Angin musim gugur membawa aroma logam dan bunga busuk ke pelataran Istana Solaris. Di atas batu marmer yang licin, seorang wanita bergaun merah darah melangkah seolah api mengalir di bawah kakinya.
Aurelia Vaelthorn, putri tunggal dari Adipati yang pernah dijatuhi hukuman pengkhianatan, kembali ke istana yang dulu mengusirnya.
Dulu, ia dicemooh dan diarak di bawah hujan kutukan.
Kini, ia kembali dengan kepala tegak - dan pewarisan kekuasaan di tangannya.
Tak ada yang menyambut di gerbang istana. Senyap. Hanya bendera kerajaan berkibar lamban di atas tembok, seolah enggan menerima tamu tak diundang.
Aurelia menoleh ke langit kelabu dan mendecih pelan.
“Tenang sekali. Seolah mereka takut aku benar-benar datang.”
Suara derap kuda mendekat dari jalan istana. Pasukan berkuda berpakaian resmi mendekat, membentuk barisan. Di tengah mereka, seorang pria berpakaian zirah hitam-emas turun dari kudanya.
Dia menunduk hormat, lalu membuka helmnya perlahan. Wajahnya tegas, sorot matanya kelabu dingin - tajam, tapi tak menghakimi.
“Putri Aurelia Vaelthorn,” ucapnya kaku. “Atas perintah Yang Mulia Putra Mahkota, Anda akan dikawal ke istana utama selama masa tinggal Anda.”
Aurelia menatap tajam, seolah ingin menembus lapisan metal di balik suaranya yang tenang. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
“Dulu, Putra Mahkota memerintahkan agar kepalaku dipenggal dan ditancapkan di gerbang kota,” katanya dingin. “Sekarang dia mengirim pengawal untuk menjemputku? Dunia ini memang lucu.”
Pria itu tidak bereaksi, meski matanya sempat berkedip lambat. Diamnya terlalu tenang untuk orang yang tidak mengenalnya.
Aurelia menyipitkan mata.
“Namamu?”
“Caelum Thorne,” jawabnya singkat.
“Dan kau tidak keberatan ditugaskan mengawal seorang yang disebut pembunuh ibunya sendiri?”
Caelum menjawab tenang.
“Saya hanya menjalankan perintah.”
Aurelia tersenyum tipis.
“Dan kau melakukannya dengan baik. Tapi kau seharusnya tahu… mengikuti perintah dalam istana ini bisa membunuh lebih cepat daripada menolaknya.”
Mereka tiba di aula utama istana - megah, luas, dipenuhi tiang-tiang emas dan lukisan darah. Namun tak ada yang bisa menutupi bau lama dari tempat ini: pengkhianatan, kemunafikan, dan mahkota yang lebih sering melukai daripada memerintah.
Di ujung ruangan, berdiri Putra Mahkota Serion Aldrecht, lelaki dengan rambut perak dan senyum licin. Ia menatap Aurelia seolah bertemu teman lama. Di sekelilingnya, para penasihat dan bangsawan muda berdiri berjajar, diam.
“Aurelia,” sapa Serion, nada suaranya manis beracun.
“Yang Mulia,” balas Aurelia datar.
“Sudah lama.”
Aurelia tersenyum seolah menusuk.
“Belati yang Anda tancapkan di punggung saya belum sempat berkarat. Jadi saya rasa belum terlalu lama.”
Beberapa bangsawan tampak resah. Serion hanya tertawa ringan, melangkah dari singgasana perak miliknya.
“Lidahmu masih setajam dulu rupanya.”
“Dan Anda masih pandai tersenyum sambil menyimpan racun di balik kata-kata,” balas Aurelia.
Ia berjalan mendekat, hingga hanya beberapa langkah di depannya. Mata birunya menatap lekat.
“Kau kembali sebagai putri Adipati Vaelthorn. Banyak yang bertanya-tanya... apakah kedatanganmu ini sebagai tanda damai?”
Aurelia memutar kepala sedikit, lalu menatap lurus ke arah takhta.
“Saya datang untuk menagih. Hak saya. Dan balasan untuk semua yang dicuri.”
Di luar aula, Caelum Thorne menunggu diam. Tapi telinganya tajam, dan ia mendengar setiap kata.
Ia mengangkat kepalanya sedikit, menatap ke arah pintu megah yang tertutup kembali.
“Kau bukan korban,” gumamnya pada dirinya sendiri.
“Kau badai yang kembali ke tanah yang pernah membakarmu.”