“Api yang dinyalakan demi kekuasaan… takkan bisa dipadamkan oleh air pengkhianatan.”
Bayang-bayang malam telah menyelimuti langit Velnoria. Di dalam istana, angin malam mengendap-endap melalui jendela tinggi dan melintasi koridor panjang yang dingin. Aurelia berdiri di balkon menara timur, gaun birunya tertiup lembut, dan matanya terpaku pada taman yang kini diselimuti kabut.
Pikirannya berkecamuk.
Pernyataan Serion sore tadi masih menggema di telinganya. “Kau akan tetap menjadi Ratu… meski bukan tunanganku di mata dunia.”
Sebuah tawaran kekuasaan. Sebuah janji pengkhianatan.
"Apa kau pikir aku akan menerima remah-remah dari meja kekuasaanmu, Serion?" gumamnya lirih, pahit. Tetapi bagian terdalam dari dirinya mengerti-itu bukan hanya tawaran. Itu adalah ujian. Ujian dari laki-laki yang masih ingin memegang kendali atasnya, bahkan saat ia menunjuk wanita lain sebagai tunangannya di depan publik.
Langkah kaki mendekat, lembut namun mantap. Aurelia tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.
"Caelum." Suaranya tenang, namun ada sesuatu yang rapuh di dalamnya.
Ksatria itu menghentikan langkah beberapa langkah di belakangnya, memberi jarak yang penuh hormat. "Pengawal istana memberi tahu saya bahwa Anda belum kembali ke kamar. Saya khawatir."
"Sejak kapan seorang ksatria mulai khawatir karena putri kerajaan menatap malam terlalu lama?" tanya Aurelia, menoleh setengah, senyum sinis menghiasi wajahnya.
Caelum menatapnya dalam diam sejenak. “Sejak saya bersumpah akan melindungi Anda, bahkan dari luka yang tidak terlihat.”
Aurelia memejamkan mata sesaat. Kata-kata itu terlalu jujur, terlalu dalam. Ia telah terbiasa pada tipu muslihat, janji manis yang menyembunyikan racun. Tapi dengan Caelum… tidak pernah ada kebohongan.
"Aku pikir…" gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar, "…aku bisa mengendalikan semuanya. Bahwa aku tahu kapan harus mundur, kapan harus bermain, dan kapan harus menang."
"Dan kini?"
"Aku bahkan tak tahu apakah aku sedang bermain, atau sudah dijadikan bidak dalam permainan yang lebih besar."
Caelum melangkah lebih dekat, cukup dekat hingga nafas mereka saling bersilangan. "Kalau Anda merasa dijadikan bidak, biarkan saya jadi perisai Anda."
Aurelia menatapnya. Dalam kegelapan malam, mata Caelum tetap seterang biasanya. Jujur. Tulus. Terlalu berbahaya.
"Jangan bicara seperti itu, Caelum," katanya pelan. "Kau tahu betapa mudahnya aku memperalat perasaan orang."
"Saya tahu," jawabnya, lembut namun tak gentar. "Dan tetap saja saya memilih untuk berdiri di sini, bersama Anda."
Hening menggantung di antara mereka. Angin malam mengacak rambut Aurelia, dan wajah mereka hanya terpisahkan sejengkal. Tanpa sadar, jemarinya bergerak, menyentuh dada Caelum, lalu naik ke sisi lehernya.
“Aurelia…” bisik Caelum, seperti sebuah peringatan.
Tapi Aurelia hanya menatapnya. Ia tidak ingin merasa rapuh. Tidak malam ini. Tidak saat seluruh dunianya terasa seperti runtuh.
“Aku butuh sesuatu yang nyata malam ini,” gumamnya, dan tanpa menunggu lagi, ia menarik wajah Caelum ke arahnya dan mencium bibirnya.
Itu bukan ciuman yang manis atau lembut.
Itu adalah ledakan dari tekanan yang terlalu lama tertahan.
Caelum tidak membalas di awal. Tubuhnya kaku, seperti melawan naluri. Tapi ketika tangan Aurelia menggenggam erat kerah bajunya, ia menyerah. Tangannya terangkat, menyentuh pinggang sang putri, seolah ia takut menghancurkan sesuatu yang rapuh.
Dan saat mereka berpisah, nafas mereka terengah, mata mereka tak lepas satu sama lain.
"Maaf," bisik Aurelia, lebih pada dirinya sendiri daripada padanya.
Caelum menatapnya. "Anda tak perlu minta maaf untuk merasa."
Aurelia mundur setapak, menunduk. "Ini tidak boleh terjadi."
"Kalau begitu anggap saja tidak pernah terjadi," jawabnya, suara tenangnya menyayat. "Saya akan tetap berada di sisi Anda. Tak peduli apa yang Anda rasakan… atau tidak rasakan."
Aurelia menatap langit malam.
Ia tak tahu lagi mana yang lebih menyakitkan: cinta yang ditawarkan Serion atas nama ambisi… atau kesetiaan Caelum yang tidak meminta balasan.
“Yang memahami luka, tahu bagaimana mengubahnya menjadi senjata.”
Fajar menyingkap tabir malam, dan cahaya keemasan menyapu menara dan atap istana seperti luka yang disinari oleh kenyataan.
Aurelia menatap bayangannya di cermin besar di kamarnya. Rambutnya disisir rapi ke belakang, gaun resmi warna merah tua membalut tubuhnya dengan kesan elegan dan tak terbantahkan. Namun, bukan penampilannya yang membuat hatinya berdegup-melainkan apa yang akan terjadi pagi ini.
Hari ini, ia akan menghadiri pertemuan rahasia dengan Serion dan beberapa penasihat senior untuk membahas aliansi pasca-pernikahan.
Bukan pernikahannya.
Melainkan pernikahan Serion dengan putri keluarga Gravielle.
Ia menahan nafasnya.
Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Caelum masuk setelah dipersilakan, wajahnya seperti biasa-tenang dan tak membaca apa pun yang terjadi malam sebelumnya.
“Paduka. Yang Mulia Putra Mahkota menunggu Anda di ruang dewan kecil,” katanya formal, seolah malam tadi hanyalah mimpi kabur yang dibakar pagi.
“Baik.” Ia bangkit, menyapu tatapan Caelum sekilas, tapi tidak berkata apa-apa.
Langkah mereka menyusuri lorong panjang. Dinding istana dipenuhi lukisan pendahulu Serion, raja-raja dan ratu-ratu yang membangun kerajaan dengan darah dan tipu daya. Aurelia merasa, kini ia sedang berjalan ke jantung dari pusaran itu.
Setibanya di ruang dewan kecil, hanya ada Serion di dalam-duduk di kursi tinggi, satu tangan menopang dagunya, wajahnya seperti ukiran pahat: dingin dan sempurna.
“Aurelia.” Senyumnya tidak menyentuh matanya. “Kau datang.”
“Kau yang memanggil,” jawabnya datar, duduk di seberang.
Hening.
Lalu Serion berkata, “Apakah kau marah padaku karena pengumuman pertunanganku?”
Aurelia tidak langsung menjawab. Ia menatapnya tajam, lalu berkata, “Itu pilihan politik. Aku mengerti.”
“Tapi kau tidak suka,” Serion menyela. “Aku tahu, karena aku juga tidak menyukainya.”
Ia mendekatkan tubuhnya ke meja, suara nadanya turun menjadi pelan dan pribadi. “Keluarga Gravielle hanya alat. Aku butuh mereka untuk naik takhta. Tapi setelah itu… akan ada tragedi. Kecelakaan. Dan pertunangan itu akan batal.”
Aurelia menegakkan bahu. “Dan aku akan kau ambil sebagai ratu, setelah kau meraih mahkota. Ya?”
Serion mengangguk.
“Menarik,” jawabnya pelan. “Jadi aku adalah ‘rencana pasca-tragedi’? Seorang wanita yang kau gantikan setelah darah cukup ditumpahkan untuk membuat tempat di sisimu kosong?”
Serion menegang.
“Aurelia-”
“Tidak perlu,” potongnya. “Aku tahu permainan ini. Aku hanya ingin tahu satu hal, Serion. Jika aku menolak, jika aku memilih jalanku sendiri, apakah kau masih akan menghormatiku? Atau akan kau lenyapkan aku seperti bidak yang membelot?”
Serion berdiri perlahan. “Kau bukan bidak, Aurelia. Kau adalah api. Dan aku ingin apimu menyala untukku, bukan melawanku.”
“Sayangnya, api tak pernah tunduk pada pemilik tunggal.”
Hening itu menggantung seperti pedang yang tak jatuh.
Serion akhirnya mengangguk, suaranya datar. “Kita lihat siapa yang terbakar duluan, kalau begitu.”
Ia keluar tanpa bicara lebih lanjut.
Aurelia berdiri di tengah ruang kosong itu. Satu napas. Dua. Tiga. Lalu ia melangkah keluar.
Ia tahu ia baru saja menyatakan perang.
Sore hari — Taman Dalam Istana
Angin sore menyapu lembut bunga-bunga lavender yang tumbuh subur di antara dinding batu dan jalan setapak. Aurelia duduk di bangku marmer, jubahnya disampirkan longgar di bahu. Di hadapannya, Caelum berdiri seperti bayangan-selalu ada, tak pernah meminta penjelasan.
“Caelum,” katanya perlahan, “apa yang akan kau lakukan jika aku memilih jalan yang bertentangan dengan Putra Mahkota?”
“Melindungi Anda.”
“Tanpa tanya?”
“Tanpa tanya.”
“Bahkan jika itu berarti kau akan dicap pengkhianat?”
Caelum menatap matanya, dan saat itu tak ada keraguan sedikit pun.
“Yang saya khianati adalah siapa pun yang mencoba menyakiti Anda.”
Aurelia menatapnya, senyum kecil mengembang di bibirnya. Lelah, tapi jujur.
“Kau tahu, di dunia ini, orang seperti kau langka sekali, Caelum.”
Ia tak menjawab. Tapi saat ia duduk di sampingnya-dengan jarak yang cukup dekat untuk mendengar denyut nadi masing-masing, mereka tidak butuh kata-kata lagi.
Dunia mungkin akan hancur. Kekuasaan bisa berubah arah.
Tapi di sini, sore itu, di bawah langit merah tembaga… hanya ada dua orang yang saling mengerti tanpa perlu bertanya.
Dan mungkin, meski hanya sedikit, Aurelia membiarkan dirinya berharap.