Pagi itu, Arael terbangun. Langit di luar jendela masih sedikit gelap.
Ia sempat tertidur lagi, lalu bangun saat matahari sudah sedikit naik. Ia menguap lebar, mengusap wajahnya yang masih mengantuk. Kemudian ia bangkit, mengambil handuk dari gantungan, dan berjalan menuju kamar mandi.
Air hangat membantu mengusir kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi, Arael mengenakan seragam sekolahnya dengan kemeja putih yang disetrika rapi, dasi biru tua yang sudah disiapkan semalam, celana panjang berwarna gelap, serta rompi berwarna navy dengan lambang sekolah bordir emas di sisi kiri dada. Seragam itu terlihat rapi dan elegan, mencerminkan status sekolahnya yang terpelajar.
Begitu turun ke lantai bawah, aroma nasi goreng, telur dadar, kopi dan susu hangat langsung menyambutnya. Suasana rumah tampak hangat dan akrab.
Di meja makan, ayahnya sudah duduk di kursinya, matanya tertuju pada televisi yang menyiarkan berita pagi di sudut ruangan.
Ibunya sedang membereskan peralatan masak.
Kakak laki-lakinya yang tiga tahun lebih tua terlihat masih mengunyah perlahan makanannya sambil memeriksa ponsel.
Adik perempuannya yang baru berusia dua belas tahun duduk manis di meja, mengaduk susu panasnya sambil bersenandung kecil, entah lagu apa.
“Pagi semuanya,” sapa Arael sambil menarik kursi dan menjatuhkan diri ke dudukannya.
“Pagi,” jawab mereka hampir bersamaan. Ibunya terdengar ramah, adiknya malas-malasan, sementara sang ayah hanya bergumam sambil membaca berita dari tablet.
“Cepat makan, jangan sampai telat lagi,” kata sang ibu sambil meletakkan selai cokelat di atas meja dan ikut duduk.
Obrolan ringan pun mengisi suasana makan pagi. Tak butuh waktu lama sebelum suara rebutan kecil terdengar. Arael dan adiknya mulai saling tuduh soal siapa yang paling sering menghabiskan selai.
“Kemarin kamu yang pakai banyak!”
“Justru kamu yang—”
Ibu hanya menggeleng sambil terkekeh, heran sendiri.
“Baru juga pagi, sudah ribut saja kalian berdua.”
Sementara itu, sang ayah tetap tenang menyendok sarapan tanpa sepatah kata pun, seolah sudah kebal dengan kegaduhan pagi rumah itu.
Setelah beberapa menit, tawa kecil, dan teguran ringan, suasana perlahan mereda. Sarapan pun usai, dan masing-masing anggota keluarga bersiap memulai hari mereka.
Tak lama, Arael dan adiknya sudah rapi dengan seragam masing-masing. Mereka keluar rumah bersama, langkah mereka beriringan menuju garasi. Sang ayah sudah duduk di balik kemudi mobil hitam keluarga, siap mengantar.
Tanpa banyak bicara, keduanya masuk ke kursi belakang.
“Sudah siap?” tanya ayah mereka singkat.
“Siap,” jawab keduanya hampir bersamaan.
Mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah, menyusuri jalanan perumahan yang mulai ramai. Di dalam mobil, percakapan ringan terdengar, namun lebih banyak diisi dengan omelan ayahnya yang kesal karena kemacetan lalu lintas pagi atau berita yang diputar di head unit mobilnya.
Setelah beberapa menit berkendara, mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Arael membuka pintu dan turun.
“Aku pergi dulu, hati-hati di jalan ayah.” ucapnya sambil menutup pintu.
Ayahnya mengangguk. “Belajar yang rajin.”
Arael melangkah masuk ke halaman sekolah. Dari kejauhan, ia melihat Bagas berdiri santai di dekat pintu gerbang, mengenakan rompi seragam yang sama dan menguap lebar.
“Yo, pagi, Gas!” sapa Arael sambil menepuk punggungnya dengan ringan.
“Pagi juga. Semangat amat, pagi-pagi begini,” gumam Bagas setengah malas. “Padahal ujian masih minggu depan, santai aja dulu kek.”
“Justru karena masih seminggu, makanya harus mulai dari sekarang,” sahut Arael, merapikan dasinya. “Kalau nggak, matematikaku bisa ambruk lagi kayak semester lalu.”
Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor yang mulai ramai, suara langkah kaki dan obrolan teman-teman terdengar di sepanjang lorong.
Bagas mendesah sambil memeluk lengan sendiri. “Duh, jangan ingetin soal matematika deh. Latihan soal kemarin aja udah bikin aku pengen lempar kalkulator ke luar jendela.”
Arael tertawa kecil. “Eh, ngomong-ngomong, kau lihat berita tentang game VR kemarin? Pemain pertama yang tembus level 100 itu diumumkan di televisi.”
“Aku sempat melihatnya, Asher Blake, kan? Yang dari Amerika itu,” jawab Bagas, nada suaranya langsung naik setingkat. “Dia hebat juga, user Greatsword tapi bisa nembus sejauh itu. Biasanya user tipe itu lambat banget buat naik level.”
“Padahal game-nya baru dirilis beberapa bulan, lho. Kayaknya dia nggak pernah logout.”
Bagas mengangguk. “Kalau udah pro, kayaknya waktu tidur pun ngga bikin ngaruh, bisa tidur cuma satu jam-dua jam atau ngga tidur sama sekali.”
Obrolan mereka terputus saat bel sekolah berbunyi nyaring dari pengeras suara, memecah suasana pagi.
Tanpa berkata apa-apa, mereka saling melirik dan langsung mempercepat langkah, menaiki tangga menuju lantai dua.
Sesampainya di lantai atas, Arael dan Bagas segera masuk ke kelas. Suara obrolan teman-teman langsung menyambut, sebagian masih berdiri santai di dekat meja, sementara yang lain sudah duduk sambil membuka buku atau memainkan ponsel.
“Hei, Pagi Arael! Bagas!” panggil Rendi dari bangku sebelah kanan, duduk bersama dua temannya yang tengah asyik mengobrol santai.
“Pagi!” balas Arael sambil mengangkat tangan singkat.
Bagas mengangguk ringan. “Yo, pagi, Ren.”
Arael langsung menuju kursinya di barisan paling kiri, dekat jendela. Ia menarik kursi meja nomor empat dan duduk dengan santai, meletakkan tas di samping.
Tak lama, Bagas menyusul dan duduk di belakangnya, meja nomor lima. Ia menjatuhkan diri ke kursi seperti kehabisan energi, lalu menyandarkan kepala di meja sambil menghela napas panjang.
“Pagi baru mulai, tapi rasanya udah pengen pulang aja,” gumamnya lirih.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar dari luar kelas, diikuti pintu yang terbuka lebar.
Guru matematika masuk ke kelas dengan wajah serius. Kemeja biru mudanya sudah terselip rapi ke dalam celana bahan gelap, dan di pundaknya tergantung tas punggung berisi MacBook serta setumpuk kertas di tangan.
“Selamat pagi. Duduk tenang. Jangan ribut. Kita mulai sekarang,” katanya tegas sambil berdiri di depan papan tulis.
Obrolan spontan yang tadi sempat ramai langsung terhenti. Para murid buru-buru duduk tegak dan menahan napas.
“Pertama, saya akan koreksi PR kemarin. Siapkan. Letakkan di atas meja masing-masing. Saya akan keliling.”
Suara gemerisik halaman dan ritsleting tas mulai terdengar memenuhi kelas, seperti irama khas pagi yang tegang. Siswa-siswa sibuk mengeluarkan buku PR masing-masing, sebagian langsung meletakkannya di meja, sebagian lagi masih menggali isi tas.
Di sudut kelas, Arael masih diam. Sekilas, ia tampak tenang. Tapi detik berikutnya, ia menunduk cepat, membuka tas dan mulai mengobrak-abrik isinya. Jemarinya bergerak cepat—buku catatan, kotak pensil, botol minum… semua dikeluarkan satu per satu.
Namun buku PR-nya tidak ada.
Wajah Arael mulai memucat. Napasnya tertahan.
“Ah… buku PR-ku…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Dari bangku belakang, Bagas menyipitkan mata, melihatnya sedang panik.
“Kenapa?” bisiknya pelan.
Arael menoleh perlahan. Tatapannya terlihat panik, penuh penyesalan.
“Aku… lupa bawa,” jawabnya lirih.
Langkah kaki berat terdengar mendekat, mantap dan teratur. Pak guru matematika yang sedikit galak itu, melangkah dari arah depan kelas, menyusuri lorong di antara bangku siswa sambil sesekali menengok ke meja-meja, memastikan tugas sudah siap.
Begitu tiba di samping meja Arael, langkahnya terhenti. Ia berdiri tegak dengan ekspresi tak ramah.
“Arael,” panggilnya, nadanya tajam. “Mana tugas matematikamu?”
Arael berdiri perlahan, menahan napas. “Maaf, Pak. Sudah saya kerjakan, tapi… bukunya tertinggal di rumah.”
Guru itu memejamkan mata sejenak. Ia menghela napas panjang, seakan berusaha menahan marah. Tangannya menyelipkan map koreksi ke ketiak, lalu menatap Arael langsung.
“Ini kedua kalinya kau lupa, Arael.”
Arael menunduk dalam-dalam. “Maaf, Pak. Saya benar-benar sudah mengerjakannya, cuma... ketinggalan di meja belajar.”
Pak guru itu menggeleng perlahan, kemudian menarik selembar kertas dari map cokelat di tangannya.
“Alasan klasik. Bapak tidak mau dengar. Silakan bersihkan toilet lantai dua sampai pelajaran selesai. Ini surat tugasnya. Tunjukkan ke petugas kebersihan.”
Terdengar beberapa tawa yang ditahan. Satu dua murid menutup mulutnya, tapi ekspresi geli tak bisa disembunyikan.
Wajah Arael memerah. Ia menerima kertas tugas itu, menunduk, dan melangkah keluar dengan langkah pelan dan kikuk.
“Yang sabar ya, jamur tiram,” celetuk Bagas. “Jangan sampai ngepel pakai air bersih doang, lho!” Suara cekikikan menyusul.
Kelas kembali hening. Guru mulai menulis rumus aritmetika panjang di papan. Pelajaran berjalan seperti biasa.
Tapi tidak untuk Arael.
Di lorong kosong dan sepi, ia berjalan dengan kepala menunduk, surat tugas tergenggam erat di tangannya. Pelajaran hari ini terlewat begitu saja untuknya.