Dalam tidurnya yang nyenyak, sinar matahari pagi menyusup lewat celah gorden dan menyentuh wajah Arael. Ia sempat membuka mata, lalu kembali memejamkannya seolah belum rela meninggalkan tidur.
Tiba-tiba, suara musik keras meledak dari ponselnya—lagu rock dengan dentuman drum dan raungan gitar yang memekakkan telinga.
Arael tersentak kaget, matanya terbuka setengah sambil meringis. Tangannya bergerak panik meraba ponsel di meja samping, dan dengan mata masih setengah terpejam, ia menekan tombol snooze.
Suasana kembali hening. Ia menarik napas panjang, berguling ke sisi lain, lalu menarik selimut sampai ke dagu. Matanya pun perlahan tertutup lagi.
Namun lima menit kemudian, alarm kembali meraung dengan nyaring, yang membuat Arael terbangun dari tidur cantiknya.
Ia mendesah pelan, menyerah. Dengan gerakan malas, matanya mulai terbuka perlahan, menyipit karena cahaya samar yang masuk dari sela gorden.
Begitu duduk setengah sadar di tepi tempat tidur, pandangannya secara tidak sengaja tertumbuk pada secarik kertas kecil berwarna kuning yang menempel di dinding seberang meja belajarnya.
Tulisannya besar-besar dengan spidol hitam:
"SEMANGAT UJIANNYA! - Bagas ᕙ( ͡◉ ͜ ʖ ͡◉)ᕗ"
Gambarnya jelek, senyum miring dengan dua alis tebal dan tangan mengepal di samping tulisan. Arael sempat melotot heran sebelum akhirnya sadar sepenuhnya.
"…Ujian?" gumamnya, kali ini dengan nada bingung.
Beberapa detik ia termenung, lalu seperti sambaran petir, kesadarannya menyatu.
"UJIAN!" serunya, kali ini lantang dan panik.
Ia langsung meloncat dari tempat tidur, selimut terlempar begitu saja ke lantai. Jantungnya berdebar kencang. Dalam satu gerakan cepat, ia menyambar handuk yang tergantung di balik pintu dan bergegas menuju kamar mandi. Langkahnya terburu-buru, nyaris terpeleset oleh sandal yang terinjak.
Pintu kamar mandi terbuka dan menutup dengan bunyi keras.
Tak lama kemudian, suara air mulai mengalir deras.
Begitu keluar, rambutnya masih sedikit basah, namun ia sudah terlihat lebih segar. Ia memakai seragam rapi, menyemprotkan sedikit parfum ke badannya, lalu berjalan menuju dapur.
Di meja makan, aroma sosis goreng dan roti panggang langsung menyambutnya. Ibunya sedang menuangkan susu ke dalam gelas, sementara adiknya duduk menonton kartun.
"Selamat pagi," sapa Arael sambil duduk di kursinya.
"Pagi, Sayang," ucap ibunya sambil menyodorkan segelas susu, suaranya lembut dan menenangkan.
"Ini, minum dulu. Biar semangat ngerjain ujiannya."
Arael mengangguk sambil mengambil sendok. "Terima kasih, Bu."
Ibunya menatapnya dengan penuh perhatian, melihat jelas kantung mata anak sulungnya yang terlihat sedikit menghitam.
"Belajar sampai larut lagi, ya?" tanyanya pelan. "Apa kamu masih mengantuk?"
Arael tersenyum tipis. "Lumayan. Tapi aku yakin bisa tetap fokus ngerjainnya nanti."
Ibunya mengelus rambut Arael dengan lembut, suaranya hangat dan penuh kasih.
"Kerjakan dengan tenang, ya. Tidak usah memaksakan diri… Tidak apa-apa kalau nilainya tidak terlalu bagus, yang penting Arael tidak kecapekan."
Arael terdiam sejenak, menatap wajah ibunya yang selalu tampak cemas tiap kali ia kelelahan. Ia tahu, ucapan itu bukan hanya soal ujian. Itu adalah bentuk kasih sayang yang tumbuh dari tahun-tahun penuh kekhawatiran—sejak waktu kecilnya dulu mudah sakit dan sering membuat ibunya cemas.
Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil.
"Iya, Bu. Arael janji enggak akan maksa diri... Tapi Arael juga enggak akan nyerah gitu aja, kok."
Senyum ibunya melembut, lalu ia merapikan kerah seragam Arael yang sedikit miring. "Nah, begitu. Yang penting Arael tetap semangat."
Tak lama setelah selesai makan, suara derit pintu terdengar. Ayah Arael muncul di ambang pintu, memegang kunci mobil dan menyampirkan tas kerja di bahu.
"Sudah siap? Ayo berangkat, nanti telat kalau lama-lama ya."
---
Perjalanan menuju sekolah terasa seperti rutinitas yang sudah mereka hafal di luar kepala. Di dalam mobil, adiknya terus berceloteh tentang kartun yang ditontonnya pagi itu, sementara Arael hanya duduk diam, sesekali menatap keluar jendela dengan pikiran yang sudah setengah melayang tentang materi tadi malam.
Sesampainya di sekolah, Arael turun dari mobil dan mengucapkan salam pada ayah dan adiknya. Ia melangkah ke arah gedung sekolah. Ketika masuk kelas, ia melihat pemandangan yang cukup mengejutkan.
Bagas sudah datang lebih dulu dan sedang bercanda bersama dua temannya. Arael menyipitkan mata curiga.
"Tumben rajin," katanya sambil menaruh tas. "Biasanya kau datang kalau bel sudah mau dinyalakan."
Bagas menoleh, senyum sok polosnya langsung mengembang. "Lagi rajin. Sekali-kali, siapa tahu nilaiku bisa naik lagi."
"Rajinnya," gumam Arael. "Padahal nilaimu selalu di atas rata-rata. Aku dapat 75 saja sudah berasa jadi keturunan Einstein."
Bagas mengangkat bahu santai. "Namanya juga usaha. Demi masa depan yang cerah."
Arael mencibir. "Terserah kau sajalah."
Bel berbunyi, tanda ujian akan segera dilaksanakan.
Saat semua siswa sudah duduk rapi di tempat masing-masing, suara langkah sepatu terdengar dari arah lorong. Seorang pengawas ujian masuk ke dalam kelas, mengenakan ID petugas dan membawa clipboard kecil di tangan.
"Letakkan semua barang di bawah meja. Hanya tablet ujian dan kartu identitas yang boleh di atas," ucapnya tegas, menyapu pandangannya ke seluruh ruangan.
Para siswa mulai mengeluarkan tablet khusus ujian dari tas masing-masing—perangkat standar yang sudah disiapkan sekolah. Layarnya masih menampilkan logo institusi dan jam digital yang terus berdetak, menunggu aktivasi dari sistem pusat.
Suasana kelas perlahan menjadi hening. Kursi berderit pelan saat beberapa siswa bergeser gelisah. Ada yang menarik napas dalam-dalam, ada pula yang menunduk sambil memijit pelipis, mencoba mengingat poin-poin penting yang masih tersisa di kepala.
Arael menegakkan punggung dan melirik layar tabletnya yang masih kosong. Ia menggenggam stylus-nya erat-erat, lalu menghembuskan napas panjang. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Tak lama kemudian, tablet-tablet di seluruh ruangan berbunyi serempak—tanda soal telah dikirim.
Ujian dimulai.
***
Hari-hari berikutnya pun terasa seperti satu tarikan napas yang panjang—masuk pagi, duduk, mengerjakan soal, keluar kelas dengan kepala berat dan mata lelah. Matematika, Bahasa Indonesia, Biologi… ujian datang silih berganti, menghantam seperti ombak yang tak pernah memberi waktu untuk tenang.
Hari Sabtu dan Minggu menjadi satu-satunya pelarian yang mereka miliki. Arael menghabiskan waktu dengan tidur lebih lama, menonton serial favorit, dan sesekali membuka buku untuk mempersiapkan dua hari ujian terakhir di pekan depan.
***
Di sore yang teduh itu, angin sepoi-sepoi terhempas di halaman sekolah, membawa dedaunan lalu berhamburan di lapangan. Bel berbunyi panjang, pertanda berakhirnya perjuangan para siswa menghadapi ujian.
Hari Selasa yang telah di nanti akhirnya telah dilewati dengan rasa lelah sekaligus lega.
Ya, ujian telah berakhir.
Arael keluar dari ruang ujian bersama Bagas. Mereka sama-sama terlihat lelah, tapi juga lega. Bagas memutar bahunya, Arael menguap panjang.
"Wah, akhirnya selesai juga…" Arael mengangkat tangan tinggi-tinggi, meregangkan badan.
"Otakku rasanya mau pecah," kata Bagas sambil terkekeh. “Rael, besok jadi ke rental VR, kan?”
“Jadi. Jam sepuluh pagi, ya. Jangan telat.”
Arael bahkan menekankan angka itu dengan gestur tangan: satu telunjuk tegak dan satu tangan membentuk lingkaran, membentuk angka sepuluh.
Bagas tertawa. “Tenang. Besok aku bakalan bangun pagi-pagi duluan sebelum ayam berkokok.”
Sambil terus bercanda ringan, mereka berjalan melewati koridor sekolah yang mulai sepi, menuruni tangga, lalu berbelok menuju area parkiran. Bagas menyalakan motor besarnya, dan Arael naik ke boncengan belakang tanpa banyak bicara—keduanya sudah terbiasa dengan rutinitas ini.
Motor melaju pelan melewati jalan dalam sekolah, angin sore menyapu wajah mereka. Begitu sampai di depan gerbang, Arael turun sambil menepuk bahu Bagas ringan.
"Terimakasih, hati-hati di jalan," katanya.
Setelah saling melambai dan bercanda sebentar di dekat gerbang, mereka pun berpisah. Bagas melaju dengan motornya, sementara Arael berdiri di dekat gerbang, menanti ayahnya yang biasanya menjemput.
Namun, hari itu mobil hitam ayahnya belum terlihat.
Arael menunggu sambil berteduh di bawah pohon. Lima menit… tujuh menit… kemudian ponselnya berdering.
“Halo, Ayah?”
“Iya, Nak. Maaf ya, Ayah agak mendadak ada pekerjaan. Tapi Ayah sudah pesan taksi online. Dua menit lagi Harusnya sampai.”
“Oh, oke, kalo gitu Arael tunggu mobil taksinya datang. Ayah juga baik-baik kerjanya, ya.”
Panggilan ditutup. Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan gerbang. Sopirnya membuka kaca dan memanggil nama Arael.
“Atas nama Arael?”
“Iya, Pak.”
Arael masuk ke dalam mobil, menyender di kursi belakang, membiarkan pikirannya tenang. Perjalanan pulang dilalui dalam diam. Ia menatap jalanan dengan mata yang setengah tertutup karena kantuk.
---
Tak lama, mobil taksi berhenti tepat di depan rumah.
Karena sudah dibayar sekalian oleh ayahnya, Arael turun dan mengucapkan terima kasih. Ia berjalan menuju pintu rumahnya—namun begitu masuk, langkahnya terhenti.
Gelap.
"Lho?"
Biasanya, lampu ruang tamu selalu menyala. Namun kali ini mati, tampak sangat gelap. Rumah itu sunyi, seolah tidak berpenghuni.
Ia meraba dinding, mencari saklar.
"Kenapa gelap begini…"
Saat jarinya menyentuh saklar dan menekannya—
CLICK.