Kabut tipis masih menggantung di antara gedung-gedung kota, menyelimuti jalanan yang masih sepi. Lampu lalu lintas berganti tanpa terburu-buru, dan hanya satu-dua kendaraan melintas, termasuk seorang anak muda yang mengendarai motor berwarna merah kesayangannya.
Dia adalah Bagas.
Remaja itu mengendarai motor sport sendirian, helm menutupi sebagian wajahnya, dan jaket hitam membalut tubuh tinggi dan tegapnya. Meski hari masih pagi buta, ia tampak tenang, seperti sudah terbiasa di perjalanan yang masih di jam istirahat.
Menurutnya, ini jauh lebih baik—melaju perlahan di bawah langit kota yang masih awal pagi, daripada harus menghabiskan waktu di rumah yang sepi dan terlalu luas untuk ditinggali sendiri.
Rumah itu memang besar dan bersih, tapi juga kosong. Dingin. Tak ada suara dapur, tak ada langkah kaki, tak ada tawa. Hanya dinding putih, furnitur rapi, dan jam dinding yang berdetak terlalu keras.
Bagas menambah kecepatan motornya sedikit, membiarkan hembusan angin pagi menyapu wajahnya.
Ia bukan sedang terburu-buru. Tapi ada perasaan aneh di dadanya yang mendorong untuk segera sampai—untuk segera bertemu Arael.
Dan mungkin juga... untuk merasa bahwa ia masih punya tempat pulang, walau bukan rumahnya sendiri.
"Kalau datang ke rumah orang, masa tangan kosong," gumamnya sambil menurunkan gas.
Ia berhenti perlahan di depan sebuah toko kue kecil yang baru buka. Etalasenya masih basah oleh embun pagi, dan dari dalam, aroma bolu yang masih hangat menyeruak keluar.
Toko itu belum ramai. Seorang ibu tua tampak menyapu lantai saat Bagas membuka pintu kaca dan masuk. Ia menatap loyang-loyang bolu yang baru keluar dari oven, bagian atasnya sedikit kecokelatan, teksturnya tampak padat dan lembap.
"Permisi, Bu. Saya beli dua bolu pisangnya, ya," ujarnya sambil tersenyum.
Ibu penjual membungkus dua kotak kecil dengan plastik bening dan pita sederhana. Bagas mengangguk puas.
Dua sepertinya cukup. Untuk bertamu, masa cuma dikasih satu?
---
Dalam perjalanan menuju rumah Arael, Bagas sempat mampir ke minimarket. Ia berdiri lama di depan rak camilan, berpikir keras.
Arael lebih suka yang asin atau manis?
Ia sempat berdiri mematung di depan rak camilan, menimbang-nimbang. Cokelat? Keripik? Biskuit?
Lalu ia tersenyum kecil.
Daripada memilih salah satu, lebih baik beli semuanya saja.
Ia akhirnya mengambil beberapa jenis camilan rasa keju, dua bungkus keripik kentang rasa rumput laut, dan juga sekotak wafer cokelat. Lalu ke bagian minuman, dan tanpa ragu membuka lemari pendingin, mengambil dua botol cola.
Cola... karena dia suka, lebih baik beli dua sekalian, pikir Bagas.
---
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Bagas akhirnya berhenti di depan gerbang besi tinggi milik sebuah rumah besar yang tampak kokoh dan rapi. Rumah itu berdiri tenang di ujung jalan kecil yang hanya cukup dilewati dua mobil, jauh dari kebisingan jalan raya. Rerumputan hijau terbentang di kiri dan kanan, menjadi batas alami antara rumah-rumah dan jalan beraspal.
Rumah-rumah di sekitar tidak semewah rumah itu, tapi tetap terlihat bersih dan tertata, masing-masing dikelilingi taman kecil dan pohon-pohon rindang yang daunnya bergoyang pelan diterpa angin pagi. Bahkan rumah-rumah di seberang pun tampak teduh dengan halaman berumput yang seragam, menciptakan kesan damai meski berada di tengah kota.
Bagas mematikan mesin motornya dan menurunkan standar. Ia menatap rumah itu sejenak, lalu turun dan membuka gerbang kecil di sampingnya. Udara pagi terasa segar, menyelusup di antara pepohonan dan semak hijau yang berjajar rapi, seolah menyambut kedatangannya dengan keheningan yang menenangkan.
Saat masuk ke dalam, Bagas melihat Ibu Arael sedang menyapu halaman. Ia langsung menyapa lebih dulu dengan senyum sopan,
“Selamat pagi, Bibi,” sapa Bagas sopan.
Ibu Arael menoleh dan tersenyum lebih lebar. “Oh, Nak Bagas. Mau main sama Arael, ya?”
Bagas mengangguk dan menunduk sedikit. “Iya, Bi. Sekalian belajar bareng, buat ujian besok.”
“Motornya taruh saja di garasi, biar enggak kepanasan.”
“Baik, Bi.”
Setelah memarkir motor dengan rapi di garasi samping, Bagas kembali menghampiri. Ia menyodorkan kantong plastik berisi bolu.
“Saya bawain ini. Katanya Om suka bolu pisang.”
Ibu Arael tampak senang, meskipun sempat melambaikan tangan. “Aduh, kamu ini. Enggak usah repot-repot, lho.”
“Enggak repot, Bi. Saya beli sekalian lewat tadi.”
Saat mereka berbincang, terdengar suara berat dari dalam rumah.
“Oh, ada Bagas.” Suara ayah Arael terdengar dari arah ruang tengah.
Bagas menoleh. Ayah Arael berdiri di ambang pintu ruang tengah, mengenakan kaus dan celana santai. Ia terlihat baru saja selesai meminum kopi paginya.
“Selamat pagi, Om,” ucap Bagas cepat sambil membungkuk ringan.
Ayah Arael mengangguk ramah. “Pagi. Masuk saja. Arael ada di kamarnya.”
“Terima kasih, Om.”
---
Rumah itu tak jauh berbeda dari rumahnya sendiri—luas, berlantai marmer, dan penuh hiasan elegan. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Rumah ini terasa hidup.
Ada aroma masakan dari dapur, ada suara pelan dari televisi yang menyala di ruang keluarga, ada suara candaan Ibu Arael yang masih menggema samar dari teras.
Sementara rumahnya sendiri… kosong. Diam. Sekalipun lebih besar, kadang terasa seperti museum: rapi, dingin, dan tak berpenghuni.
Orang tuanya bekerja di luar kota. Pulangnya bisa berbulan-bulan sekali, bahkan kadang setahun tidak pulang.
Bahkan jika sempat pulang pun, mereka hanya mampir sebentar—seolah rumah ini hanyalah tempat transit sebelum kembali pergi lagi.
Mungkin itu sebabnya, sejak kecil, rumah ini selalu menjadi tempat yang terasa lebih seperti rumah baginya.
Ia menapaki tangga menuju lantai dua. Langkahnya pelan, membawa kantong berisi camilan dan dua botol cola. Lorong di atas tampak rapi dan sunyi. Cahaya matahari masuk lewat jendela kecil di ujung koridor, menyorot bingkai foto yang berderet di sepanjang dinding krem.
Ia melewati foto Arael dan keluarganya saat liburan di pantai. Mereka semua tersenyum cerah.
Ia sempat berhenti sebentar, memperhatikan gambar itu.
Di rumahnya juga ada bingkai foto keluarga. Tapi hampir semua diambil di studio. Rapi. Formal. Senyum yang dibuat-buat.
Di tengah lorong, ia berhenti. Sebuah pintu cokelat muda berdiri di depannya, dengan nama “Arael” tertulis kecil.
Ia mengangkat tangan, bersiap untuk mengetuk.
Tapi sebelum jarinya sempat menyentuh kayu pintu itu, daun pintu terbuka dari dalam.
Tok!
Bunyi pelan terdengar ketika jari-jari Bagas yang sudah terangkat tetap bergerak turun dan mengenai dahi Arael yang baru saja membuka pintu.
"Aduh!" seru Arael sambil mundur sedikit, memegang dahinya yang baru saja terkena ketukan. "Bagas! Kau… sakit tahu! Kenapa tulangmu begitu keras?!"
Bagas langsung menarik tangannya, sedikit terkejut, lalu memasang ekspresi tak bersalah.
"Kau ini. Bukan salahku. Kenapa membuka pintu tepat saat aku mau mengetuk?"
"Mana aku tahu kau akan mengetuk seburu-buru itu!" Arael mengomel sambil mengusap dahinya yang masih terasa nyut-nyutan.
Bagas menahan tawa. "Kalau kau tinggi sedikit, mungkin tidak akan kena dahi."
Arael langsung melotot. "Apa yang kau katakan barusan?"
"Tidak, hanya bilang... sepertinya pintu ini disetel untuk orang yang lebih tinggi," jawab Bagas santai, menyengir menyebalkan.
Arael mendecak kesal.
Bagas tertawa kecil sambil menyodorkan kantong plastik.
"Ini, oleh-oleh buatmu. Pengganti permintaan maaf karena ketukan barusan."
Arael merebut plastik itu dengan ekspresi sebal, tapi matanya sempat melirik isinya dan membulat sedikit.
"Kau beli cola juga?"
"Ya. Supaya kau semangat belajar. Jangan bilang aku tidak perhatian."
Arael mendengus pelan, tapi sudut bibirnya perlahan terangkat membentuk senyum kecil.
Bagas melangkah masuk ke kamar Arael, matanya menyapu ruangan luas itu yang terorganisir rapi tetapi penuh dengan sentuhan pribadi: rak berisi figure karakter game, beberapa poster anime, dan layar monitor ganda di atas meja belajar.