WebNovelAauuuu46.67%

Ulang Tahun Arael

Lampu ruang tamu tiba-tiba menyala terang, mengusir kegelapan dalam sekejap.

Lalu terdengar suara riuh serempak,

“SELAMAT ULANG TAHUN, ARAEL!!”

Arael terkejut. Matanya membulat saat melihat Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik kecilnya berdiri di sana, masing-masing memegang balon atau konfeti yang langsung meletus, menyebar warna-warni di udara.

Mereka langsung menyanyikan lagu ulang tahun dengan riang, meski nadanya tidak selalu pas.

Arael berdiri terpaku, lalu tersenyum lebar. Ada perasaan hangat di dadanya, matanya mulai berkaca-kaca melihat kejutan kecil itu.

Dan di tengah kerumunan itu, berdiri Bagas dengan topi ulang tahun miring di kepalanya, tersenyum lebar sambil memegang semacam pelontar pita pesta yang baru saja ditembakkan.

"Surprise!" teriaknya dengan semangat.

Arael berdiri terpaku di depan pintu, wajahnya benar-benar terkejut. Namun perlahan senyumnya mengembang, lalu tertawa kecil.

"Astaga… kalian semua…"

"Maaf, Ayah sengaja tadi tidak menjemputmu," celetuk ayahnya.

Ibu Arael datang mendekat, memeluknya erat. "Selamat ulang tahun, Sayang."

Arael menahan haru, matanya sedikit berkaca. "Aduh… kalian ini membuatku kaget saja. Tapi... terima kasih."

"Ayo, tiup lilinnya kak!" seru adiknya sambil menunjuk meja makan yang kini dipenuhi makanan lezat dan kue dengan lilin angka tujuh belas menyala di atasnya.

Arael duduk di kursi sambil menghadap kue ulang tahun dengan lilin menyala yang perlahan mulai meleleh di permukaan. Semua mata tertuju padanya. Ia menutup mata sebentar, menangkupkan kedua tangan di depan dada.

'Semoga tahun ini bisa jadi lebih baik... semoga aku bisa terus dekat dengan orang-orang yang kusayangi... dan semoga suatu hari aku bisa cepat-cepat beli kapsul VR juga...'

Ia membuka mata perlahan, menarik napas dalam-dalam, lalu meniup lilinnya dengan satu hembusan. Tepuk tangan meriah pun menggema di ruang tamu.

Namun sebelum ia sempat mengambil pisau untuk memotong kue, sebuah jari dengan cepat mencolekkan krim putih ke pipinya.

"Astaga! Bagas!" serunya kaget.

Bagas tertawa puas, "Hukuman karena kau membuat kami menunggu lama di depan pintu!"

Arael mendecak kesal, lalu langsung membalas dengan mencolekkan krim lebih banyak ke ujung hidung Bagas. "Tuh! Balas dendam!"

Adiknya yang sedari tadi melihat dengan antusias ikut tertawa dan mencolekkan krim ke pipi kakaknya sendiri.

"Kakak Arael, kenaaa~!"

"Wah, adik nakal ikut-ikutan juga, ya!" Arael tertawa geli, lalu dengan cepat membalas mencolekkan krim ke hidung adiknya.

"Tuh, sekarang gantian kamu yang kena!"

Adiknya tertawa makin keras sambil membersihkan krim di hidungnya.

Setelah acara pemotongan kue berakhir, saatnya melanjutkan untuk sesi hadiah.

Kakak laki-lakinya datang lebih dulu dengan sebuah kotak besar yang dibungkus kertas kado. Arael menerimanya dengan dahi berkerut. 'Kado ini besar sekali, isinya apa ya?' Pikirnya, agak penasaran.

"Buka dulu dari Kakak," katanya dengan senyum misterius.

Arael mulai membuka bungkus luarnya yang besar itu.

Ia sedikit terkejut ketika di dalamnya ada lagi kotak yang lebih kecil, yang juga terbungkus rapi. Setelah membuka lapisan kedua, ia menemukan bungkusan lain yang semakin kecil. Begitu seterusnya, hingga akhirnya ia hanya memegang sebuah bungkusan kecil seukuran buku novel.

Ia membuka bungkusnya, lalu mencemberut kesal saat melihat judul buku: "100 Cara Menjadi Adik yang Baik." Ia menyipitkan mata ke arah kakaknya yang sedang pura-pura serius, seolah tidak merasa bersalah.

"Apa-apaan ini…"

Bagas langsung tertawa terbahak-bahak. "Wah, itu harus kau baca setiap malam sebelum tidur, Rael!"

Kakaknya ikut tertawa, "Serius itu buku penting. Cocok untukmu!"

Arael cemberut sambil menyodorkan buku itu ke wajah Bagas. "Kau juga perlu baca, siapa tahu bisa jadi 'teman yang baik'!"

"Waduh, aku kena juga," sahut Bagas sambil tertawa lagi.

Adik kecilnya maju sambil membawa kado, lalu menyerahkannya kepada Arael. "Ini dari aku, Kak."

Arael membukanya pelan dan tersenyum saat melihat isinya, sebuah jaket dengan model yang sangat ia inginkan tetapi tak sempat ia beli.

"Ini…"

"Ayah membantu membelikannya," jawab adiknya polos.

Arael langsung menarik adiknya ke dalam pelukan hangat. "Terima kasih… ini jaket yang belum sempat Kakak beli saat liburan tahun lalu."

Kini giliran Bagas yang menyerahkan kotak panjang kecil.

"Untukmu. Tidak seberapa."

Tapi dari sorot matanya, Arael tahu—kado itu bukan sesuatu yang dibeli asal-asalan.

Arael membukanya dan mendapati sebuah jam tangan hitam elegan yang terlihat mahal.

"Ini…"

"Supaya kau bisa tepat waktu. Biar tidak telat terus," candanya.

Arael menghela napas kecil tetapi tersenyum. "Terima kasih. Gila, jam tangan ini keren sekali…"

Ia langsung mencoba memakainya di pergelangan tangan, lalu mengangkatnya sedikit.

"Cocok nggak?" tanyanya sambil menoleh ke Bagas.

Bagas mengangguk percaya diri. "Pilihanku pasti cocok."

Setelah semua hadiah dibuka dan tawa terus bergema, keluarga Arael dan Bagas pun menikmati makan malam penuh hidangan lezat.

Tak lama setelah acara usai dan malam mulai larut, Bagas pamit pulang. Arael mengantarnya sampai ke gerbang.

"Terima kasih ya udah sempet datang, untuk hadiahnya juga," kata Arael pelan.

Bagas tersenyum. “Sudah, jangan lebay. Selamat ulang tahun sekali lagi, ya.”

Bagas naik ke atas motornya, menoleh sejenak dan melambaikan tangan. Arael tersenyum tipis membalasnya, lalu Bagas memutar gas dan melaju perlahan, meninggalkan tempat itu.

Saat Arael kembali ke dalam rumah, ibunya langsung menyambut dengan senyum lembut.

"Nak, cepat masuk ke kamar. Ada hadiah dari Ayah dan Ibu."

Arael mengangkat alis. "Apa hadiahnya, Bu?"

Ibunya hanya tersenyum. "Coba lihat sendiri."

Dengan langkah cepat dan rasa penasaran, Arael bergegas naik ke lantai atas dan membuka pintu kamarnya.

Ia terpaku. Matanya membelalak tak percaya.

Di dalam kamar yang luas, ada sesuatu yang besar di samping tempat tidurnya, itu kapsul VR—impian yang selama ini hanya bisa ia lihat di iklan online atau toko elektronik dari balik kaca.

"Kapsul VR…" bisiknya tak percaya. "Ini… ini yang aku—"

Ia menutup mulutnya sendiri, matanya mulai berkaca-kaca.

Ia pun keluar dari kamarnya dan berterima kasih kepada ayah dan ibunya sambil memeluk mereka erat.

"Terima kasih banyak, Ayah, Ibu! Aku benar-benar tidak menyangka hadiahnya ini!" ucapnya dengan mata berbinar.

Ibunya tersenyum lembut, mengusap rambutnya dengan penuh kasih. Ia menatap putranya dengan tatapan bangga. "Kau pantas mendapatkannya, Sayang. Kami tahu kau sangat menginginkannya. Ingat, gunakan baik-baik, ya."

Ayahnya menepuk pundaknya. "Jangan sampai lupa waktu. Gunakan dengan bijak."

"Siap, Yah!" jawab Arael semangat, lalu menuju ke kamarnya.

Begitu membuka pintu kamarnya, matanya langsung tertuju pada kapsul VR yang mengilap berdiri di pojok ruangan. Ia melangkah pelan, seolah ingin memastikan bahwa itu benar-benar nyata. Tangannya menyentuh bodi kapsul itu perlahan, lalu tersenyum.

"Ini dia… akhirnya."

Setelah beberapa menit memandangi kapsul VR impiannya, Arael pun merasa tubuhnya lengket karena keringat seharian. Ia membuka kancing seragam, melepasnya satu per satu, lalu masuk ke kamar mandi.

Ia berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya yang lembut masih tampak muda, dan tubuh kurus yang terlihat rapuh dalam pantulan cahaya lampu kamar mandi.

“Bagas bisa tinggi besar dan penuh otot… kenapa aku tetap seperti ini?” gumamnya pelan, sedikit kesal tapi tidak benar-benar kecewa.

Pandangannya masih terpaku pada pantulan dirinya sendiri, sejenak diam, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.

Ia menarik napas pelan, lalu mulai membilas tubuhnya dengan air hangat. Setelah itu, ia masuk ke dalam bak besar dan berendam perlahan. Air hangat menyelimuti tubuhnya, dan ia bersandar santai, membiarkan keheningan dan kehangatan meresap, sejenak menghilangkan rasa lelah yang terasa di seluruh tubuhnya.

Tak lama setelah cukup hilang rasa lelahnya, ia meraih ponselnya yang diletakkan di atas meja kecil di samping bak mandi dan menekan nama kontak yang sudah sangat akrab: Bagas big poogie🐷.

Nada sambung berbunyi sebentar lalu terjawab.

"Halo Gas," sapa Arael santai.

"Hei," jawab Bagas, tetapi kemudian terdengar ragu. "Eh... suara kau seperti menggema, deh. Kau sedang mandi, kah?"

Arael mendecak kecil, malas mengelak. "Iya, kenapa? Aku baru masuk ke bak mandi, eh tadi habis dapat hadiah dari orang tuaku, kau tahu—"

Tiba-tiba layar HP-nya berkedip. Ada permintaan video call masuk.

Arael langsung mengernyit, menolak cepat, lalu memprotes.

"Hei! Apa maksudnya malah ganti jadi video call?!"

Di seberang, terdengar suara tawa Bagas yang ditahan. "Tidak, iseng saja, haha. Jadi, hadiahnya apa tadi?"

Arael menghela napas kesal tetapi nada suaranya penuh semangat.

"Dengarkan baik-baik… Aku diberi VR, Gas! Kapsul VR! Akhirnya setelah jeri payahku memohon-mohon, aku bisa bermain juga!"

Bagas seru girang, "Wah, kebetulan sekali! Aku juga baru saja membeli kapsul VR beberapa hari yang lalu! Akhirnya penantian panjang terbayar juga."

Arael terdiam sejenak, matanya membelalak, lalu ia berseru tak percaya. "Hah?! Serius, Gas?! Kau juga beli? Kenapa tidak bilang?!"

Bagas terkekeh. "Sengaja. Biar jadi kejutan. Jadi kita bisa langsung login aja besok!"

Arael tersenyum, tidak memikirkan apa-apa lagi.

"Oke lah, kalau begitu, aku siap-siap tidur dulu ya."

"Oke. Selamat malam, tidur yang nyenyak ya... botol Yakult," ujar Bagas dengan nada menggoda.

Arael tertawa kecil. "Selamat malam juga, babi besar."

Panggilan pun berakhir.

Arael meletakkan ponsel di atas meja kecil di kamar mandi, Hening sejenak mengisi kamar mandi, namun senyum Arael tak juga hilang dari wajahnya.

Ia lalu keluar dari bak dengan handuk melilit di badannya.

Setelah mandi dan mengenakan piyama, Arael berdiri sejenak di depan kapsul VR miliknya. Ia menyentuh permukaannya sekali lagi, lalu tersenyum.

"Besok… aku akan mulai."

Lalu ia berbalik, mematikan lampu, dan merebahkan diri di tempat tidur dengan senyum yang masih menggantung di bibirnya.