Bab 3 - Malam yang Tak Beristirahat

Langit Solaris berubah kelabu tua saat malam menyelimuti istana. Lampu-lampu minyak menyala sepanjang koridor berlapis karpet merah tua, memantulkan bayangan panjang di dinding berukir. Di kamar tamu utama sayap timur, Aurelia Vaelthorn berdiri memunggungi jendela tinggi, menatap langit malam yang tak berbintang.

“Selamat datang kembali ke istana tempat kau diadili dan dihina, pikirnya. Tangannya mengepal di sisi jubah malam berwarna hitam-merah darah.

Di meja kecil di sudut ruangan, surat undangan dari Putra Mahkota masih tergeletak. Kertas itu tak tersentuh sejak tadi sore.

“Jamuan kehormatan untuk mengenang perdamaian yang telah dicapai.”

"Perdamaian? Tidak ada damai dalam istana ini. Hanya senyum dengan belati tersembunyi" ucapnya.

Suara ketukan pelan mengganggu pikirannya. Sekali. Dua kali.

Aurelia tidak menjawab. Tapi pintu terbuka pelan.

Caelum Thorne masuk, langkahnya tenang, mengenakan mantel malam gelap dan pedang tipis di pinggang. Dia menutup pintu dengan hati-hati.

“Anda belum makan malam,” katanya.

Aurelia menoleh sedikit, suaranya tajam.

“Apakah tugas pengawal mencakup memantau selera makanku juga?”

“Tugas pengawal adalah memastikan Anda tetap hidup. Dan lapar membuat seseorang ceroboh.”

Ia tidak bergeming saat tatapan Aurelia menusuknya.

“Kau selalu sepatuh ini?” tanya Aurelia.

“Saya pernah belajar dari orang yang mati karena tidak patuh.”

Nada Caelum tetap datar, tapi matanya berbicara lebih dari itu.

Aurelia berjalan perlahan ke meja, menyentuh cawan anggur yang tidak ia minum.

“Kau selalu mematuhi perintah Putra Mahkota?”

Caelum mengangguk.

“Saya tidak punya kemewahan untuk memilih perintah mana yang layak dijalankan.”

Aurelia memiringkan kepala.

“Berarti jika besok ia menyuruhmu membunuhku, kau akan melakukannya?”

Diam. Hanya suara malam di luar jendela, angin menerpa daun dan suara kuda di kejauhan yang terdengar.

Caelum mendekat satu langkah.

“Saya kira, saya akan minta alasan terlebih dahulu.”

Aurelia menatap pria itu dalam diam, mengamati bagaimana wajahnya tidak menyembunyikan apa pun - tapi juga tidak memberitahukan segalanya. Seperti pedang tanpa kilau, tapi tajam saat digunakan.

“Kau tahu, kau berbeda dari para ksatria pengadilan lain.”

“Saya tidak dibesarkan di sini.” jawab Caelum.

“Di mana?”

“Di utara. Tempat salju jatuh bahkan saat musim semi.”

Aurelia menarik napas pelan.

“Mungkin itu sebabnya sorot matamu dingin.”

“Dan kau, Putri Vaelthorn. Apa matamu selalu menatap semua orang seperti sedang mengukur berapa banyak luka yang bisa kau beri sebelum mereka hancur?”

Aurelia tersenyum miring.

“Aku hanya tidak suka ditatap tanpa tahu maksudnya.”

Caelum menahan napas sesaat.

“Mungkin karena aku mencoba memahami.” sambung Aurelia.

“Memahami apa?”

“Bagaimana seseorang bisa kembali ke tempat yang menghancurkannya... dan masih bisa berdiri.”

Diam kembali merayap. Aurelia berdiri, melangkah ke arah balkon kecil. Udara malam menggigit, tapi ia tetap di sana, menatap halaman bawah istana. Suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.

“Aku tidak kembali karena ingin. Aku kembali karena mereka harus mengingat namaku.”

Caelum berdiri di ambang pintu balkon, cukup dekat untuk mendengar napasnya, tapi cukup jauh untuk memberi ruang.

“Dan kau percaya bisa mengubah sejarah dari dalam?” tanya Caelum.

“Aku tidak ingin mengubahnya.”

“Aku ingin menulisnya ulang, dengan darah mereka sebagai tintanya.” 

Caelum menatap langit. “Kau bicara seperti orang yang tidak takut mati.”

“Aku sudah mati di mata mereka sejak lima tahun lalu.”

“Yang berdiri di sini hanya bayangan yang mereka ciptakan. Sekarang aku kendalikan bayangan itu.”

Ia menoleh, dan mata mereka bertemu dalam keheningan yang menggantung. Sejenak, waktu berhenti.

Caelum akhirnya bicara, suaranya lebih lembut.

“Jika bayangan itu mulai retak, siapa yang akan kau biarkan melihat celahnya?”

“Tak seorang pun.”

“Kau yakin?”

Aurelia tak menjawab. Tapi tatapannya tak lagi menusuk - hanya sunyi.

Beberapa saat kemudian, suara pelan dari pelayan terdengar dari kejauhan: ada surat titah baru dari Serion.

Caelum berpaling, mengangguk singkat. “Saya akan membacanya dulu, lalu kembali.”

Saat ia hendak pergi, Aurelia memanggilnya pelan. 

“Caelum.”

Ia menoleh.

“Kau pernah mengkhianati perintah?”

“Belum.”

“Tapi mungkin suatu hari nanti.”

Aurelia tersenyum. Untuk pertama kalinya malam itu, senyumnya tidak beracun.