Angin malam di Solaris membawa dingin yang bukan dari cuaca, tapi dari pertanda. Ada sesuatu di udara - sesuatu yang patah, bergeser. Dan Aurelia merasakannya saat ia berdiri di balkon kamarnya, menatap ke arah utara, ke menara tempat suara lonceng gereja berdetak hampa.
Ia belum tidur. Gaun malam sutra masih membalut tubuhnya, tapi pikirannya terlalu riuh untuk dibungkam selimut atau teh herbal.
Di bawah sana, taman kerajaan lengang. Tak ada pelayan. Tak ada penjaga. Hanya bayangan panjang dari patung malaikat bermata kosong yang menghadap ke langit - seperti menantikan hujan darah.
Langkah pelan di belakangnya membuatnya menoleh.
Caelum.
Zirah hitamnya sudah ditanggalkan, diganti tunik malam berwarna gelap. Ia menunduk sedikit, sopan, namun tetap menjaga jarak. “Maafkan aku, Yang Mulia. Saya diberi tahu Anda belum tidur.”
Aurelia mengangkat alis, sinis. “Apakah kau khawatir aku akan melarikan diri malam ini juga?”
Caelum tidak menjawab, tapi sorot matanya bicara. Ia tahu bagaimana rasanya ingin melarikan diri - dan tahu Aurelia lebih suka membakar dunia daripada kabur darinya.
“Serion mengumumkan pertunangannya hari ini,” ujar Aurelia akhirnya, nadanya datar.
Caelum mengangguk.
“Putri Arienne dari House Lysere. Putri yang lembut, patuh, dan tak akan menantang kekuasaan suaminya.” Aurelia menghela napas. “Pilihan yang sempurna. Untuk boneka di atas takhta.”
“Dan pilihan yang aman,” tambah Caelum, suaranya nyaris tak terdengar.
Aurelia menatapnya. “Tidak ada pilihan yang benar-benar aman di istana ini.”
Diam menguasai udara sejenak. Caelum melangkah mendekat, tapi tetap tidak melewati batas yang tak terlihat - batas yang Aurelia sendiri bentuk, dinding antara kepercayaan dan kehancuran.
“Kenapa kau datang malam ini?” tanyanya akhirnya.
Caelum menatap lurus ke arahnya, lalu ke taman di bawah. “Karena jika aku tak datang, kau akan menghadapi ini sendirian. Dan aku rasa… kau telah cukup lama sendirian.”
Untuk pertama kalinya malam itu, ekspresi Aurelia melembut. Tapi hanya sekejap.
“Aku selalu sendirian, Caelum,” bisiknya. “Bahkan saat aku memiliki keluarga, bahkan saat aku menjadi putri adipati, bahkan saat aku mencintai-”
Ia menghentikan kalimatnya.
Caelum tidak bertanya. Tapi ada sesuatu di matanya. Bukan simpati. Bukan kasihan. Tapi pemahaman.
Aurelia menarik napas, lalu melangkah ke arah tempat tidur. “Kau boleh tinggal di ruangan ini malam ini. Aku tak butuh penjaga di depan pintu. Aku butuh seseorang yang bisa kubunuh jika aku tak bisa tidur.”
Nada suaranya bercanda. Tapi matanya tidak.
Caelum hanya mengangguk. Ia duduk di kursi dekat perapian, tubuhnya tegap, waspada.
Waktu berjalan lambat. Jam pasir di meja meneteskan butiran waktu seperti racun. Hingga akhirnya Aurelia membuka suara lagi.
“Serion datang sore tadi.”
Caelum menoleh.
“Dia bilang… pertunangannya hanyalah formalitas politik. Bahwa jika dia naik takhta, dia bisa membatalkannya.” Aurelia tertawa hambar. “Dia bilang, ‘Aku butuh istri yang bisa melawan dunia bersamaku, bukan yang hanya tahu cara menunduk.’”
“Dan kau percaya?” tanya Caelum tenang.
Aurelia menatapnya. Lama. “Tidak. Tapi aku tahu Serion tidak pernah bicara tanpa tujuan. Dia menaruh umpan.”
“Untukmu.” Ucap Caelum.
“Untukku.”
Caelum berdiri perlahan. Ia melangkah ke jendela, menatap bulan yang mulai tenggelam.
“Kalau begitu apa yang kau pilih, Aurelia?”
Ia menyebut nama itu. Bukan gelar. Bukan basa-basi. Dan Aurelia merasa sesuatu di dadanya mencengkeram lebih keras dari malam mana pun sebelumnya.
“Aku tidak tahu,” jawabnya lirih. “Aku hanya tahu aku tidak akan jadi alat. Bukan milik Serion, bukan milik dewan, bukan milik takhta.”
Dan ketika ia berkata itu, sesuatu meledak di dalam dirinya - ketegangan, luka, dendam, kelelahan. Ia melangkah mendekat ke arah Caelum.
“Kau selalu di sini, Caelum,” katanya pelan. “Sejak aku kembali. Kau selalu ada. Tapi kau tak pernah meminta apa pun. Tak pernah bertanya apa pun.”
Caelum menatapnya. “Karena aku tahu itu bukan hakku.”
Aurelia mendekat. Nafasnya bergetar. Tangannya menggapai wajah pria itu - dingin, tegas, tapi terasa nyata, bukan ilusi kekuasaan atau tipu daya.
“Kau membuatku merasa seperti aku masih bisa memilih, di dunia yang selalu memilihkan segalanya untukku,” bisiknya.
Dan sebelum logika bisa bicara, sebelum ketakutan bisa menjalar, ia mencium Caelum.
Sekejap. Singkat. Tapi penuh luka dan kejujuran dan sesuatu yang belum sempat mereka beri nama.
Caelum tidak membalas, tapi juga tidak menarik diri. Ia berdiri diam, menerima.
Ketika Aurelia menjauh, ia menunduk.
“Maaf,” katanya, tapi nadanya tidak menyesal.
Caelum menatapnya. “Aku tidak akan bicara soal ini, jika kau tidak ingin.”
Aurelia tertawa pelan. “Itulah mengapa aku mencium kau, bukan Serion.”
Aurelia berjalan pelan menuju perapian, matanya masih menatap api yang menggerogoti kayu dengan tenang. Di balik wajah dinginnya, napasnya tak stabil. Ia baru saja melintasi batas yang bahkan tak sempat ia ukur sendiri. Namun anehnya, ia tidak menyesal.
Caelum tetap berdiri tegak di belakangnya. Diam. Tidak menuntut penjelasan. Tidak bertanya kenapa. Dan justru karena itulah, Aurelia merasa rapuh.
“Apakah aku sedang bermain dengan nasibku sendiri?” gumamnya, tidak kepada siapa pun.
“Kau tidak bermain, Aurelia. Kau bertahan,” jawab Caelum tenang.
Ia menoleh. “Dan kau? Apa kau akan tetap di sini bahkan setelah aku menjatuhkan semua yang pernah kubangun?”
“Selama kau tidak menyuruhku pergi, aku tetap di sini.”
Jawaban itu sederhana. Tapi rasanya seperti sumpah yang mengikat lebih kuat daripada kontrak darah.
Lalu suara ketukan pelan membelah malam.
Mereka saling bertatapan sejenak. Ketukan itu bukan dari pelayan biasa - terlalu teratur, terlalu ragu. Caelum meraih pedangnya yang disandarkan di kursi. Aurelia hanya berkata, “Buka.”
Caelum membuka pintu, dan seperti yang mereka duga, Serion berdiri di sana.
Wajahnya tenang, tapi sorot matanya seperti badai yang ditahan. Tatapannya langsung mengarah pada Aurelia, lalu pada Caelum - dan meskipun ia tak berkata apa pun, semua yang tak terucap terpahat jelas di sorot matanya.
“Aku ingin bicara. Hanya dengan Aurelia.”
Aurelia mengangkat dagunya. “Kalau kau datang ke kamarku tengah malam dan ingin privasi, setidaknya ketuk lebih sopan.”
Serion tak tersenyum. “Aku tidak punya waktu untuk sopan santun malam ini.”
Ia masuk tanpa menunggu izin, dan Aurelia tidak menghentikannya. Caelum memberi tatapan sejenak pada Aurelia - seperti bertanya apakah ia harus tinggal - tapi Aurelia mengangguk. “Tunggu di balkon.”
Caelum melangkah pergi tanpa suara, dan hanya setelah pintu balkon tertutup, Serion akhirnya bicara.
“Aku akan membatalkan pertunangan itu.”
Aurelia menatapnya dalam diam. “Cepat sekali putusanmu berubah.”
“Aku tidak pernah berniat menikahi Arienne.”
“Lalu kenapa umumkan pertunangan itu?”
“Karena aku butuh menyatukan faksi selatan sebelum dewan menyusup ke istana lewat mereka. Dan Arienne adalah putri paling lemah yang bisa kupergunakan. Ayahnya akan dengan senang hati menjualnya demi pengaruh. Tapi begitu aku naik takhta, pertunangan itu tak akan lebih dari catatan yang terbakar di bawah segel kerajaan.”
Aurelia tersenyum hambar. “Dan menurutmu aku harus terkesan?”
“Aku ingin kau tahu… aku masih memilihmu.”
Diam membentang di antara mereka.
Aurelia berjalan perlahan ke meja, menuangkan anggur untuk dirinya sendiri. “Apa yang membuatmu berpikir aku akan menunggu?”
“Karena kau masih peduli,” jawab Serion tanpa ragu. “Karena meskipun kau mencurigai setiap gerakku, kau masih mau mendengarkanku malam ini. Itu cukup bagiku untuk bertaruh.”
Aurelia menyeruput anggurnya. Matanya gelap. “Kau salah satu pemain terbaik dalam permainan ini, Serion. Tapi kau lupa… aku bukan pion. Dan aku tidak butuh diselamatkan.”
Serion melangkah mendekat. “Bukan itu niatku. Aku ingin kita menyelamatkan satu sama lain.”
Kata-katanya jujur. Atau terdengar jujur. Tapi justru itu yang membuat Aurelia makin waspada.
“Dan bagaimana rencanamu setelah itu? Menjadikanku ratu dan tetap menyimpan pisau di punggungku?”
Serion menarik napas tajam. “Aku tidak pernah menyembunyikan bahwa aku ambisius. Tapi denganmu… aku ingin berbagi kemenangan, bukan merebutnya.”
Aurelia meletakkan gelasnya di meja. “Kalau begitu, mulai dengan kebenaran. Apa yang kau tahu tentang kematian Ayahku?”
Pertanyaan itu mengguncang fondasi percakapan mereka.
Serion menegang. “Aurelia…”
“Kau tahu lebih banyak daripada yang kau katakan. Aku bisa melihatnya.”
Serion menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku tahu ayahmu dibunuh. Tapi aku belum bisa membuktikan siapa pelakunya. Jika aku gegabah, semua akan berbalik menyerangmu.”
Aurelia mengepal tangannya. “Kau menyimpannya. Selama ini. Diam.”
“Aku sedang menyusun bidak. Sama sepertimu.” Ucap Serion.
Mereka saling menatap. Bukan sebagai kekasih, bukan sebagai sekutu, tapi sebagai dua hewan buas yang mencoba membaca apakah taring lawannya akan menggigit atau melindungi.
Serion melangkah lebih dekat. “Jika kau memutuskan untuk berdiri bersamaku, bukan hanya sebagai calon ratu, tapi sebagai ratu sesungguhnya… aku akan membakar seluruh dewan untukmu.”
Aurelia hampir tertawa. “Dan jika aku tidak?”
“...Maka aku akan membiarkanmu pergi. Tapi kau akan kehilangan kesempatan untuk membentuk dunia ini sesuai kehendakmu.”
Ia mengangguk kecil, menerima jawabannya.
“Keluar dari kamarku, Serion.”
Serion tidak memaksa. Ia menunduk sedikit, sebagai penutup - bukan tunduk sebagai pangeran kepada seorang putri, tapi sebagai pemain catur yang kalah satu langkah, namun belum menyerah. “Pikirkan itu, Aurelia.”
Begitu pintu tertutup kembali, Caelum masuk dari balkon, tanpa diminta. Wajahnya tenang, tapi ada sesuatu di balik tatapannya.
Aurelia menatapnya, matanya lelah tapi tajam. “Kau mendengar?”
Caelum mengangguk. “Sebagian.”
Aurelia menatap nyala api. “Apa kau akan membunuhku jika aku memilih Serion?”
“Tidak.”
“Benci padaku?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa tetap di sini?”
Caelum mendekat. Ia menatap mata Aurelia dalam-dalam, dan menjawab dengan suara yang tak perlu meninggi: “Karena aku tidak memilihmu karena pilihanmu. Aku memilihmu karena siapa dirimu - dan siapa kau saat dunia memaksamu memilih.”
Aurelia menahan napas.
Hanya kesunyian yang lebih jujur dari semua kata-kata.
Dan di balik kesunyian itu, badai mulai mendekat.