Angin malam menyusup masuk lewat celah jendela istana yang belum tertutup sempurna. Di balik tirai sutra, Aurelia berdiri membisu, menatap ke arah taman istana yang digenangi cahaya bulan. Gaun malamnya berwarna biru kelam, membaur sempurna dengan bayangan di sekitarnya, seperti lautan yang tenang tapi menyembunyikan badai di dalamnya.
Pintu diketuk pelan.
“Masuk,” ucap Aurelia tanpa menoleh.
Langkah kaki berat dan beraturan mendekat, berhenti beberapa meter di belakangnya.
“Ada yang ingin Anda periksa?” tanya suara dingin yang mulai ia kenali.
Aurelia menoleh. “Caelum Thorne. Ksatria yang selalu muncul di saat sunyi.” Ia mendekat, menatap pria itu yang berdiri kaku dalam pakaian tugas malamnya.
“Saya ditugaskan berjaga di sayap timur. Tapi ketika mendengar Anda belum kembali ke kamar, saya memutuskan untuk memastikan keadaan.”
“Khawatir?” tanyanya dengan alis terangkat, setengah mengejek.
Caelum tidak menjawab langsung. Hanya tatapannya yang berubah lebih dalam.
“Yang Mulia Putra Mahkota tidak menyukai hal-hal yang tidak sesuai dengan agendanya. Anda termasuk salah satunya.”
Aurelia tersenyum tipis. “Aku lebih suka jadi duri di sisi Serion daripada bunga yang dipetik dan dilupakan.”
Diam sejenak. Lalu ia menambahkan, suaranya berubah pelan, hampir rapuh: “Tapi kau benar. Aku harus lebih hati-hati.”
Caelum menunduk sedikit. “Saya akan selalu ada di dekat Anda, jika Anda mengizinkan.”
Pagi berikutnya, istana gempar oleh berita: salah satu penasihat senior ditemukan tak bernyawa di ruang kerjanya. Tertikam di jantung, tanpa tanda perlawanan. Dan di mejanya, secarik surat berisi catatan rahasia transaksi gelap para bangsawan tinggi.
Aurelia membaca laporan itu dalam diam di ruang tamunya, sambil menyisip teh. Di seberangnya duduk seorang wanita tua berpakaian keemasan—Marchioness Ilvare, salah satu bangsawan yang paling dihormati, sekaligus berbahaya, di lingkar dalam istana.
“Serion akan menggunakan insiden ini untuk memperketat cengkeramannya,” ucap Ilvare pelan. “Ia akan menyalahkan siapa pun yang tak tunduk.”
“Mungkin itu alasan sebenarnya surat itu ditemukan,” jawab Aurelia datar.
Mata Ilvare menyipit. “Kau mulai melihatnya, ya. Kerajaan ini bukan dibangun di atas hukum, tapi sandiwara.”
“Lalu siapa sutradaranya?”
Wanita itu tersenyum tipis. “Serion, tentu. Tapi jangan lupakan bahwa aktor terbaik pun bisa dibunuh dalam bisu, bila panggungnya kau rebut.”
Aurelia menatap keluar jendela. Cahaya matahari pagi menimpa halaman istana seperti pisau emas yang terlalu tajam.
Siang itu, Serion memanggilnya ke ruang takhta.
Ia berdiri sendirian di depan kaca patri besar, dengan jubah peraknya berkibar ringan.
“Aurelia,” katanya, tanpa menoleh. “Kau tahu, waktu mengubah segalanya. Bahkan luka pun bisa membatu jadi mahkota.”
Aurelia berjalan perlahan, langkahnya mantap. “Atau racun yang makin pekat di dalam darah.”
Ia berdiri beberapa langkah di belakang Serion.
“Aku tahu kau berpikir bisa menantangku. Tapi sistem yang kupegang ini terlalu dalam. Akar kekuasaanku sudah menjalar ke setiap tiang istana.”
Aurelia menatap punggungnya tajam. “Aku tidak butuh mencabut akar. Aku hanya perlu mengubah tanah tempat akar itu tumbuh.”
Serion berbalik, perlahan.
“Berbahaya sekali ucapanmu. Tapi entah kenapa… aku menyukainya.”
“Karena kau suka bermain. Dan aku, aku adalah permainan yang tidak bisa kau menangkan dengan mudah.”
Serion menahan tawa. “Kita lihat saja, Aurelia. Apakah kau datang untuk membalas… atau untuk jatuh lagi.”
Malam itu, Aurelia duduk sendirian di balkon kamarnya. Angin berhembus dingin, tapi pikirannya jauh lebih dingin. Ia memainkan sebuah liontin kecil di tangannya, bekas peninggalan ibunya.
Pintu balkon terbuka.
Caelum berdiri di sana, dengan langkah yang ia kenali kini sebagai bentuk kekhawatiran yang diam.
“Kau tidak tidur?”
“Dan melewatkan malam seperti ini?” tanya Aurelia, mencoba ringan.
Caelum diam, lalu duduk di seberangnya tanpa diundang.
Beberapa saat tak ada yang bicara. Hanya suara jangkrik dan desir pohon.
“Waktu aku masih kecil,” kata Aurelia tiba-tiba, “ibuku biasa bilang, ‘Jangan percaya orang yang terlalu sering tersenyum di istana.’ Dan aku pikir waktu itu dia hanya sinis.”
Caelum menatapnya lekat.
“Dan sekarang?”
“Sekarang aku tahu… senyum adalah cara paling murah untuk menyembunyikan belati.”
Caelum perlahan mengulurkan tangan, seolah ragu. Tapi akhirnya, ia menyentuh liontin di tangan Aurelia.
“Aku tidak tahu apa yang telah kau lalui sepuluh tahun ini, Aurelia. Tapi aku tahu… kau bertahan.”
Aurelia menoleh, menatap wajahnya dalam jarak yang terlalu dekat untuk disebut formal. Wajah Caelum—dingin, tapi tidak kosong.
“Kenapa kau peduli?” bisiknya.
“Karena aku ingin melihat akhir kisahmu. Dan aku ingin kau menulisnya sendiri, bukan orang lain.”
Untuk pertama kalinya, Aurelia merasa tidak sendirian di dalam rencananya. Ia tak menjawab. Tapi ia tidak menarik tangannya.
Esok harinya, di aula istana, Serion mengumumkan rencana pertunangan politik dengan Putri kerajaan dari selatan. Sebuah langkah untuk memperkuat aliansi, dan menekan pihak-pihak yang menentangnya.
Aurelia berdiri di barisan para bangsawan, wajahnya tanpa ekspresi.
Tapi di matanya, sesuatu mulai terbakar.
“Jadi kau ingin menggiringku ke sudut lebih cepat dari perkiraanku, Serion?” gumamnya pelan.
Caelum, yang berdiri tidak jauh di belakangnya, menangkap nada itu.
Dan untuk sesaat, hanya sesaat, mata mereka bertemu. Sebuah janji diam yang tak terucap:
Perang telah dimulai.