Setelah masuk ke dalam kamar, Bagas menurunkan ranselnya dan langsung menjatuhkan diri ke atas kasur. Kasur itu cukup empuk, membuat tubuhnya nyaman setelah menempuh perjalanan jauh. Ia menghela napas puas, meregangkan kaki yang lelah.
"Kau istirahatlah dulu, jangan langsung buka buku," kata Arael sambil meletakkan kantong plastik berisi camilan di atas meja kecil di dekat kasurnya.
"Bukannya kita mau belajar?" tanya Bagas, menuruti Arael dan duduk santai sambil menyandarkan punggung ke bantal besar.
"Belajar, iya... Tapi ada yang lebih penting. Lihat ini dulu." jawab Arael sambil mengambil remote dan menyalakan televisi layar datar besar yang tergantung di dinding.
Ia langsung memindah ke saluran khusus berita game. GatEather News, yang saat itu sedang menyiarkan siaran langsung dari dalam dunia game Theo Gate Of Aether.
Di layar, reporter avatar berdiri di antara reruntuhan dungeon dengan visual penuh efek sihir dan asap pertempuran. Suaranya terdengar tegas.
"Telah terjadi bentrokan besar pagi ini antara dua guild: Phoenix dan SevenHeaven, memperebutkan Dungeon yang baru ditemukan. Dungeon tersebut diketahui mengandung konsentrasi material langka tingkat tinggi, Mithril Essence, yang mampu digunakan untuk menciptakan senjata tingkat legendaris."
Gambar di layar berganti cepat, menampilkan siaran pertempuran langsung antar guild. Pasukan Guild Phoenix dengan pemimpin yang menggunakan armor merah api dan pedangnya yang bercahaya api kemerahan, bertarung melawan barisan Guild SevenHeaven, dipimpin oleh seorang pemain menggunakan armor emas dengan pedang besarnya yang bercahaya.
"Konflik ini terjadi setelah negosiasi damai antara kedua guild gagal dicapai semalam. Pihak SevenHeaven menuduh Phoenix melanggar batas wilayah eksplorasi, sementara Phoenix menuding SevenHeaven sengaja menyabotase ruang teleportasi mereka. Saat ini, kami masih akan menyelidiki insiden tersebut."
Arael duduk di pinggir tempat tidurnya, menyandarkan dagu ke tangan.
"Ini... bisa jadi pembuka event besar," gumamnya, lebih ke diri sendiri. "Kalau salah satunya kalah, keseimbangan peta bisa berubah total."
Bagas melirik layar sejenak, lalu balik memandangi Arael. "Serius menonton beginian sebelum belajar?"
Arael hanya menjawab dengan anggukan pendek, matanya masih tertuju ke layar. "Ini penting. Informasi begini bisa jadi kunci buat kita nanti."
Bagas menyandarkan punggung ke bantal. "Aku ke sini bukan buat menonton perang guild... tapi baiklah. Lima menit, ya. Habis itu belajar."
Arael hanya tersenyum, cukup untuk menunjukkan bahwa ia setuju.
Beberapa menit kemudian setelah siaran itu berakhir, Arael menggigit kripik kentang, matanya masih tertuju pada siaran berita yang baru saja selesai. Ia menghela napas ringan.
"Gas," panggilnya sambil menoleh. "Menurutmu, apakah akan ada perlengkapan tingkat tinggi yang tercipta dari bentrokan dua guild tadi? Maksudku, kalau Mithril itu berhasil didapat dan diolah."
Bagas membuka bungkus keripik dan mengambil beberapa. "Hmm… harusnya bisa saja. Namun, lihat dulu situasinya, dua guild besar itu bahkan sampai saling perang demi satu dungeon. Kalau benar di dalamnya ada sumber Mithril, pasti yang pertama dapat itu pemimpin guild-nya sendiri. Pemain biasa mana bisa ikut rebutan?"
Arael mengangguk pelan. "Iya juga, pemain biasa pasti sulit."
Bagas melanjutkan, semangat, tangannya sibuk menuang cola ke gelas kaca. "Lagipula, kalau ada pemain biasa yang dapat Mithril secara diam-diam, ya paling mentok dijual. Buat apa disimpan? Mau bikin senjata kelas legendaris? Biayanya sangat besar! Cuma siapin bahan doang tidak cukup. Harus punya persiapan, seperti uang, dan mencari pengrajin khusus."
Ia menyeruput cola-nya lalu melanjutkan dengan serius.
"Belum lagi, kalau ketahuan, bisa diincar habis-habisan. Yah, pemain biasa pasti akan berpikir secara realistis, jual saja ke pasar lelang. Dapat gold banyak, bebas dari risiko. Daripada disikat guild atau diburu satu dunia, kan?"
imbuhnya
Arael tersenyum. "Logis juga. Tapi kalau aku yang dapat sih, tidak akan aku jual."
Bagas menoleh, ekspresi heran. "Serius?"
"Hmm. Aku punya cukup modal untuk menjaga dan mengembangkan sendiri. Lagipula, senjata kelas legendaris... siapa sih yang tidak ingin punya satu?"
Bagas terkekeh. "Haha, iya juga. Tapi tetap saja, mayoritas pemain tidak seberuntung kau, Rael. Gold pas-pasan, skill crafting tidak ada, nyali juga tidak cukup. Jadi, ya ujungnya tetap dilelang."
Arael mengambil snack dari bungkus yang tadi sudah dibuka, lalu mengunyahnya pelan.
"Pemain-pemain kecil itu sering jadi pemicu masalah besar. Apalagi sekarang jumlah pemain sudah tembus seratus juta. Misalnya ketahuan bawa barang mahal, pasti langsung di-PK."
Bagas mengangguk cepat.
"Itu dia. Salah langkah sedikit saja bisa kayak nginjak ranjau. Makanya, VRMMO sekarang rasanya udah kayak dunia nyata. Yang kuat makin kuat, yang lemah harus pintar-pintar cari celah. Dinamika itu yang bikin seru."
Ia meneguk sisa cola dari gelas dan mendongak ke arah Arael. "Baik, cukup membicarakan perang guild dan Mithril segala. Kita ke sini kan untuk belajar, bukan mengobrol tentang game."
Arael cemberut, wajahnya mengarah ke langit-langit sambil rebahan. Ia mendecak pelan, malas bergerak.
"Iya, iya… padahal lagi seru."
Melihat wajah Arael yang kesal, Bagas meraih sekeping kripik dan tanpa banyak basa-basi, langsung menyodorkannya ke mulut Arael dan menjejalkannya dengan cepat.
"Mengambek terus, kalau nilainya turun, bisa-bisa nanti tidak diberi izin ke rental kapsul VR, aku gamau tanggung jawab nanti kalau itu terjadi" godanya sambil tertawa.
Arael mengunyah dengan ekspresi sebal yang dibuat-buat, lalu memutar mata. "Dasar menyebalkan…"
Meski begitu, ia akhirnya bangkit dari tempat tidur, mengambil buku-buku pelajaran dari rak kecil di samping meja belajarnya. "Yasudah, belajar yuk."
Arael membuka bukunya, membalik beberapa halaman sambil mencari topik yang sesuai dengan soal ujian barusan. Ia menelusuri halaman-halaman itu dengan serius, jari telunjuknya menyusuri baris demi baris. Setelah beberapa menit, ia berhenti pada bagian yang penuh rumus dan grafik.
"Ah, ini dia... limit-limit," gumamnya pelan.
Beberapa menit kemudian, Arael menopang dagu, menatap soal limit di bukunya dengan alis berkerut.
"Bagas, soal ini bikin pusing. Lihat, limit x mendekati 2 dari (x² - 4) per (x - 2). Kalau dimasukkan langsung, hasilnya malah 0 dibagi 0."
Bagas melirik ke bukunya, lalu tersenyum tipis.
"Itu bentuk tak tentu. Harus di sederhanakan dulu pembilangnya."
Arael menghela napas. "Aku tahu itu bentuk tak tentu, tapi otakku seperti buntu. Aku lupa cara menyederhanakannya."
"Kalau pembilangnya x² - 4, itu kan selisih kuadrat. Coba ingat, a² - b² = (a + b)(a - b)."
"Jadi… x² - 4 itu (x + 2)(x - 2)?"
"Ya. Nah sekarang bentuknya jadi: [(x + 2)(x - 2)] / (x - 2)"
Arael menatap Bagas, perlahan mengangguk. "Oh… jadi (x - 2)-nya bisa dicoret?"
"Bisa. Asalkan kamu catat bahwa x ≠ 2 ya, karena pembagian tidak didefinisikan di situ."
"Jadi hasilnya tinggal limit x mendekati 2 dari (x + 2), berarti jawabannya 4?"
"Benar."
Arael mendesah lega. "Kenapa ya, kalau aku baca sendiri kayaknya ribet banget. Tapi pas kamu jelasin, jadi masuk akal."
Bagas tersenyum kecil. "Limit itu cuma masalah menyederhanakan bentuknya. Fokusnya bukan 'apa yang terjadi saat x = 2', tapi 'apa yang hampir terjadi saat mendekati 2'."
Setelah itu, mereka kembali tenggelam dalam soal demi soal. Suasana kamar dipenuhi dengan gumaman pelan, desah kebosanan, dan kadang suara koreksi Bagas yang cerewet tetapi membantu.
"Ini log-nya masih salah," kata Bagas sambil menunjuk bagian soal.
"Tapi saat itu guru bilang boleh dibulatkan, kan?"
"Boleh dibulatkan setelahnya. Ini belum. Nih, ulang," katanya sambil mendorong buku latihan ke arah Arael.
Meski kadang diselingi canda dan lempar-lempar snack, proses belajar mereka berjalan cukup efektif.
Hingga menjelang sore, keduanya mulai merasa lelah. Buku-buku dibiarkan terbuka begitu saja, sebagian berserakan di karpet.
Arael berbaring di kasur terlebih dahulu, diikuti oleh Bagas yang menyusul dengan santai.
Sambil bersandar, Bagas melirik Arael yang mulai memejamkan mata.
Tanpa aba-aba, tangannya tiba-tiba menyentuh pinggang Arael dan menggelitik cepat.
"Hei! Hahaha! Berhenti—haha!!" Arael tertawa tanpa henti, berguling menjauh sambil meninju lengan Bagas.
Bagas ikut tertawa puas, lalu ikut berbaring kembali. Keduanya mulai terdiam, mata terasa berat, tubuh mereka mulai menyerah pada rasa kantuk yang perlahan mengambil alih.
Tak butuh waktu lama, keduanya pun terlelap di atas kasur, tidur berdampingan dengan napas yang teratur dan wajah tenang.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki mendekat.
Pintu kamar terbuka pelan, memperlihatkan sosok Ibu Arael yang membawa nampan berisi potongan bolu gulung pisang yang dibawa Bagas.
Begitu matanya menangkap pemandangan di depan, ia terdiam sejenak.
Di hadapannya, anak yang dulu sering terbaring lemas karena demam atau batuk, kini tertidur dengan damai bersama.
"Ia teringat, saat mereka masih kecil, Bagas pernah menangis keras karena tidak diizinkan menginap ketika Arael dirawat di rumah sakit. Bahkan ia pernah bersikeras membacakan komik di samping ranjang hanya supaya Arael bisa tertawa, meski hanya sebentar."
Waktu bergulir cepat.
Kini mereka tumbuh, belajar, saling mengganggu, tetapi juga saling menjaga.
Ibu Arael tersenyum kecil dan menggeleng pelan. "Anak nakal ini, sekarang sudah semakin tumbuh besar."
Ia meletakkan nampan di meja belajar, lalu merapikan sedikit buku-buku yang telah selesai dibaca, kemudian menarik selimut tipis dan menutupi tubuh Arael dan Bagas dengan lembut, lalu keluar tanpa membuat suara.
Pintu kamar kembali tertutup perlahan, menyisakan suasana hangat dan damai di dalam ruangan.