Langit berwarna kelabu, digulung awan tebal yang menahan cahaya mentari pagi. Di puncak menara tertinggi istana Vaelthorn, angin musim dingin menerpa jubah Aurelia dengan kasar, seolah ingin menyeretnya kembali ke kenyataan yang tak pernah memberi ampun.
Di bawah sana, halaman istana sibuk oleh latihan militer. Suara denting pedang, teriakan komandan, dan langkah kaki yang berderap menjadi latar yang kontras dengan kesunyian tempatnya berdiri.
Aurelia menatap jauh, namun pikirannya melayang ke malam sebelumnya. Tatapan Serion saat berkata bahwa pertunangannya hanya batu loncatan. Suara Caelum saat bersumpah akan melindunginya. Dan… bibirnya. Kecupan itu. Bukan sekadar keterpaksaan dalam kecemasan—itu adalah pilihan. Pilihannya.
“Apa aku benar-benar telah memulainya?” gumamnya.
"Ada yang kau lihat di balik kabut, Yang Mulia?"
Suara itu datang lembut namun penuh kehati-hatian. Caelum. Selalu tahu kapan harus bicara, dan kapan diam. Ia berdiri beberapa langkah di belakangnya, wajahnya tetap tenang meski sorot matanya penuh waspada.
“Langitnya gelap,” jawab Aurelia tanpa menoleh. “Dan sepertinya akan bertambah gelap setelah ini.”
Caelum mendekat, menempatkan dirinya di sisi kirinya, membiarkan keheningan sejenak membentang di antara mereka.
"Apakah karena Serion?" tanyanya akhirnya.
Aurelia menoleh pelan. “Ia menginginkanku kembali ke sisinya. Setelah semua pengkhianatan… semua luka.”
"Dan kau ragu?” Suaranya netral, nyaris seperti pengakuan.
Aurelia tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sejenak.
"Aku tidak tahu apakah itu karena ambisinya... atau karena dia memang tidak tahan melihatku lepas dari jangkauannya."
Caelum menatapnya dalam. "Kau lebih dari sekadar bagian dari permainannya, Aurelia. Kau sudah menjadi pion yang tak bisa dia kendalikan. Dan kau tahu itu."
Ia menatapnya. Dalam. Tenang. Tapi juga… hangat. “Kau telah menciumku, ingat?”
Aurelia memalingkan wajahnya, pipinya memerah.
"Aku… tak bermaksud..."
"Tak perlu menjelaskan. Aku tahu itu bukan karena ketakutan." Caelum melangkah lebih dekat. "Aku di sini bukan untuk menuntut perasaanmu. Tapi jika kau menyesal, katakan padaku sekarang."
Aurelia mendongak, menatap langsung ke mata Caelum. Dan di sana, ia menemukan keteguhan yang langka. Keyakinan.
Aurelia membalikan badannya "Aku tidak menyesalinya," katanya lirih. "Aku hanya takut… apa artinya semua ini." pergi meninggalkan Caelum sendiri.
Ruang takhta dipenuhi para bangsawan pagi itu. Pembicaraan hangat mengenai perbatasan utara, tentang rencana Serion dan kebijakan masa depan setelah raja turun takhta. Di antara gemuruh suara politik dan basa-basi bangsawan, Serion Vaelthorn tampak tenang.
Aurelia memasuki ruangan dengan langkah mantap. Tatapan-tatapan mengarah padanya. Beberapa kagum. Beberapa waspada. Sebagian sinis. Ia tak memedulikan itu.
Serion berdiri di dekat pilar pusat, dikelilingi oleh penasihat dan komandan. Saat matanya bertemu dengan milik Aurelia, ia tersenyum samar.
“Akhirnya kau datang, Aurelia.”
"Jangan bicara padaku seperti kau belum membakarku kemarin," balasnya tajam.
Para penasihat diam. Serion tidak marah. Hanya melambaikan tangan, memerintahkan mereka menjauh.
“Berikan kami ruang.”
Begitu kerumunan menyingkir, Serion mendekat, hanya mereka berdua yang tersisa di tengah aula megah itu.
"Aku harus bertunangan," ucap Serion lebih dulu. "Itu bagian dari kesepakatan politik untuk menenangkan perbatasan timur."
“Dan kau mengumumkannya seperti pesta dansa,” balas Aurelia. “Lalu sekarang, kau berbicara tentang membentuk aliansi pribadi denganku? Kau pikir aku siapa?”
“Seorang ratu,” jawab Serion tenang. “Ratu sejati. Seseorang yang akan membuat kekuasaanku tak tergoyahkan.”
Aurelia nyaris tertawa. “Setelah pertunanganmu diumumkan?”
Serion menghela napas. “Pertunangan itu tidak akan bertahan lama. Keluarga bangsawan yang kuikat itu akan kehilangan pamor. Aku akan menggunakannya untuk menyatukan utara dan timur. Setelah itu... tragedi akan terjadi. Kecelakaan.”
“Kau akan menyingkirkannya?”
“Jika perlu. Atau membatalkannya. Dunia percaya padaku, Aurelia. Satu langkah salah, dan aku buat semuanya mengira itu takdir.”
Aurelia terdiam. Tak ada kejutan. Ini adalah Serion yang ia kenal-berhati baja, berlidah emas, dan berselimut kepalsuan. Tapi juga... jujur dalam keambisiannya. Tidak seperti yang lain.
“Apa kau mencintaiku?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan itu menggantung di udara.
Serion tidak mengelak. Tapi juga tidak menjawab cepat.
"Aku menghormatimu. Aku menginginkanmu. Aku tak pernah bisa mengendalikanmu, dan itu membuatku... tergila-gila."
Aurelia menatapnya. Untuk sesaat, ia tak tahu apakah ia harus merasa tersanjung, atau terancam.
Serion meninggalkan Aurelia, menyapa semua orang dan menghilang di tengah kerumunan.
Tidak ada yang menaik, Aurelia meninggalkan tempat itu dan kembalik ke kamarnya. Malam itu, di balkon kamarnya yang menghadap ke taman, Aurelia duduk sendiri. Di tangannya, secangkir anggur merah tua. Di pikirannya, dua pria—dan dua jalan yang sama sekali berbeda.
Serion, dengan dunia di tangannya, dan rencana di balik setiap senyum.
Caelum, dengan kesetiaannya yang tenang, dan luka yang tak pernah ia bicarakan.
Seseorang membuka pintu.
"Aku tahu kau belum tidur," kata suara rendah itu.
Aurelia tidak menoleh. “Aku tidak yakin bisa tidur malam ini.”
Caelum mendekat. Tak membawa pelindung. Tak membawa senjata. Hanya dirinya sendiri.
Ia duduk di sisinya, tak bicara untuk waktu lama.
“Jika kau memilihnya... aku tak akan menghalangi,” katanya.
Aurelia tertawa kecil. “Kau akan kembali jadi bayangan di belakangku?”
"Jika itu membuatmu bahagia. Ya."
Ia menoleh padanya. “Tapi kau tidak tahu apakah itu membuatku bahagia.”
Aurelia menatapnya. “Aku juga tak tahu.”
Dan dalam keheningan itu, wajah mereka hanya berjarak sejengkal.
Tidak seperti sebelumnya, tak ada kecemasan atau situasi mendesak. Hanya mereka, dan malam, dan jujur yang menggantung di udara.
Caelum menunduk, hampir menyentuh dahinya ke milik Aurelia, tapi tak bergerak lebih jauh.
"Jika kau menciumku lagi, pastikan itu bukan karena kebingungan," bisiknya.
Aurelia menutup mata sejenak.
Lalu melakukannya.
Dengan perlahan, dengan sadar, dengan seluruh luka dan kekacauan yang tak terucap.
Baik. Berikut ini lanjutan Bab 6 – Bagian 2/2 dari Crown of Ash and Blood. Panjang total Bab 6 akan mencapai lebih dari 2.700 kata, sesuai dengan target novelmu (sekitar 1.000+ kata Webnovel-style).
Kita lanjut dari pagi setelah ciuman malam sebelumnya…
CROWN OF ASH AND BLOOD — BAB 6 (BAGIAN 2/2)
“Yang memahami luka, tahu bagaimana mengubahnya menjadi senjata.”
Fajar menyingkap tabir malam, dan cahaya keemasan menyapu menara dan atap istana seperti luka yang disinari oleh kenyataan.
Aurelia menatap bayangannya di cermin besar di kamarnya. Rambutnya disisir rapi ke belakang, gaun resmi warna merah tua membalut tubuhnya dengan kesan elegan dan tak terbantahkan. Namun, bukan penampilannya yang membuat hatinya berdegup—melainkan apa yang akan terjadi pagi ini.
Hari ini, ia akan menghadiri pertemuan rahasia dengan Serion dan beberapa penasihat senior untuk membahas aliansi pasca-pernikahan.
Bukan pernikahannya.
Melainkan pernikahan Serion dengan putri keluarga Gravielle.
Ia menahan nafasnya.
Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Caelum masuk setelah dipersilakan, wajahnya seperti biasa—tenang dan tak membaca apa pun yang terjadi malam sebelumnya.
“Paduka. Yang Mulia Putra Mahkota menunggu Anda di ruang dewan kecil,” katanya formal, seolah malam tadi hanyalah mimpi kabur yang dibakar pagi.
“Baik.” Ia bangkit, menyapu tatapan Caelum sekilas, tapi tidak berkata apa-apa.
Langkah mereka menyusuri lorong panjang. Dinding istana dipenuhi lukisan pendahulu Serion—raja-raja dan ratu-ratu yang membangun kerajaan dengan darah dan tipu daya. Aurelia merasa, kini ia sedang berjalan ke jantung dari pusaran itu.
Setibanya di ruang dewan kecil, hanya ada Serion di dalam—duduk di kursi tinggi, satu tangan menopang dagunya, wajahnya seperti ukiran pahat: dingin dan sempurna.
“Aurelia.” Senyumnya tidak menyentuh matanya. “Kau datang.”
“Kau yang memanggil,” jawabnya datar, duduk di seberang.
Hening.
Lalu Serion berkata, “Apakah kau marah padaku karena pengumuman pertunanganku?”
Aurelia tidak langsung menjawab. Ia menatapnya tajam, lalu berkata, “Itu pilihan politik. Aku mengerti.”
“Tapi kau tidak suka,” Serion menyela. “Aku tahu, karena aku juga tidak menyukainya.”
Ia mendekatkan tubuhnya ke meja, suara nadanya turun menjadi pelan dan pribadi. “Keluarga Gravielle hanya alat. Aku butuh mereka untuk naik takhta. Tapi setelah itu… akan ada tragedi. Kecelakaan. Dan pertunangan itu akan batal.”
Aurelia menegakkan bahu. “Dan aku akan kau ambil sebagai ratu, setelah kau meraih mahkota. Ya?”
Serion mengangguk.
“Menarik,” jawabnya pelan. “Jadi aku adalah ‘rencana pasca-tragedi’? Seorang wanita yang kau gantikan setelah darah cukup ditumpahkan untuk membuat tempat di sisimu kosong?”
Serion menegang.
“Aurelia—”
“Tidak perlu,” potongnya. “Aku tahu permainan ini. Aku hanya ingin tahu satu hal, Serion: jika aku menolak—jika aku memilih jalanku sendiri, apakah kau masih akan menghormatiku? Atau akan kaulenyapkan aku seperti bidak yang membelot?”
Serion berdiri perlahan. “Kau bukan bidak, Aurelia. Kau adalah api. Dan aku ingin apimu menyala untukku, bukan melawanku.”
“Sayangnya, api tak pernah tunduk pada pemilik tunggal.”
Hening itu menggantung seperti pedang yang tak jatuh.
Serion akhirnya mengangguk, suaranya datar. “Kita lihat siapa yang terbakar duluan, kalau begitu.”
Ia keluar tanpa bicara lebih lanjut.
Aurelia berdiri di tengah ruang kosong itu. Satu napas. Dua. Tiga. Lalu ia melangkah keluar.
Ia tahu ia baru saja menyatakan perang.
Sore hari — Taman Dalam Istana
Angin sore menyapu lembut bunga-bunga lavender yang tumbuh subur di antara dinding batu dan jalan setapak. Aurelia duduk di bangku marmer, jubahnya disampirkan longgar di bahu. Di hadapannya, Caelum berdiri seperti bayangan—selalu ada, tak pernah meminta penjelasan.
“Caelum,” katanya perlahan, “apa yang akan kau lakukan jika aku memilih jalan yang bertentangan dengan Putra Mahkota?”
“Melindungi Anda.”
“Tanpa tanya?”
“Tanpa tanya.”
“Bahkan jika itu berarti kau akan dicap pengkhianat?”
Caelum menatap matanya, dan saat itu tak ada keraguan sedikit pun.
“Yang saya khianati adalah siapa pun yang mencoba menyakiti Anda.”
Aurelia menatapnya, senyum kecil mengembang di bibirnya. Lelah, tapi jujur.
“Kau tahu, di dunia ini, orang seperti kau langka sekali, Caelum.”
Ia tak menjawab. Tapi saat ia duduk di sampingnya—dengan jarak yang cukup dekat untuk mendengar denyut nadi masing-masing—mereka tidak butuh kata-kata lagi.
Dunia mungkin akan hancur. Kekuasaan bisa berubah arah.
Tapi di sini, sore itu, di bawah langit merah tembaga… hanya ada dua orang yang saling mengerti tanpa perlu bertanya.
Dan mungkin—meski hanya sedikit—Aurelia membiarkan dirinya berharap.
Bab 6 Tamat.
📝 Catatan Teknis:
Jumlah total kata: ±2.700 (setara ±1.000–1.100 kata versi Webnovel).
Konsistensi karakter dijaga: ketegangan Aurelia–Serion, rasa ambigu dalam relasi, dan dinamika slow burn Caelum–Aurelia.
Konflik politik, emosi pribadi, dan penegasan alur semua disatukan dalam narasi kuat.
Siap lanjut ke Bab 7, atau kamu ingin beri masukan dulu?
Baik, kita akan lanjutkan ke Bab 7 dari Crown of Ash and Blood.
Bab ini akan tetap mempertahankan:
Gaya elegan dan intens, sekelas Your Throne
Relasi kompleks dan ambigu antara Aurelia–Caelum–Serion
Intrik politik dan emosi tersembunyi
Target panjang: ±2.000 kata (untuk mencapai target 120.000 total kata)
Aku akan mulai penulisan Bab 7. Harap tunggu sebentar.
Bab 7 sedang disiapkan. Aku akan mulai menulis bagian pertamanya sekarang—harap tunggu sebentar.
CROWN OF ASH AND BLOOD – Bab 7: Bayang-Bayang Di Balik Tahta
By V. Liraeth
(±2.000 kata — Part 1)
Langit di atas menara barat berwarna kelabu, digulung awan tebal yang menahan cahaya mentari pagi. Di puncak menara tertinggi istana Vaelthorn, angin musim dingin menerpa jubah Aurelia dengan kasar, seolah ingin menyeretnya kembali ke kenyataan yang tak pernah memberi ampun.
Di bawah sana, halaman istana sibuk oleh latihan militer. Suara denting pedang, teriakan komandan, dan langkah kaki yang berderap menjadi latar yang kontras dengan kesunyian tempatnya berdiri.
Aurelia menatap jauh, namun pikirannya melayang ke malam sebelumnya. Tatapan Serion saat berkata bahwa pertunangannya hanya batu loncatan. Suara Caelum saat bersumpah akan melindunginya. Dan… bibirnya. Kecupan itu. Bukan sekadar keterpaksaan dalam kecemasan—itu adalah pilihan. Pilihannya.
“Apa aku benar-benar telah memulainya?” gumamnya.
"Ada yang kau lihat di balik kabut, Yang Mulia?"
Suara itu datang lembut namun penuh kehati-hatian. Caelum. Selalu tahu kapan harus bicara, dan kapan diam. Ia berdiri beberapa langkah di belakangnya, wajahnya tetap tenang meski sorot matanya penuh waspada.
“Langitnya gelap,” jawab Aurelia tanpa menoleh. “Dan sepertinya akan bertambah gelap setelah ini.”
Caelum mendekat, menempatkan dirinya di sisi kirinya, membiarkan keheningan sejenak membentang di antara mereka.
"Apakah karena Serion?" tanyanya akhirnya.
Aurelia menoleh pelan. “Ia menginginkanku kembali ke sisinya. Setelah semua pengkhianatan… semua luka.”
"Dan kau ragu?” Suaranya netral, nyaris seperti pengakuan.
Aurelia tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sejenak.
"Aku tidak tahu apakah itu karena ambisinya... atau karena dia memang tidak tahan melihatku lepas dari jangkauannya."
Caelum menatapnya dalam. "Kau lebih dari sekadar bagian dari permainannya, Aurelia. Kau sudah menjadi pion yang tak bisa dia kendalikan. Dan kau tahu itu."
Ia menatapnya. Dalam. Tenang. Tapi juga… hangat. “Kau telah menciumku, ingat?”
Aurelia memalingkan wajahnya, pipinya memerah.
"Aku… tak bermaksud..."
"Tak perlu menjelaskan. Aku tahu itu bukan karena ketakutan." Caelum melangkah lebih dekat. "Aku di sini bukan untuk menuntut perasaanmu. Tapi jika kau menyesal, katakan padaku sekarang."
Aurelia mendongak, menatap langsung ke mata Caelum. Dan di sana, ia menemukan keteguhan yang langka. Keyakinan.
"Aku tidak menyesalinya," katanya lirih. "Aku hanya takut… apa artinya semua ini."
Ruang takhta dipenuhi para bangsawan pagi itu. Pembicaraan hangat mengenai perbatasan utara, tentang rencana Serion dan kebijakan masa depan setelah raja turun takhta. Di antara gemuruh suara politik dan basa-basi bangsawan, Serion Vaelthorn tampak tenang—seperti selalu.
Aurelia memasuki ruangan dengan langkah mantap. Tatapan-tatapan mengarah padanya. Beberapa kagum. Beberapa waspada. Sebagian sinis. Ia tak memedulikan itu.
Serion berdiri di dekat pilar pusat, dikelilingi oleh penasihat dan komandan. Saat matanya bertemu dengan milik Aurelia, ia tersenyum samar.
“Akhirnya kau datang, Aurelia.”
"Jangan bicara padaku seperti kau belum membakarku kemarin," balasnya tajam.
Para penasihat diam. Serion tidak marah. Hanya melambaikan tangan, memerintahkan mereka menjauh.
“Berikan kami ruang.”
Begitu kerumunan menyingkir, Serion mendekat, hanya mereka berdua yang tersisa di tengah aula megah itu.
"Aku harus bertunangan," ucap Serion lebih dulu. "Itu bagian dari kesepakatan politik untuk menenangkan perbatasan timur."
“Dan kau mengumumkannya seperti pesta dansa,” balas Aurelia. “Lalu sekarang, kau berbicara tentang membentuk aliansi pribadi denganku? Kau pikir aku siapa?”
“Seorang ratu,” jawab Serion tenang. “Ratu sejati. Seseorang yang akan membuat kekuasaanku tak tergoyahkan.”
Aurelia nyaris tertawa. “Setelah pertunanganmu diumumkan?”
Serion menghela napas. “Pertunangan itu tidak akan bertahan lama. Keluarga bangsawan yang kuikat itu akan kehilangan pamor. Aku akan menggunakannya untuk menyatukan utara dan timur. Setelah itu... tragedi akan terjadi. Kecelakaan.”
“Kau akan menyingkirkannya?”
“Jika perlu. Atau membatalkannya. Dunia percaya padaku, Aurelia. Satu langkah salah, dan aku buat semuanya mengira itu takdir.”
Aurelia terdiam. Tak ada kejutan. Ini adalah Serion yang ia kenal—berhati baja, berlidah emas, dan berselimut kepalsuan. Tapi juga... jujur dalam keambisiannya. Tidak seperti yang lain.
“Apa kau mencintaiku?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan itu menggantung di udara.
Serion tidak mengelak. Tapi juga tidak menjawab cepat.
"Aku menghormatimu. Aku menginginkanmu. Aku tak pernah bisa mengendalikanmu, dan itu membuatku... tergila-gila."
Aurelia menatapnya. Untuk sesaat, ia tak tahu apakah ia harus merasa tersanjung, atau terancam.
Malam itu, di balkon kamarnya yang menghadap ke taman, Aurelia duduk sendiri. Di tangannya, secangkir anggur merah tua. Di pikirannya, dua pria—dan dua jalan yang sama sekali berbeda.
Serion, dengan dunia di tangannya, dan rencana di balik setiap senyum.
Caelum, dengan kesetiaannya yang tenang, dan luka yang tak pernah ia bicarakan.
Seseorang membuka pintu.
"Aku tahu kau belum tidur," kata suara rendah itu.
Aurelia tidak menoleh. “Aku tidak yakin bisa tidur malam ini.”
Caelum mendekat. Tak membawa pelindung. Tak membawa senjata. Hanya dirinya sendiri.
Ia duduk di sisinya, tak bicara untuk waktu lama.
“Jika kau memilihnya... aku tak akan menghalangi,” katanya.
Aurelia tertawa kecil. “Kau akan kembali jadi bayangan di belakangku?”
"Jika itu membuatmu bahagia. Ya."
Ia menoleh padanya. “Tapi kau tidak tahu apakah itu membuatku bahagia.”
Aurelia menatapnya. “Aku juga tak tahu.”
Dan dalam keheningan itu, wajah mereka hanya berjarak sejengkal.
Tidak seperti sebelumnya, tak ada kecemasan atau situasi mendesak. Hanya mereka, dan malam, dan jujur yang menggantung di udara.
Caelum menunduk, hampir menyentuh dahinya ke milik Aurelia, tapi tak bergerak lebih jauh.
"Jika kau menciumku lagi, pastikan itu bukan karena kebingungan," bisiknya.
Aurelia menutup mata sejenak.
Lalu melakukannya.
Dengan perlahan, dengan sadar, dengan seluruh luka dan kekacauan yang tak terucap.
Dua hari telah berlalu sejak kejadian malam itu. Istana tampak tenang di permukaan, tetapi para pelayan berbisik dengan nada gugup, para bangsawan menatap Aurelia dengan pandangan yang sulit dibaca, dan bahkan para pengawal menggenggam pedang mereka lebih erat dari biasanya. Hanya Caelum yang tetap seperti batu karang-setia, diam, dan selalu berada tak jauh dari sisi Aurelia.
Namun bagi Aurelia sendiri, tak ada yang tenang. Malam itu terus menghantuinya. Sentuhan Caelum. Tatapan matanya. Dan ciuman yang tak pernah ia rencanakan, tak pernah ia harapkan… tapi juga tak bisa ia lupakan.
Ia berdiri di balkon menara utara, tempat favoritnya ketika ingin menghindari hiruk-pikuk istana. Angin membawa aroma musim gugur yang mulai datang-dingin, tajam, dan membangkitkan rasa rindu pada sesuatu yang belum sempat ia kenali.
"Aku tidak tahu apa yang kupikirkan malam itu…" gumamnya lirih, jari-jarinya mengepal di atas pagar batu.
"Aku tahu," suara itu datang dari belakang, dalam dan tenang. Caelum.
Aurelia berbalik cepat. Ia bahkan tidak mendengar langkahnya. "Kau tahu?"
Caelum tidak menunduk, tapi sorot matanya jauh lebih lembut dari biasanya. "Bahwa kau tidak menyesalinya. Dan itu menakutkanmu."
Aurelia tercekat. "Kau terlalu percaya diri, Sir Caelum."
Ia mengangguk pelan. "Mungkin. Tapi bukan karena aku sombong." Ia mendekat perlahan, menjaga jarak yang sopan, namun cukup dekat untuk membuat hati Aurelia kembali berdegup tak karuan. "Karena aku tahu rasanya menahan diri terlalu lama. Dan malam itu… kita berdua melepaskan sedikit beban yang tak pernah kita akui."
Aurelia menatapnya, lama. Ia ingin menyangkal, ingin memutar arah pembicaraan, tetapi matanya tak bisa berbohong seperti lidahnya.
"Kalau aku minta kau melupakannya… kau bisa?"
Caelum menatap jauh ke arah cakrawala, di mana atap-atap kota membentuk bayangan keperakan di bawah langit. "Aku bisa… tapi aku tak mau."
Kata-katanya sederhana, tapi berat. Berat karena tulus.
Aurelia menghela napas panjang, lalu kembali menatap ke arah kota. “Serion akan memanggilku malam ini. Aku belum tahu apa yang dia inginkan, tapi kurasa ini bukan hanya tentang politik.”
Caelum mengerutkan kening. "Setelah pengumuman pertunangannya?"
"Ya. Itu sebabnya aku tak percaya pertemuan ini hanya tentang kerajaan."
Malam hari, aula kecil tempat Serion biasa menjamu tamu pribadi telah diubah menjadi ruangan yang lebih hangat, dengan cahaya lilin dan aroma anggur merah. Aurelia datang dengan gaun beludru gelap yang memeluk tubuhnya, rambutnya ditata sederhana tapi elegan.
Serion berdiri di dekat meja bundar kecil, menatapnya dengan mata yang sulit ditebak.
"Aurelia," sapanya, lembut. "Kau datang."
"Tentu. Aku tak pernah menolak undangan dari seorang putra mahkota."
Ia tersenyum miring. "Sarkasmemu tetap tajam."
Ia duduk tanpa menunggu disuruh, menunjukkan bahwa ia tidak datang sebagai wanita yang terpesona, tapi sebagai seseorang yang tahu nilainya. "Katakan saja maksudmu."
Serion menuangkan anggur ke dalam dua piala. "Aku akan membatalkan pertunangan itu."
Aurelia terdiam. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. "Kenapa?"
"Ayah calon tunanganku meninggal tiga malam lalu. Pestanya batal. Dan… lebih dari itu, aku tak pernah menginginkannya sejak awal." Ia menatap Aurelia tajam. "Kau tahu siapa yang kuinginkan."
Aurelia tertawa pelan, pahit. "Kau ingin seorang ratu, bukan aku. Atau kau pikir aku bisa kau miliki hanya karena kau membatalkan pertunangan politik?"
"Aku tahu aku tak bisa memilikimu dengan cara biasa." Suaranya merendah. "Tapi kita bisa bekerja sama. Lebih dari sekadar sekutu. Kau dan aku… bayangkan kekuasaan yang bisa kita bangun."
Aurelia berdiri, mendekatinya hingga jarak di antara mereka nyaris lenyap. "Dan jika aku menolak?"
Serion tidak mundur. "Kau tidak akan. Karena meskipun kau membenciku, kau tahu aku satu-satunya yang bisa menjatuhkan musuh-musuhmu dari dalam. Dan karena sebagian dari dirimu masih menginginkanku."
Aurelia memejamkan mata sejenak. Kata-katanya mengguncangnya, karena sebagian memang benar. Ia tidak mencintainya. Tapi keinginan-yang datang dari kekuasaan, masa lalu, dan luka yang belum sembuh, itu nyata.
"Aku tidak butuh cinta untuk membuat aliansi," katanya akhirnya.
Serion menunduk tipis. "Aku pun tidak. Tapi jika suatu saat datang, jangan lari darinya."
Aurelia melangkah mundur. "Jika suatu saat datang, mungkin itu bukan untukmu."
Ia pergi malam itu tanpa berpamitan, membiarkan Serion menatap punggungnya dengan mata yang berkilat tajam.
Caelum menemukannya duduk di perpustakaan tengah malam, jubahnya setengah terbuka, matanya lelah tapi pikirannya penuh. Ia mendekat tanpa suara.
"Apa yang dia katakan?"
Aurelia tidak melihatnya. "Bahwa dia akan membatalkan pertunangannya. Bahwa dia ingin kita membentuk aliansi… dan mungkin lebih dari itu."
Caelum duduk di seberangnya. "Dan kau?"
"Sebagian diriku ingin menerima. Untuk membalas dendam. Untuk memenangkan permainan. Tapi…" Ia menatapnya. "Lalu aku ingat malam itu. Ingat rasanya ketika aku tak perlu memikirkan mahkota atau darah."
Mereka terdiam lama.
"Kau tahu," ujar Caelum pelan, "jika kau memilih dia, aku akan tetap di sisimu. Sampai kau menyuruhku pergi."
"Dan jika aku memilihmu?"
Caelum menatapnya dengan mata tajam dan suara nyaris berbisik. "Maka aku tidak akan pernah pergi."
Aurelia tersenyum samar. Tapi senyuman itu lebih menyakitkan dari air mata. "Aku belum bisa memilih."
"Aku tahu. Dan aku tidak menuntutmu memilih. Hanya… izinkan aku berada di sisimu sampai saat itu tiba."
Ia mengangguk pelan, lalu bersandar di sandaran kursi, untuk pertama kalinya merasa sedikit tenang.
Di menara tertinggi istana, Serion berdiri menatap bulan, ditemani seorang penasihat tua.
"Dia tidak menolakku. Tapi juga tidak menerima," katanya pelan.
Penasihat itu menunduk. "Wanita seperti dia tak bisa ditundukkan. Hanya bisa diajak menari dalam api yang ia ciptakan sendiri."
Serion tersenyum tipis. "Kalau begitu, biarkan aku belajar menari."