Jika dunia akan berakhir, bersama siapa kau ingin menghabiskan detik terakhir? Ibu? Ayah? Adik? Pacar? Sahabat? Atau seseorang yang kau cintai diam-diam?
Pagi itu dimulai dengan getaran kecil yang membangunkan ku dari tidur bersamaan dengan suara sambutan hari Valentine. Matahari masih bersinar cerah, menembus tirai jendela kamarku, dan aroma harum roti panggang memenuhi udara. Hari Valentine. Entah kenapa, hari ini terasa sedikit lebih hangat dari biasanya—hangat yang menipu.
Aku berjalan ke kamar mandi, membersihkan diri seperti biasa. Tapi di depan cermin, aku terdiam. Mimpi yang terus ku alami masih membekas kuat: langitnya memerah karena kebakaran, laut berubah menjadi darah, dan aku berdiri di atas tumpukan mayat. Seperti akhir dunia… dan aku selalu tenggelam di laut tersebut.
Aroma roti membawa langkahku ke dapur. Di sana, Winda—adik perempuanku—sedang sibuk menyiapkan sarapan, senyum cerahnya tak terganggu getaran aneh yang terasa sejak pagi.
"Ah, Abang. Selamat pagi~" sapanya ceria, seolah ledakan distorsi hanyalah hal biasa yang selalu terjadi di Iglo Shield.
"Riuh sekali hari ini. Ibu di mana?"
“Katanya ada panggilan mendadak dari pusat. Jadi dia berangkat pagi-pagi.”
Aku mengambil sepotong roti panggang yang terlihat agak gosong, tapi masih bisa dimakan.
Kami tinggal di Iglo Shield karena ibu bekerja di pusat keamanan. Aku masih siswa SMA, belum punya pencapaian berarti. Sementara itu, Winda, adikku, justru dikenal seisi sekolah. Populer, sering dapat surat cinta—bahkan dari kakak kelas. Dulu winda sering menangis karena dibully; rambutnya terang bercahaya, bukan pirang, tapi anehnya bercahaya alami. Sekarang? Dia jauh lebih kuat dariku.
"Eh, katanya kamu dapat surat cinta lagi kemarin?" tanyaku sambil mengunyah.
"Yah… pengirimnya anak SMP. Nggak ada alasan buat aku nerima."
"apa yang dari klub baseball anak SMP?"
"Heee?! Cemburu, Bang? Takut aku punya pacar, ya?" godanya, tertawa kecil.
“Sebaiknya aku memang nggak nanya apa-apa…”
Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Suara seorang gadis memanggil namaku. Aku berjalan ke depan dan membuka pintu.
Kalina berdiri di sana—teman sekelasku—dengan tas besar berisi coklat.
“Ada apa pagi-pagi gini?” tanyaku, heran sekaligus gugup.
Wajahnya cemberut. “Terserah deh… Nih, coklat Valentine.”
“Eh? Buat aku?”
“Bukan! Kamu lupa ya… hari ini ulang tahun Winda, kan?”
“BENAR! Aku lupa!!” Aku langsung panik sambil menepuk dadaku. Bodohnya aku.
Kalina tersenyum, lalu mendorongku dari belakang dengan lembut. “Pergilah… temui dia berikan coklat itu sebagai hadiah.”
Namun sebelum aku sempat memberikan hadiah itu, semuanya berubah.
Guncangan hebat mengguncang tanah. Orang-orang berteriak, langit menggelap, udara terasa berat. beberapa benda bergeser dan langit-langit runtuh akibat dari pergeseran objek yang. Aku buang semua barang yang kupegang, berlari menuju Winda untuk melindunginya.
Saat aku berhasil menggapainya waktu seakan berhenti. Tubuhku membeku dalam posisi melindungi Winda-memeluknya, sementara itu aku malah mengabaikan wanita yang aku cintai
"kalina, apa dia baik baik saja? Aku meninggalkan dia begitu saja" meski aku berusaha untuk memalingkan wajahku aku tidak dapat melakukan
“Apa aku akan mati…? Apa ini yang orang lihat sebelum kematian itu datang?”
Kenangan masa kecil, Winda, ibu, semuanya melintas di pikiranku.
Lalu… seseorang muncul.
Langkah kaki terdengar mendekat. Aku hanya bisa melihat kakinya—seorang wanita dalam gaun bercorak hitam dan putih. Tangannya gelap, tapi dari telapak itu keluar cahaya. Dia mengangkat puing-puing dengan mudah, lalu menyentuh kepala winda dan sadar bahwa aku bisa melihatnya, dari gerakannya dia cukup kaget hingga mundur beberapa langkah lalu meletakan tanganya di atas kepalaku cukup lama, setelah itu kemudian kembali menyentuh kepala kalina dan menghilang bersama adikku dalam cahaya terang.
"APA YANG KAU LAKUKAN?! LEPASKAN ADIKKU!! KAU BAJINGAN" Teriakku, tapi tak satu pun suara keluar dari mulutku.
Dengan suara yang dingin namun hangat, dia hanya berkata:
“Datanglah ke Rover”
Dan seketika dia menghilang. Angin kencang menerpa lalu Cahaya menelan segalanya.
Saat aku bisa bergerak lagi, pandangan yang kabur karna cahaya itu perlahan pulih tapi aku tidak berada di rumah. Aku berada di sebuah ruangan besar, dikelilingi suara-suara asing dan orang-orang asing yang lambat laun mulai kupahami. Bahasa mereka terdengar asing namun terasa akrab.
"Selamat datang, Tuan Pahlawan," suara seorang wanita yang penuh semangat, tapi senyumnya mengerikan—senyum yang membekukan hatiku rasanya seperti aku ingin memukulnya walau hanya sekali.
Ruangan itu penuh orang-orang asing. Beberapa panik, memanggil orang yang mereka kenal—anak, cucu, kekasih. Tapi aku tak melihat Kalina… atau Winda.
dari barisan kami seorang pria besar berkulit gelap, bertato tengkorak, nyaris telanjang menghadapi wanita yang wajahnya di tutup kain putih.
“Gw di mana, njing?! Gw belum selesai di toilet pribadi gw, dan sebaiknya kau harus bertanggung jawab!”
Wanita tadi hanya tersenyum di balik kain putih yang menutupi wajahnya. “Ada apa, Tuan Pahlawan?”
Pria itu tertawa, memegang wajahnya dengan kasar hingga membekas. “Wajahmu oke juga buat cewek aneh yang main cosplay ala-ala kerajaan fantasi. Ini reality show dari mana, hah?”
Tanpa sepatah kata, wanita itu mengangkat tangan memberi aba-aba ke pada seseorang yang ada di lorong pintu masuk.
"Ice Death Prison."
Dari lorong gelap muncul cahaya—seorang pendekar berzirah emas memanggil sihir es. Penjara es muncul dari bawah kaki pria itu dan mengurungnya, hawa dingin yang menusuk dari penjara es itu bahkan sampai kami semua rasakan di tempat kami berdiri.
"kalian bahkan sampai mempersiapkan praktikal efek seniat ini, berapa banyak AC yang kalian butuhkan untuk menciptakan efek dingin ini?"
Semua omongan pria itu tidak di tanggapi dan semua orang hanya menonton
"lupakan saja, akan ku hancurkan benda murahan ini dengan tinju ku" Pria itu meninju es, tapi tak goyah. Tangannya justru berdarah, meski penjara es itu hanya seperti tongkat sapu tapi begitu keras seakan es tersebut termanipulasi dan mengira dirinya adalah berlian.
"sebaiknya ada segera istirahat tuan pahlawan, shinos bawa dia ke healer terbaik kita"
"aku!!" sambil menunjuk dirinya sendiri "meskipun kamu adalah putri kerajaan kami tidak bisa di perintahkan begitu saja, selain itu kamu kan yang memintaku" dengan nada kesal
"aku tidak mengatakan apapun" putri itu berpura-pura bodoh dan lupa bahwa dia yang memberi aba-aba
"heh??, tapi tadi..." melihat senyum putri itu yang memaksa pria dengan zirah emas (shinos) langsung menghancurkan kurungan tersebut kemudian memukul kepala orang yang di kurung tadi (Goro) shino langsung menyeret Goro dengan memegang kakinya
"jika ada hal aneh lagi aku tidak akan membantumu" shino langsung berjalan meninggalkan ruangan ini
Wanita tadi merapatkan tangan di dada, kembali tersenyum.
“Dengan kekuatan Tuan Pahlawan yang telah diberkahi Dewi Artemis, kami mohon, kalahkan Raja Iblis yang akan bangkit.”
Dan dengan kata-kata itu… kehidupan kami sebagai tumbal pun dimulai.
Wanita itu yang di panggil putri oleh shino kemudian menemukan tanganya sebanyak dua kali lalu banyak orang terpelajar dari dunia ini yang kemudian masuk sambil membawa cermin yang sangat besar
"Sebelum itu, mari kita ukur kekuatan kalian… dan mengaktifkan sistem yang telah tertanam."
“Sistem…? Apa-apaan ini?!” pikirku panik “omong kosong apa yang dia bicarakan”