Angin malam menyusup dari celah jendela, membawa aroma bunga yang terlalu manis - seolah mencoba menutupi bau busuk sejarah istana. Di kamar barunya, Aurelia Vaelthorn berdiri memandangi taman mawar hitam yang dulu dirawat ibunya. Bunga-bunga itu masih mekar, seolah darah yang tak pernah berhenti tumbuh.
“Istana ini belum berubah. Hanya kulit-kulit barunya yang berganti.”
Jemarinya menyentuh liontin tua milik ibunya. Harta kecil yang selamat dari pengusiran kejam bertahun lalu.
Ketukan halus terdengar di pintu.
“Masuk,” ucap Aurelia tanpa menoleh.
Caelum Thorne melangkah masuk dengan tenang. Pakaian resminya rapi, sorot matanya tetap setenang batu malam.
“Putri Vaelthorn, perjamuan akan dimulai dalam dua puluh menit. Saya diperintahkan untuk mengawal Anda,” katanya sambil menunduk hormat.
Aurelia meliriknya dari balik cermin, senyum tipis melintas di bibir.
“Pengawal pribadi? Atau penjaga agar aku tidak melarikan diri?”
“Saya tidak diberi penjelasan,” jawab Caelum datar.
“Dan kau tak bertanya?”
“Tidak. Saya lebih peduli pada yang saya lihat daripada yang mereka katakan.”
Tatapan mereka bertemu di cermin. Diam, namun lebih tajam dari pertukaran kata-kata biasa.
Aurelia berdiri, gaun malam hitam-emasnya menjuntai bagai bayangan di ujung nyala api.
“Kalau begitu, mari kita pergi,” ucapnya. “Aku penasaran seberapa banyak ular yang diundang malam ini.”
Aula perjamuan dipenuhi cahaya lampu kristal dan suara gesekan gelas anggur. Aroma anggur tua, bunga kering, dan ketegangan memenuhi udara.
Saat Aurelia melangkah masuk, percakapan mendadak senyap. Semua mata tertuju padanya - Putri Pengkhianat yang kembali dari abu.
Dari ujung aula, Putra Mahkota Serion Aldrecht menyambutnya. Rambut peraknya disisir rapi, senyumannya mengilat seperti pisau yang baru diasah.
“Aurelia,” sapa Serion dengan nada licin. “Kau selalu tahu cara mencuri perhatian.”
“Yang Mulia selalu tahu cara menyajikan panggung,” balas Aurelia dengan senyum penuh makna. “Tapi saya tak ingat pernah mendaftar jadi pemain sirkus.”
Beberapa bangsawan tertawa kecil - canggung, tapi tak mampu menyembunyikan rasa tegang.
Serion tertawa ringan, melangkah mendekat.
“Datanglah. Duduklah di sampingku malam ini. Semua ingin mengenal ‘burung api’ yang kembali dari kematian.”
Aurelia tidak bergerak.
“Saya lebih suka berdiri di antara mereka. Menyamar, mendengar, menilai.”
Serion mengangkat gelas.
“Dan jika mereka menilaimu juga?”
“Mereka sudah menjatuhkan vonis saat saya berusia lima belas tahun. Saya tak lagi takut diadili oleh pengadilan yang tak mengenal kebenaran.”
Perjamuan dimulai. Di antara gemerincing gelas dan musik harpa, permainan politik berputar dalam bisik-bisik.
Lady Calisia, bangsawan muda dengan gaun perak, mendekat sambil tersenyum manis.
“Putri Vaelthorn,” sapanya. “Kau mengenakan warna yang menarik malam ini.”
Aurelia mengangkat alis, memandang gaunnya.
“Aku membawa duka dan balas dendam. Apa lagi yang lebih pantas dari hitam dan emas?”
Calisia tertawa, tapi matanya menyipit.
“Kau tidak berubah.”
“Dan kau terlalu sering berubah. Topengmu malam ini hampir menyatu dengan wajahmu.”
Beberapa bangsawan tertawa tertahan. Calisia terdiam, wajahnya memucat.
Di pinggir aula, Caelum berdiri menjaga. Tapi sorot matanya tak lepas dari Aurelia. Seorang prajurit muda mendekatinya, membisik.
“Menyeramkan, ya? Kukira dia akan memohon-mohon kembali ke istana.”
Caelum tetap menatap ke depan.
“Dia tidak datang untuk memohon. Dia datang untuk mengingatkan… bahwa dia masih hidup.”
Perjamuan berakhir dengan kejutan.
Serion berdiri, mengangkat gelas.
“Untuk perdamaian baru. Dan untuk keluarga Vaelthorn… yang kembali ke pelukan kerajaan.”
Aurelia mengangkat gelasnya juga, mata birunya menusuk Serion dari jauh.
“Untuk masa depan. Dan untuk rahasia lama yang akhirnya akan keluar ke cahaya.”
Malam itu, saat istana kembali hening, Caelum berdiri di depan kamar Aurelia.
“Tugas pengawalan saya selesai malam ini, Putri.”
Aurelia melangkah ke ambang pintu, menatapnya sebentar sebelum bicara.
“Kau mendengarku tadi. Bahkan sebelum aku bicara.”
Caelum menatapnya tanpa mengelak.
“Saya belajar membaca medan sebelum saya bertarung.”
Aurelia tersenyum samar.
“Lalu apa penilaianmu tentangku sebagai medan?”
Caelum terdiam sejenak sebelum menjawab.
“Berbahaya. Tapi bukan karena kau menebar luka. Tapi karena kau tahu persis di mana harus menghantam.”