WebNovelAauuuu6.67%

Arael Yang Manja

Langit siang tampak cerah, sedikit berawan tapi tak terlalu panas. Angin berembus pelan di lapangan olahraga.

Sesi bulu tangkis baru saja selesai, tapi lapangan masih ramai oleh obrolan dan canda para siswa.

Arael Nathanael, remaja enam belas tahun itu, berdiri di sisi lapangan dengan napas masih terengah. Seragam olahraganya basah oleh keringat, dan rambut hitamnya menempel di dahi.

Ia baru saja menyelesaikan pertandingan yang cukup melelahkan. Meskipun hasilnya... yah, tidak terlalu membanggakan. Tapi setidaknya, ia sudah berusaha.

"Astaga, baru jam segini tapi panasnya sudah menyengat," ujarnya sambil mengibas-ngibaskan bagian atas kausnya agar tubuhnya terasa lebih sejuk.

Bel istirahat berbunyi, menandakan akhir pelajaran olahraga. Para siswa segera berpencar ke ruang ganti, kantin, atau duduk santai di tepi lapangan.

Arael menghela napas dan mulai melangkah ke arah ruang ganti. Setelah beberapa langkah, ia sempat melirik ke pinggir lapangan dan melihat sosok yang dikenalnya sedang berdiri sambil mengobrol dengan beberapa temannya.

"Bagas," panggil Arael sambil melambai kecil.

Bagas menoleh saat ada yang memanggilnya, lalu menghampirinya dengan langkah santai.

Rambutnya sedikit berantakan, dan kaus tim basket masih melekat di tubuhnya yang tinggi dan atletis.

Nama lengkapnya Bagas Wira, dia cukup terkenal di antara para siswa. Bukan hanya karena kemampuan olahraganya yang hebat, tetapi juga karena parasnya yang tampan dan sikap ramahnya pada siapa pun.

Ia satu tahun lebih tua dari Arael. Ia sengaja menunda masuk sekolah selama setahun agar bisa sekelas dengan Arael sejak duduk di bangku sekolah dasar.

''Sudah selesai main bulu tangkisnya? Gimana mainnya tadi, lelah?,'' tanya dia sambil mengelap wajahnya dengan handuk kecil berwarna biru.

"Sudah, lumayan bikin lelah. Bulu tangkis ternyata bukan olahraga yang tinggal asal main," kata Arael sambil tertawa kecil.

"Kau sudah selesai main basketnya?."

"Sudah selesai. Tim kami tadi melawan kakak kelas, dan menang."

"Hebat juga," kata Arael sambil menoleh.

"Kakak kelas itu, apa mereka hebat?,"

Bagas terkekeh. "Lumayan. Tadi sempat serius juga mainnya, soalnya mereka lumayan kuat."

Arael mengangguk pelan. “Pantas saja bisa menang. Kalau kau bermain serius, rasanya lawan mana pun akan kewalahan.”

Bagas tersenyum tipis. “Sesekali perlu begitu. Supaya mereka tidak menganggap remeh walau cuma adik kelas.”

Mereka melangkah menuju ruang ganti tanpa banyak bicara.

Mereka berjalan santai tanpa terburu-buru. Tidak banyak kata yang diucapkan, tapi suasananya tetap terasa akrab.

Setelah beberapa langkah dalam diam, Bagas melirik ke arah Arael dan akhirnya buka suara dengan nada menggoda.

"Kalau bermain bulu tangkis, jangan-jangan kau kesulitan melihat kok yang melayang karena net-nya terlalu tinggi buatmu ya?,' godanya sambil tersenyum.

Arael menghela napas pendek.

“Itu berarti aku tidak mengandalkan keunggulan fisik untuk menang.”

Bagas sedikit tertawa.

“Itu cuma alasanmu saja. Tapi aku sedikit heran, kita tumbuh bersama sejak kecil, keluargamu juga tinggi-tinggi, tapi kenapa hanya kau yang tidak ikut tinggi?”

Arael memutar mata, lalu mengangkat kedua tangan.

"Aku juga heran, bisa jadi aku tertukar di rumah sakit waktu lahir!"

Ia memasang wajah seperti keheranan.

"Atau jangan-jangan… aku ini reinkarnasinya Hobbit!."

Bagas terbahak.

"Kalau benar, berarti kau seharusnya bisa menghilang waktu memakai cincin!"

Arael menyilangkan tangan dengan ekspresi tidak puas.

"Yah, sayangnya yang hilang cuma jatah makananku setiap kali Ibu masak makanan enak."

Obrolan pun berhenti begitu sampai di ruang ganti, Arael membuka lokernya dan mengambil seragam sekolah. Sementara Bagas duduk santai di bangku panjang, tangannya sibuk memasukkan perlengkapan ke dalam tas.

"Eh, nanti makan siangnya tetap ke kantin biasa, kan?" tanya Bagas.

"Kalau bukan ke sana, memangnya mau ke mana lagi? Dari tadi aku sudah ingin makan bakso," jawab Arael.

"Kalau aku ingin makan roti bakar. Aku malas menahan kantuk di jam pelajaran terakhir kalau terlalu kenyang. Jadi, makan beratnya nanti saja setelah pulang," kata Bagas sambil melepas sepatunya.

Arael melirik sekilas, lalu berkata, "Pantas saja tubuhmu itu besar, makanmu tidak pernah sedikit. Tidak adil, aku juga makan banyak tapi tetap begini-begini saja,"

Bagas terkekeh pelan.

"Makan saja tidak cukup untuk tumbuh. Aku juga rutin olahraga setiap hari. Coba ikut ekskul basket denganku. Jadi cadangan pun tak masalah, yang penting kau bisa temani aku di sana. Siapa tahu, kalau rajin latihan, tinggi badanmu bisa bertambah meski hanya beberapa senti."

Ia tidak menjawab, hanya memanyunkan bibirnya sambil mengganti baju. Bagas melirik dan terkekeh, tapi tidak lanjut mengganggu.

Setelah mengganti seragam, keduanya berjalan berdampingan menuju kantin. Suasana sudah cukup ramai. Aroma menggoda dari bakso, seblak pedas yang bikin hidung gatal, dan gurihnya gorengan bercampur jadi satu.

Arael langsung menuju antrean dan memesan semangkuk bakso ditambah es teh manis.

Bagas berdiri di sampingnya, menunjuk ke etalase roti.

"Bibi, saya mau tiga roti rasa cokelat-keju, tolong dipanaskan. Lalu satu es jeruk, ya."

Begitu pesanan mereka siap, keduanya berjalan mencari tempat duduk. Tak butuh waktu lama, mereka menemukan bangku kosong di pojok kantin.

Arael duduk lebih dulu dan meletakkan mangkuk baksonya dengan hati-hati. Ia lalu mencicipi kuah hangatnya, meniupnya sedikit sebelum menyeruput.

"Ahhh... Enaknya~," katanya sambil tersenyum puas.

"Gas, kau belum pernah cobain bakso di sini, kan?"

Bagas duduk di seberangnya, menggigit roti dengan santai.

"Belum. Tapi diliat-liat enak juga sih, tapi masih lebih suka bakso di pinggir jalan."

Arael melirik es jeruk dan tumpukan roti.

"Kalau gitu kenapa ngga sekalian aja cobain?, Malah beli yang manis-manis doang,"

Bagas tertawa.

"Cuma lagi pengen yang manis-manis aja, lagipula makan Roti tinggal gigit doang langsung habis."

Arael menyipitkan mata.

"Hati-hati, kebanyakan gula bisa bikin diabetes, lho."

Bagas menggoda dengan senyum semringah.

"Cerewetnya~. Tapi yang manis-manis itu kan... kamu juga suka,"

Arael menoleh dengan ekspresi tak terima.

"Hei! Kau ini, dibilangin juga. Aku ini perhatian padamu tahu!"

Bagas tertawa sambil mengangkat tangannya seolah menyerah.

"Iya, iya. Terimakasih Perhatiannya, sampai-sampai mau makan aja terasa diawasi."

Mereka memakan makanannya. Saat di mangkuk tinggal setengah, Arael tiba-tiba bersandar ke meja dan menatap Bagas dengan penuh rencana di kepalanya.

"Eh, setelah ujian nanti, kita libur kan?"

Bagas menoleh.

"Iya. Kenapa?"

Ia langsung semangat.

"Aku punya rencana hebat. Gimana kalau kita main VR yang namanya Gate of Aether itu?"

"Game VR yang baru keluar belum lama itu?" Bagas menaikkan alis.

"Aku pernah liat sekilas di iklan, katanya dunia di game itu sangat luas dan bisa berkreasi sendiri ingin bermain seperti apa. Tapi... bukannya kau belum punya kapsul VR-nya?"

"Nah, itu dia," Arael menunjuk dirinya sendiri pakai sumpit.

"Makanya aku mau mengajakmu main di tempat sewa. Yang di jalan itu arah ke minimarket, ingat tidak?"

Bagas mengangguk kecil, ekspresinya santai tapi sedikit penasaran.

"Ah, yang baru buka itu, kan? Tempatnya lumayan ramai… memangnya nanti bisa kebagian tempat?"

Arael memakan bakso yang kecil, lalu mengangguk.

"Tenang, aku sudah mencari info. Katanya kalau booking dari jauh-jauh hari, masih bisa kebagian tempat. Lagian kita juga rencananya habis ujian, kan? Waktu buat ujian nanti masih panjang."

Bagas menggigit sisa roti bakarnya, mengunyah pelan.

“Hmm, iya juga. Abis ujian pasti banyak waktu luang, jadi bisa main sepuasnya, kepala udah nggak penuh lagi sama soal-soal.”

Arael terkekeh.

“Ya. Anggap aja melepas stress untuk hadiah buat diri sendiri karena sudah bertahan sampai akhir semester.”

Bagas menyandarkan tubuh ke sandaran kursi.

“Ya sudah, aku ikut. Nanti sekalian booking-in aku, ya.”

Arael makin bersemangat.

"Bagus! Kita mulai main berdua dulu, atau cari party lain. Kalau sudah level tinggi, kita bentuk guild, aku yang jadi ketuanya, lalu—"

"Hei, jangan terlalu semangat dulu," sela Bagas sambil mengangkat gelas es jeruknya.

"Ingat ujian nanti jangan sampai kena remedial."

Arael mengangkat alis sambil menyeruput es tehnya.

"Oke, tenang saja. Mainnya kan juga habis ujian, bukan saat ujiannya."

Bagas mencibir pelan.

"Jangan sampai karena memikirkan game malah jadi lupa belajar, ya."

Arael tertawa kecil, lalu menyender ke kursi.

"Iya iya, pokoknya aku serius, Gas. Ini kesempatan langka. Kita bisa mulai dari awal bareng-bareng, seperti sekarang, satu sekolah sampai di kelas yang sama."

Bagas memutar mata sambil tersenyum.

"Baiklah. Tapi aku belum tahu nanti mau jadi apa."

"Tenang! Aku bisa bantu. Kau cocok jadi ksatria besar. Tinggi, kuat, pendiam… seperti karakter NPC yang susah didekati."

Bagas pura-pura cemberut.

"Jadi nanti aku jadi NPC aja?"

Arael menyeringai tipis sambil terkekeh pelan.

"Betul."

Tatapannya sekilas penuh kemenangan.

"Kalau begitu, kau cocoknya jadi dwarf pendek yang suka ribut." Balas ejekannya.

Arael langsung berdiri setengah berdiri sambil menunjuk.

"Siapa yang pendek?!"

Bagas menahan tawa.

"Sudah, duduk yang manis. Cepat makan sebelum bel masuk dibunyikan."

Setelah makanan mereka habis, keduanya bersandar sebentar menikmati sisa waktu istirahat. Namun bel sekolah tiba-tiba berbunyi, tanda telah dimulai mata pelajaran selanjutnya.

Arael mendesah panjang.

"Yah… baru juga istirahat bentar, udah masuk aja."

Bagas berdiri, merapikan seragamnya.

"Ayo, dwarf kecil. Jangan sampai tertinggal."

Arael manyun sambil memungut tasnya.

"Dasar titan. Lihat saja nanti dalam game, paluku bisa bikin kepalamu jadi benjol."

Candaan mereka menyatu dengan riuh siswa lain yang berjalan kembali ke kelas.

***

Setelah pelajaran terakhir usai dan bel pulang berbunyi, Arael segera beres-beres, berpamitan pada teman sekelasnya, dan bergegas keluar. Di depan gerbang, sebuah mobil berwarna hitam milik ayahnya sudah menunggu. Seperti biasa selalu datang menjemput dalam tepat waktu.

"Arael!" panggil sang ayah dari balik jendela yang diturunkan setengah.

"Datang juga, Ayah tercinta," sahutnya dengan senyum cerah sambil masuk ke kursi penumpang depan.

"Bagaimana pelajaran hari ini? Seingat Ayah, ada penjas. Capek, nggak? Terus, ada tugas lagi dari guru?" tanya ayahnya sambil melirik ke jalan dan mulai menjalankan mobil perlahan.

"Lumayan melelahkan, tadi Arael main bulu tangkis. Padahal jarang main, tapi ternyata lumayan juga," ujar Arael sambil meregangkan bahu.

Ia lalu menoleh ke ayahnya.

"Oh ya, Yah. Boleh kita mampir ke minimarket dulu? Mau beli camilan buat belajar nanti, biar semangatnya nambah."

Ayahnya terkekeh pelan. "Kau ini, belajar apa ngemil?"

"Dua-duanya! Belajar sambil ngemil itu lebih efektif, Yah!" katanya sambil memperlihatkan kedua jarinya.

Ayahnya mengangguk pelan, masih tersenyum. "Baik, kita mampir sebentar."

Ia langsung duduk di depan dengan riang, lalu mereka mulai melaju meninggalkan area sekolah.

Mobil terus melaju melewati pusat kota kecil yang mulai ramai. Saat berhenti sejenak di lampu merah, pandangan Arael tertuju pada sebuah layar besar di sebuah gedung toko elektronik. Layar itu menampilkan tayangan iklan terbaru.

Cahaya layar berganti-ganti, menampilkan adegan epik peperangan di langit antara para dewa. Ledakan sihir dan cahaya saling bersilangan. Para dewa yang memiliki penampilan rupawan dengan kekuatan luar biasa saling bertarung sengit. Namun sebagian dewa itu tampak kalah dan terlempar ke celah dimensi, terpisah ke berbagai dunia lain.

Layar berganti, menampilkan kilasan dunia game yang luas dan memukau.

Sekelompok pemain bertarung melawan monster raksasa dalam formasi party yang terkoordinasi. Sorakan, pekikan pertempuran, dan kilatan sihir bergema di antara tebing-tebing menjulang. Suasana penuh adrenalin dan ketegangan.

Tampilan berpindah ke seorang pemain yang sedang duduk di depan meja alkimia. Ia tampak fokus, tangannya lincah mencampur cairan berwarna dalam tabung kaca. Percikan cahaya muncul seiring reaksi bahan-bahan yang saling bertemu, menciptakan suasana magis yang tenang namun memikat.

Adegan lalu berubah menjadi damai. Hamparan padang rumput hijau membentang luas di bawah langit biru cerah. Cahaya matahari menyinari dedaunan, angin sepoi bertiup pelan, menciptakan nuansa tenteram yang kontras dengan pertempuran sebelumnya.

Layar kembali berganti. Lautan biru tenang memantulkan cahaya langit. Gurun pasir berwarna emas bergelombang diterpa angin panas. Sebuah kota es menjulang, bangunan putih membeku dihiasi kristal menggantung di ujung-ujung menaranya, berkilau seperti permata dalam cahaya dingin.

Terakhir, muncul kota yang telah runtuh di bawah langit malam. Bintang-bintang bersinar terang di atas langit gelap, memberikan cahaya redup pada puing-puing bangunan yang berserakan. Suasana sunyi dan kelam, seolah menyimpan jejak kehancuran.

Sebagai penutup, layar menyorot reruntuhan kuno yang tersebar di lanskap retak dan tandus. Pilar-pilar marmer yang telah tumbang, dinding yang runtuh, dan sisa-sisa kejayaan istana yang pernah berdiri megah kini tertelan waktu. Segalanya tampak hancur, seakan tempat itu pernah menjadi medan pertempuran para dewa.

Kemudian suara narator bergema, jelas dan penuh semangat:

"Siapkah kau menjadi legenda? Dunia Theo Gate Of Aether menantimu! VRMMORPG revolusioner yang menyatukan sihir, teknologi, dan kebebasan menjelajah tanpa batas! Masuki dunia para dewa dan tentukan takdirmu! Mari dapatkan pengalaman penuh melalui kapsul VR dari model terbaru! Ayo beli sekarang juga dengan diskon terbatas, harga jadi lebih murah!"

Di matanya ada tatapan yang berbinar. Ia menoleh perlahan ke arah ayahnya, lalu bersuara pelan dengan nada penuh harap.

"A-ayah, lihat itu… Lagi diskon, lho."

Ayahnya hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan pelan.

"Belum bisa. Ayah belum bisa belikan sekarang."

Arael menatap ayahnya dengan sorot mata penuh harap.

"Hah? Kenapa memangnya, Yah?" ucapnya dengan nada pelan.

"Lagian... harganya nggak mahal kok," tambahnya, masih menatap seperti memohon, seolah berharap sang ayah berubah pikiran.

"Pokoknya tidak boleh. Nanti juga ayah belikan, oke? Arael sabar aja dulu." Jawabnya datar tapi pasti.

Dalam hati, sang ayah menghela napas panjang.

'Itu hadiah ulang tahunmu, Nak… Tapi kalau ayah belikan sekarang, bisa-bisa ayah tidur di sofa seminggu oleh Ibumu.'

Arael langsung memonyongkan bibirnya. Ia tidak menjawab lagi, hanya diam dan menyandarkan dagunya ke jendela mobil. Wajahnya cemberut.

Bukan karena harga kapsul VR yang mahal, sebenarnya mereka mampu membelikannya.

Tapi ia tahu alasannya pasti karena orang tuanya ingin ia tetap fokus belajar dulu, apalagi menjelang ujian. Meski keluarganya bukan tipe yang ambisius dalam hal pendidikan, mereka tetap ingin Arael punya tanggung jawab.

Ekspresi itu tidak berubah bahkan sampai mobil mereka berhenti di depan minimarket. Ia turun lesu, masuk ke dalam toko, dan kembali dengan sekantong camilan: aneka keripik, cokelat, permen asam, dan beberapa minuman cola.

Dan saat mereka melanjutkan perjalanan pulang, Arael hanya diam saja. Begitu tiba di rumah, ia masuk ke dalam dan langsung melempar tubuhnya ke sofa seperti sekarung beras.

"Cemberutnya dari lampu merah sampai rumah. Arael kecil, kau ini," Ayahnya menggeleng pelan, lalu masuk ke dapur sambil tertawa kecil.

Ia mendesah panjang sambil memeluk bantal. "Kenapa kapsul VR itu tidak bisa dibeli sekarang… Sudah tidak bisa sabar mau main…"