claudia ini,” pikir Yvonne di benaknya. “Kuharap, kita bisa berada di perahu yang sama.”
[Me and the Underworld]
Hening. Secercah cahaya dari kristal sihir yang ada di langit-langit menerangi lorong. Namun, itu masih terasa gelap, matahari sedang tertidur lelap. Langkah kaki perlahan, berirama dan teratur. Butler itu berjalan di lorong mansion, kakinya diterangi rembulan yang bersinar emas menembus jendela.
Perlahan, langkahnya terhenti di antara keheningan. Dagunya bergerak—menengok ke arah jendela. Matanya terlihat bingung dengan sesuatu yang ada. Namun, dia terlihat begitu tenang.
Suatu bayangan kecil terlihat, membesar dan kian membesar. Bayangan itu menerobos masuk, memecahkan jendela. Suara kaca jendela yang pecah terpekik di telinga. Pecahan kecil kaca berhamburan di lantai mansion. Butler itu terkejut, belum sempat berteriak, binatang itu langsung membenturkannya ke dinding semen.
Pakaian ketat serba hitam. Dengan rambut dan telinga anjing putih. Ekornya berkibas-kibas seperti sebuah pertanda. Zero, dia sudah berada di tempat tinggal musuh. Zero, Licanthrope itu mulai berjalan di lorong, jendela yang lain ikut pecah. Para anggotanya ikut memasuki dengan cara yang sama.
Dua Sword dari organisasi Assailant, dan 10 member dari sana. “Jadi, mana yang harus kita hajar,” teriak seseorang. Ras yang sama dengan Zero, yaitu Licanthrope. Namun, dari suku yang berbeda. Elizabeth, dia dari suku Harimau, suku ini hanya ada satu, mereka juga yang terkuat secara fisik dari Licanthrope lain. Elizabeth, dia menjabat sebagai Sword di organisasi itu.
Elizabeth, pedang besarnya dia taruh di punggungnya. Pedang itu terlihat berat, hanya Elizabeth yang bisa menggunakannya. Para bawahan lain juga membawa pedang kecil dengan dua mata yang tajam. Mereka siap menggorok leher bangsawan di sini.
“Kalian, menyebarlah,” suruh Zero pada seluruh bawahannya yang ada. “Ingat perkataan Tuan Yvonne, jangan membunuh putri mereka. Cukup para prajurit dan kepala keluarga.”
Giginya menggertak hingga menimbulkan suara, buih-buih dari mulutnya mengalir seolah dia begitu haus darah. Elizabeth, dia mulai bergerak dan berkata, “waktunya menghancurkan kepala.”
Para bawahan lain mulai menyebar, berlari dengan teratur meninggalkan Zero sendirian. Zero, bergerak dengan tenang. Dia berjalan, menuju ke tempat kepala keluarga.
[Me and the Underworld]
“Padahal aku pulang untuk beristirahat, tapi tak disangka rumahku malah diserbu.” Sosok itu berjalan dengan penuh ketegasan, dadanya bidang. Umurnya terlihat seperti kepala tiga, rambut merahnya terurai terkena angin saat dia membuka jendela. Mata hitamnya memandang ke para prajurit miliknya yang memasuki mansion.
“Tuan Desmond Spearblood, saya akan menghadapinya. Anda beristirahat saja,” suruh sebuah sosok di belakang Desmond yang melihat ke luar jendela. “Blare, jangan kaku begitu. Kau kan adikku sendiri.”
“Entah kenapa firasatku buruk, suruh Priscilla dan ibunya untuk pergi dari mansion ini. Kita akan memancing musuh yang ada, gunakan rute jalan belakang,” suruh Desmond pada adik lelakinya.
“Putri dan istrimu? Akan kusiapkan beberapa prajurit untuk mengawal mereka,” ungkap Blare, adik lelaki dari Desmond. “Nah begitu, dia jadi tak terlalu kaku seperti tadi,” pikir Desmond di benaknya. Blare, dia berjalan menjauh—mengambil tombak tajam yang ada di tangan sebuah patung pahatan. Dia melemparnya dengan tegas ke kakaknya sendiri.
Desmond, dia menangkap senjatanya. “Terima kasih,” gumam pria itu. “Kau? Punyamu mana,” tanya Desmond, kepala keluarga Spearblood. Blare, dia berjalan dengan penuh kepercayaan diri ke arah pintu. Dia membuka pintu itu, menghadap ke arah kakaknya dan berkata, “aku akan segera mengambilnya.”
[Me and the Underworld]
“Kabur? Mau ke mana kau,” teriak Elizabeth. Sendirian, melawan sepuluh prajurit sekaligus. Tanpa teknik, gerakan dan hal apa pun, dia hanya mengayunkan pedang beratnya murni dengan tenaga. Ini kekuatan fisik seorang Licanthrope suku harimau. Tak seperti suku lainnya, suku harimau hanya ada satu jenis. Dan Elizabeth, binatang itu berasal dari sana.
Gadis rapuh, tetapi dia berusaha untuk terlihat kuat dan berani di depan binatang jalang. Rambut merahnya terurai panjang, matanya bergetar penuh ketakutan. Memegang tombak dengan kedua tangan, kakinya mengigil, rasa dingin menusuk tulang belakangnya.
Alodie, satu satunya keturunan dari keluarga Spearblood. Dia mengacungkan tombaknya saat melihat Elizabeth mengibaskan pedang besarnya melawan puluhan prajurit. Monster, yang di depan matanya adalah monster menakutkan tak berperasaan. Dia harus menggigit untuk hidup, dia harus melawan dengan segenap kemampuannya.
Satu satunya yang tersisa adalah dirinya. Semua prajurit bawahannya sudah dibasmi seolah menepuk serangga. Elizabeth bergerak, menghunjamkan pedang beratnya ke arah Alodie. Namun, putri itu menahannya dengan punggung tombaknya. Tubuhnya terpental jauh hingga membentur tembok, tak sanggup menahan bentrokan yang besar.
Elizabeth melompat, mengarahkan pedang besarnya untuk menghancurkan kepala Alodie. Namun, sebuah tombak menancap ke lantai menghentikan pergerakannya. Sebuah tendangan kasar melesat ke perut binatang itu hingga terpental jauh.
“Alodie, kau tak apa?” tanya seseorang. Satu mangsa telah datang ke mulut Elizabeth. Mata Alodie mulai melihat harapan, dia berdiri dan mengatakan, “Iyaa, aku tak apa-apa paman.”
“Di mana Nona?” tanya Blare Spearblood kepada ponakannya. “Ibu? Aku tak tahu.” Alodie menggumam, dia bangkit—berdiri dengan tegas di belakangnya.
Dia mengambil tombaknya yang terjatuh. Puluhan prajurit sebagai bala bantuan telah datang bersamaan dengan kedatangan Blare Spearblood, paman dari Alodie Spearblood. Kedatangan mereka diiringi rasa aman dan percaya diri terhadap kemenangan. Namun, itu sia-sia di hadapan keperkasaan Elizabeth.
Blare melirik ponakannya, dia mengetahui jika Alodie ingin ikut melawan. Namun, perintah kepala keluarga adalah mengamankan rute mereka pergi. “Alodie, hentikan itu.”
Hanya dengan satu perkataan pamannya, Alodie menganggap rendah dirinya sendiri. Dia merasa dirinya tak cukup kuat untuk ikut bertempur. Padahal, dia adalah calon pewaris kursi ayahnya. “Perintah ayahmu adalah untuk mengamankan rute kau dan ibumu kabur,” ungkap Blare. “Ikuti prajurit ini, cari ibumu kabur dan pergi lewat rute yang disiapkan.”
“Oi, kenapa aku diabaikan.” Teriakan mengerikan terdengar bersamaan dengan hantaman pedang besar ke arah Blare. Pria itu menangkisnya, mengalirkan gerakan musuhnya ke lantai mansion. Dengan cepat dia memutar tubuhnya, menusukkan ujung tombak pada binatang itu.
Alodie menelan ludahnya melihat pertarungan mereka, dia menggenggam erat tombaknya, “baiklah. Paman, hati-hati. Licanthrope itu kuat.” Blare mengangguk menanggapi perkataan ponakannya. Dia memutar tombaknya ke belakang, ujung tombak itu di arahkan ke Elizabeth. “Aku tahu,” kata Blare.
[Me and the Underworld]
Berat. Tiap serangan dari Elizabeth terasa berat. Pertarungan mereka bahkan menghancurkan seisi ruangan. Itu wajar, pedang yang dia bawa saja memiliki berat 100 kilogram. Hanya dengan ayunannya saja sudah menghasilkan kerusakan yang destruktif.
“Dia kuat, serangannya terasa acak dan sulit ditebak karena tak ada teknik. Namun, aku masih bisa melihat arahnya.” Blare berpikir sambil bertarung melawan Licanthrope itu. Dia hanya bertahan menghadapi serangan berat lawannya. Namun, tubuhnya perlahan akan hancur karena tekanan saat menahan serangan itu.
“Ada alasan dibalik nama Spearblood,” Blare berteriak. Dia menyayatkan telapak tangannya ke ujung tombaknya. Darahnya menutupi ujung senjatanya, itu adalah teknik khusus keluarga mereka. Menggunakan darahnya sendiri untuk memperkuat serangan.
“Tombak pertama, serangan tiga tusukan.”
Darah menusuk tajam, menghunjam ke arah Elizabeth seolah siap melubanginya. Namun, Beth menghindar dengan insting buasnya, dia meloncat—menggunakan dinding untuk memantulkan dirinya dan menebas ke arah punggung Blare.
Punggungnya memar, meneteskan darah yang mengalir membasahi lantai. Dia terkena serangan telak dari Licanthrope itu, ini kekuatan sesungguhnya dari ras harimau.
“Tombak ketiga, gumpalan darah”
Hanya dengan satu tebasan, seluruh darah Blare yang menempel di lantai terangkat. Seluruh darah itu ikut menyerang, menusuk dan menebas Elizabeth beberapa kali. Darah-darah di sana hanyalah budak yang mengikuti perintah Tuan mereka.
“Mengesankan. Sungguh mengesankan. Kekuatan mengerikan yang mampu merobek kulitku,” puji Elizabeth pada bangsawan itu. Beth menarik nafasnya—mengumpulkan seluruh tenaga yang di milikinya. Menebaskan pedang besarnya hingga membuat Blare terpental jauh. Bangsawan itu terpental keluar menabrak dinding. Bahkan dinding mansion juga ikut jebol karena serangan super itu.
Blare terpental jauh di ujung. Dia terbaring lemas di rerumputan, taman bunga milik keluarga bangsawan. Tak disangka, serangan Beth bahkan mampu membuat lubang besar di dinding mansion.
Elizabeth, berdiri dengan tegas dari dalam mansion. Dia berdiri di lubang yang dibuatnya, melihat Blare dengan penuh hinaan seolah sebuah sampah. Binatang itu melompat dari tempatnya. Lompatan yang begitu tinggi seolah terbang di udara, “Aku adalah E-LI-SA.”
Perlahan, dia menghantamkan pedang besarnya ke tubuh Blare. “Beth!!”.
“Aku Beth, Elizabeth.” Serangan kuat menghancurkan seluruh tanah di sekitarnya seolah terkena batu besar yang jatuh dengan kecepatan tinggi. Remuk, hancur, hanya itu dua kata yang bisa mendeskripsikan keadaan tubuh Blare. Sungguh bangsawan yang malang.
“Sekarang, ayo mengejar tikus yang melarikan diri.”
[Me and the Underworld]
“Apa kau pemimpin dari orang yang menyerang rumahku?” suara itu terdengar di antara teriakan orang yang ditebas Zero dengan cakarnya. Pelan, terdengar tegas dan tangguh. Ketukan dari suara sepatu yang melangkah berbenturan dengan lantai.
Cepat, berirama dan langsung mendekat ke arah Zero. Tombaknya yang dilapisi darah mencoba mengoyak anjing itu menjadi beberapa bagian. Namun, Zero sudah cukup terlatih. Dia bisa menghindari tombak yang datang.
Pukulan kuat, lurus mendarat di dagu Desmond Spearblood. Tak kehilangan keseimbangan, dia langsung memutar tombaknya melewati tubuhnya sendiri, menggunakan pangkal tombak untuk mendorong tubuh anjing itu menjauh. Dia harus terus menjaga jarak dari Licanthrope itu. “Bisa dibilang begitu,” gumam Zero menjawab pertanyaan lawannya.
“Tombak keempat, memotong adonan”
Darahnya yang menetes jatuh ke lantai berubah menjadi tombak panjang yang menebas ke arah Zero. Serangan demi serangan dia hindari dengan cekatan, tapi itu tak berpengaruh untuk serangan selanjutnya.
Desmond Spearblood, tokoh yang baru saja kembali dari perang. Walau dia sedang kembali karena terluka, tapi dia cukup percaya diri bisa menghadapi para begundal itu. Itu karena, Desmond dengan teknik darah keluarganya mampu melubangi perut Tetua ke empat dari ras High Elf saat perang. Serangan darah yang mampu memberikan serangan fatal.
“Tombak ketujuh, menusuk langit”
Serangan lurus ke depan, melesat dan meluluhlantakkan segala yang berada di depan. Zero, bahunya terluka karena tusukan kuat itu. Namun, Zero masih terlihat segar bugar seolah itu bukanlah serangan mematikan. Zero, dia menarik tombak itu, memaksa lawannya bertarung jarak dekat di dalam medan yang di kuasainya.
Satu cakaran darinya menyayat dada Desmond hingga terkoyak. Darah bangsawan itu menetes, terciprat ke udara. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Desmond tersenyum seolah kegirangan.
“Tombak kelima, hujan jarum darah.”
Sungguh aneh. Tetesan darah berubah menjadi benda tajam yang menusuk ke arah Zero. Darah itu bergerak ke satu arah seperti hujan paku. Serangan yang mampu meruntuhkan siapa pun.
“Sayang sekali, jika hanya ini aku masih bisa menahannya,” ledek Zero. Dia lagi-lagi mencoba mendekati Desmond. Meloncat mencoba menggigit leher bangsawan itu, tetapi Desmond menundukkan dirinya. Desmond, dia menusukkan tombaknya ke atas, serangan telak ke perut Zero.
Setelah itu, dia mengayunkan tombaknya menjauh dan melempar Zero hingga membentur dinding. Lagi dan lagi, Zero masih bisa bangkit. Dia begitu tahan terhadap serangan musuhnya. “Hanya ini? Ini bahkan jauh lebih lemah dari serangan Tuan Yvonne.”
Zero, dia merobek jubah hitamnya sendiri. Dia memperlihatkan luka yang ada pada seluruh tubuhnya. Bekas patah tulang dan luka yang begitu banyak.
“Apa kau tahu bagaimana aku berlatih? Aku bertarung dengan Tuanku sendiri agar aku bisa bertahan melawan musuh sekuat apa pun.”
“Selama lima tahun, tiap hari aku melawan beliau dalam pertarungan satu lawan satu di situasi hidup dan mati”
Penuh kepercayaan diri, dia bersikap begitu tangguh. Walau berdarah, serangan Desmond terasa menggelikan untuknya. “Siapa kalian? Apa sebenarnya tujuan kalian?” tanya Desmond padanya. Dia terlihat gugup, mencoba menebak apa tujuan lawannya.
“Kami, Assailant akan merevolusi Kekaisaran ini,” ungkap Zero padanya. Desmond, dia menggertakkan giginya, mencoba mengumpulkan seluruh kekuatannya. Dia menyayatkan telapak tangannya, mencoba menghasilkan lebih banyak darah untuk memperkuat serangannya.
“Baiklah, mulai sekarang aku akan serius.” Desmond menarik tombaknya, mencipratkan beberapa darah ke lantai. Dia mulai memasang kuda-kuda, bersiap untuk menyerang lawannya. “Sama, aku akan serius sekarang,” Zero mencoba mengimbangi lawannya.
“Desmond Spearblood, kepala keluarga bangsawan Spearblood”
“Zero, Licanthrope ras anjing putih yang terakhir. Eternal Sword dari Assailant”
Keduanya mulai maju dengan kecepatan tak ter bayangkan. Tebasan tombak dan cakaran saling mengenai masing-masing. Mereka sedang berdansa, berbicara dengan kekuatannya, seperti lelaki sejati. Hancur, seluruh lorong di sana telah hancur. Dinding terbelah, langit-langit lorong yang rusak. Seluruh jendela kaca telah pecah karena getaran yang di timbulkan.
Setara, keduanya bertarung dengan sengit. Zero berhasil menggigit lawannya di lengan, dia bahkan berhasil menjatuhkan Desmond dengan ekornya. Tak mau kalah, Desmond menendang anjing itu menjauh, dia melakukan tiga tebasan telak pada Zero.
“Tombak kesepuluh. Tusukan kekuatan penuh”
Ini dia, serangan terkuat dari lawannya. Menggunakan darah dirinya dan musuhnya sendiri untuk membentuk tombak besar yang menerjang. Serangan ini bahkan mampu menembus pertahanan terkuat dari tokoh ras High Elf dalam perang, yaitu Tetua keempat.
Zero terkena serangan itu secara telak. Tombak darah besar telah menembus tubuhnya, menembus—melubangi perutnya. Di belakang Zero, seluruh mansion telah hancur karena dampak dari serangan itu.
Diam, tak bergerak, kedua orang itu diam membeku satu sama lain. Zero berhasil mencekik Desmond walau perutnya terkoyak. Cekikan kuat, dia mencengkeram leher musuhnya. Melumat tulangnya hingga melebur.
Dengan kekuatan penuh, Zero mengangkat Desmond dengan satu tangan. Dia membantingnya ke lantai. Mengangkatnya lagi dan membenturkannya ke dinding. Dia lakukan berkali kali hingga Desmond kehilangan kesadaran. Berkali kali hingga itu terlihat seperti pemandangan yang tak lazim.
Perlahan, darah yang menyelimuti tombak besar dan tebal itu terjatuh. Darah kaku yang melapisinya menjadi cair kembali dan membasahi lantai. Sekarang, di perut Zero hanya ada sebuah tombak biasa. “Kau kuat, walau serangan tadi masih dibawah level serangan terkuat Tuan Yvonne. Namun, aku mengakui jika dirimu kuat.”
“Menggunakan darah untuk menyerang sama saja dengan menukar nyawamu dengan serangan kuat. Kesalahanmu hanyalah mencoba adu siapa yang akan bertahan denganku, itu sebabnya kau kalah,” pikir Zero di benaknya. Sudah di pastikan, Desmond Spearblood telah tewas di mansionnya sendiri. Apakah ini akhir dari keluarga marquess yang berjaya.
“Huhh? Tunggu, suara ini!!” Zero segera bergerak dari tempatnya. Pendengaran tajamnya mendengar sesuatu yang berasal dari tempat yang cukup jauh.
[Me and the Underworld]
Gerakan kaki cepat, terburu-buru hingga menabrak pohon. Telapak tangannya berkeringat, matanya bergetar. Alodie, dia secara tak sengaja berpencar dengan ibunya. Semua prajurit yang mengawal rute melarikan diri telah dihabisi oleh Elizabeth.
Padahal dia masih ingin bersama dengan ibunya, namun takdir berkata lain. Sepertinya, Alodie akan tewas hari ini. Tewas diremukkan pedang besar.
Berlari dengan dikendalikan rasa takut, tentu harimau seperti Elizabeth bisa mencium perasaan itu. Ini adalah perasaan menyenangkan dari predator puncak yang memburu mangsa.
“Ketemu kau,” lirih Elizabeth. Alodie yang tak sengaja mendengarnya menoleh ke belakang. Dia melihatnya, binatang predator haus darah yang membawa pedang besar sedang meloncat ke arahnya. Elizabeth, dia siap menerkam leher musuhnya.
Sebuah pukulan kuat di dagu Elizabeth, membuat harimau itu terguling menjauh dan gagal menerkam mangsanya. “Biar kutanya. Sebenarnya, apa yang kau lakukan!” bentak Zero pada bawahannya.
“Tuan Zero, kenapa kau menghalangiku,” teriak Elizabeth padanya. “Kau mau melanggar perintah Tuan Yvonne? Beliau memerintahkan kita untuk menghabisi kepala keluarga, tapi kau malah serakah dan mengincar yang lain.”
Elizabeth bangkit dari tanah yang memeluknya, berdiri perlahan di tempatnya terjatuh. Beth mengangkat pedang besarnya, menaruhnya di atas punggungnya. Perlahan, dia menghela nafasnya.
“Anda ingkar janji,” gumam Elizabeth. “Apa? Tentang apa?” tanya Zero, dia berdiri di hadapan Alodie seolah melindunginya. Perlahan, Elizabeth menggertakkan giginya seolah kesal terhadap sesuatu.
“Tiga tahun lalu, kau menghajarku dan bawahanku dengan alasan merekrut. Kau bilang jika mengikutimu, kami bisa menghajar seseorang,” teriak Elizabeth. “Memang, tapi kau tak boleh melanggar perintah. Aku tahu sifatmu, kau akan dengan sukarela mengikuti orang yang lebih kuat, makanya aku membawamu.”
“Benar, tiga tahun lalu, kau lebih kuat. Zero, apa kau mau mencoba taringku lagi? Ayo kita bertarung tanpa memedulikan embel-embel jabatan. Hanya di antara kita.”
“Beth, hentikan ini. Kau itu pewarisku, aku tak ingin menghajar murid yang kulatih. Kau suka mengikuti perintah yang kuat bukan, maka turutilah perintah Tuan Yvonne.”
Zero, dia mulai menurunkan kewaspadaannya. Dia merasa jika menyebutkan nama Yvonne, mungkin setidaknya Beth akan menurut. “Yvonne? Maksudmu Nona Yvonne. Dia hanya gadis lemah. Aku tak mau mengikutinya, aku bahkan tak pernah melihat dia menunjukkan kekuatannya selama ini.”
“Situasi ini, sama persis dengan perkiraan Tuan Yvonne,” pikir Zero di benaknya. Zero, dengan sengaja Zero menutup matanya sambil menghembuskan nafas. Bibirnya mulai bergerak, “kalau begitu ayo kita kembali, akan kuminta beliau untuk menunjukkan kekuatannya.”
Satu hantaman keras dengan pedang besar mengenai Zero. Membuat anjing itu terguling-guling menjauh. Kini, hanya ada Beth dan Alodie yang gemetar ketakutan. Hanya ada mangsa dan predator yang berhadapan. Beth, mencengkeram kaki Alodie dengan kuat, dia melemparnya ke udara hingga begitu tinggi. “Argh,” teriak Alodie. Nampaknya kakinya patah saat dilempar, patah karena tenaga kuat Elizabeth.
Dia terbang melayang, Jauh lebih tinggi dari benda apa pun di sekitarnya, Alodie melayang bebas di udara. Perlahan, dia berhenti di satu titik. Tubuhnya turun, mulai menuju tanah, dia ditarik paksa oleh gravitasi.
Seorang anjing meloncat dengan cepat ke dahan pohon, dia menangkap—memeluk Alodie yang terjatuh. Zero, dia memeluknya, menahan benturan dengan tubuhnya sendiri. Zero, dia berdiri kembali dan melepas Alodie dari pelukannya. “Apa yang sebenarnya terjadi. Mereka rekan, kenapa malah saling berkelahi,” pikir Alodie di benaknya.
“Lalu, kenapa anjing ini melindungiku,” pikirnya lagi. Masih bingung mencerna keadaan, dia masih terlihat ragu dengan pikirannya sendiri. “Aku akan memanfaatkan situasi ini untuk kabur saat ada celah.”
“Tenang saja, aku sudah memanggil beliau. Lagi pula, situasi ini sudah diperkirakannya,” ungkap Zero. Sepertinya dia berbicara pada putri bangsawan itu. “Zero, lagi dan lagi. Kau menghalangiku,” teriak seseorang dari kejauhan.
Dia mulai mendekat—menyeret pedang besarnya yang menimbulkan bekas di tanah. “Minggirlah Zero, atau kau akan kuhantam juga,” gertaknya.
“Jadi hanya ini?” ledek seorang gadis di sana. Berdiri di atap mansion—penuh kesombongan yang dipancarkannya. Memandang rendah semuanya seolah dia adalah yang terbaik, kesombongan mutlak yang terpancarkan.
Rambut pirangnya berkibar terkena angin, bersinar terkena cahaya rembulan yang menerpa. Wajah yang elok, mata merah darah yang memandang rendah, sosok beliau yang dari tadi Zero sebut. Yvonne, dia telah datang.
Yvonne, datang tanpa membawa senjata apa pun. Hanya mengenakan baju hitam ketat, dia bahkan tak memakai apa pun untuk menutupi wajahnya. dia sengaja memperlihatkan wajah ikonik yang memimpin perburuan bangsawan.
Yvonne, memandang rendah mereka bertiga. Matanya yang penuh kepercayaan diri bergerak—melirik ke arah Elizabeth. Bibirnya bergerak, dia mulai mengatakan sesuatu. “Elizabeth. Julukan yang kuberikan untukmu ternyata benar.”
“Fisikmu, setara denganku.”