Bab 8 - Bayangan dalam Istana

Langit di atas Istana diliputi warna keperakan, langit senja yang menggantung seperti tirai sebelum malam jatuh sepenuhnya. Angin berhembus lembut melewati balkon tertinggi di Sayap Timur, tempat Aurelia berdiri seorang diri, memandang taman mawar di bawah yang mulai layu oleh musim. Gaun merah marunnya berderai perlahan ditiup angin, seperti nyala api yang tertahan.

Sudah dua hari sejak dia menghadiri perjamuan musim gugur, dua hari sejak sorot mata Caelum menatapnya dengan luka yang tidak pernah diucapkan, dan dua hari sejak Serion memintanya untuk mempercayainya kembali.

Dan malam ini, Serion mengundangnya ke Paviliun Kristal, tempat yang biasanya hanya dibuka untuk keluarga kerajaan dan para tamu negara terhormat.

“Apakah aku tamu kehormatan, atau hanya pion yang ingin kau pikat kembali?” gumam Aurelia lirih.

Pintu balkon terbuka pelan. Langkah kaki yang tak asing menyapa lantai marmer, dan aroma khas Serion, rempah ringan bercampur cedar dan sesuatu yang lebih halus, mengisi udara.

“Aurelia,” panggilnya dengan nada lembut namun tegas.

Ia berbalik perlahan. Serion berdiri di ambang pintu, mengenakan mantel hitam berhias bordir emas, rambutnya rapi, dan senyum tipis terukir di wajahnya. Tidak licik seperti biasanya, ada sesuatu yang... nyaris tulus.

“Pangeran Serion,” jawab Aurelia datar.

Serion melangkah mendekat, membiarkan keheningan menyesaki jarak mereka. “Kau tampak... letih. Apakah aku boleh menyalahkan diriku sendiri untuk itu?”

“Jika kau ingin menjadi pahlawan dari tragedi yang kau buat sendiri, silakan,” katanya, menahan kemarahan yang menggelegak halus di balik dadanya.

Serion terkekeh pelan. “Sejujurnya... itu memang salahku.” Ia menunduk sesaat, kemudian menatap mata Aurelia dalam-dalam. “Dan aku datang malam ini bukan untuk mempermainkanmu lagi.”

Aurelia tidak menjawab.

“Dengar. Aku tahu engkau tidak mempercayai siapa pun, terutama aku. Tapi kau harus tahu, pertunanganku dengan Lady Cyrene adalah... politik. Sebuah perhitungan dingin dari Dewan Utara. Mereka ingin kestabilan. Aku memberikannya. Namun tidak pernah kuberikan hatiku.”

Aurelia mencibir pelan. “Oh, jadi sekarang kau datang membawa hatimu, setelah mengorbankanku dan mempermalukanku di hadapan seluruh istana?”

“Jika aku bisa memilih kembali, aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Ia mendekat perlahan. “Cyrene akan menghilang dari panggung. Itu pasti.”

Aurelia mendongak, matanya menyipit. “Apa maksudmu?”

“Mereka yang bermain dengan duri terlalu lama... akan berdarah juga. Sebuah kecelakaan, mungkin. Sebuah skandal. Aku sudah menyiapkannya.”

Aurelia menahan napas. Kata-kata Serion seperti racun yang dibungkus madu. Ia begitu tenang, begitu meyakinkan. Ia bukan hanya licik, ia adalah ular yang tahu kapan harus berbisik dan kapan harus menggigit.

“Dan setelah itu?” tanya Aurelia.

“Setelah itu, aku akan naik takhta. Dan kau, kau bisa berdiri di sisiku. Tidak lagi sebagai alat, tapi sebagai ratu yang penuh kuasa.”

Serion mendekat satu langkah lagi, dan kini hanya ada satu lengan jarak di antara mereka. Tangannya terangkat perlahan, seolah meminta izin dari udara untuk menyentuhnya. Namun ia tidak menyentuh pipi atau rambut Aurelia, ia hanya menggenggam tangannya yang masih dingin karena angin.

Ia menunduk, dan dengan gerakan yang begitu elegan dan lambat, mencium punggung tangan Aurelia.

“Jika takdir memberiku satu kesempatan lagi... aku akan memilihmu, Aurelia. Bukan karena kau cantik atau kuat, tapi karena kau... berbahaya. Seperti badai yang tidak bisa kutundukkan, namun tak pernah bisa kulupakan.”

Aurelia menatapnya tanpa berkata-kata. Dunia seperti berhenti berputar sesaat, dan untuk pertama kalinya, ia melihat Serion bukan sebagai penguasa masa depan, bukan pula sebagai pengkhianat, tapi sebagai seorang pria yang memujanya, atau setidaknya, meyakinkannya bahwa ia pantas untuk dipuja.

Namun seperti semua hal dalam istana ini, segalanya memiliki harga.

Dan Aurelia belum lupa... luka lama masih menganga.

Setelah Serion pergi, meninggalkan harum rempah yang menggantung di udara, Aurelia masih berdiri kaku di balkon. Tangannya yang dicium Serion terasa hangat, bukan karena sentuhan itu lembut, tapi karena maknanya jauh lebih dalam daripada yang ia harapkan.

Ia menatap langit yang perlahan menghitam, menyadari satu hal: Serion tidak hanya ingin kekuasaan. Ia ingin dirinya. Dan itu yang membuatnya jauh lebih berbahaya.

Langkah kaki berat terdengar dari lorong belakang. Tak seperti langkah Serion yang ringan dan terlatih dalam menipu, suara ini tenang namun berbobot, seperti seseorang yang selalu siap bertarung. Hanya ada satu orang yang berjalan seperti itu.

“Caelum,” gumamnya tanpa berbalik.

Caelum berhenti beberapa langkah dari belakangnya, ragu sejenak sebelum berbicara. “Saya tidak ingin mengganggu.”

“Kau tidak,” katanya lirih. “Kau hanya... datang saat aku butuh melihat kenyataan.”

Akhirnya ia berbalik, menatap ksatria itu. Rambut peraknya diikat rapi malam ini, dan ia masih mengenakan armor ringan berwarna gelap, meski tak ada perang yang menanti. Matanya, bagai danau beku, menatapnya lekat-lekat, seolah mencoba membaca isi hati yang baru saja diserang badai.

“Kau melihatku bersama Serion,” kata Aurelia datar.

Caelum mengangguk pelan, tanpa menurunkan tatapan. “Ya.”

“Dan kau tidak akan bertanya kenapa?”

“Aku tahu jawabannya,” jawabnya singkat.

Aurelia mengernyit. “Apa maksudmu?”

“Karena ini istana, dan di istana, kau tidak selalu bisa memilih siapa yang ada di sisimu. Tapi... aku juga tahu, kadang kau ingin memilih. Dan itu menyakitkan.”

Ada jeda panjang. Angin malam berhembus lebih dingin dari sebelumnya.

Aurelia melangkah mendekat, dan Caelum tak bergeming. Mereka hanya terpisah sejengkal, dan malam terasa jauh lebih sunyi dari biasanya.

“Aku lelah, Caelum,” bisiknya.

“Iya,” jawabnya pelan. “Kau tak harus berpura-pura di depanku.”

Aurelia mengangkat tangannya, menyentuh dada Caelum dengan lembut-di atas tempat jantungnya berdetak. Ia bisa merasakannya. Jantung itu berdetak cepat, tidak karena pertempuran, tetapi karena dirinya.

“Jika aku memilih untuk jatuh,” bisik Aurelia, matanya menatap mata Caelum, “...kau akan menangkapku?”

Caelum tak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya, menggenggam jari-jari Aurelia dengan perlahan, seolah mengukuhkan janji yang tak pernah diucapkan. Dan dalam keheningan malam yang mendesak, tanpa suara, Aurelia mencondongkan tubuhnya ke depan.

Lalu ia menciumnya.

Bukan ciuman penuh gairah, bukan pula ciuman penguasa yang menuntut kesetiaan. Tapi sebuah ciuman yang lahir dari luka dan kepercayaan, dari kelemahan yang hanya bisa dibagi pada seseorang yang tidak akan mengkhianati.

Caelum tidak membalasnya dengan segera. Ia hanya memejamkan mata, seolah ingin menyimpan rasa itu dalam ingatannya.

Ketika Aurelia menarik diri, ia menatapnya, terengah-antara takut dan terpesona.

“Aku tak tahu apa yang kulakukan,” gumamnya.

“Tapi kau tetap melakukannya,” jawab Caelum pelan. “Dan itu cukup bagiku.”

Aurelia menunduk. “Aku membencinya. Serion. Tapi aku juga... pernah percaya padanya.”

“Dan sekarang?”

“Aku tak tahu,” bisiknya. “Aku hanya tahu... ketika aku bersamamu, aku merasa... bukan ratu. Bukan pion. Tapi hanya... aku.”

Caelum menarik napas dalam. Ia tidak berkata apa-apa, tapi sikapnya cukup jelas-ia tidak akan menuntut. Tidak akan meminta. Ia akan menunggu, seperti yang selalu ia lakukan.

Dan mungkin itulah yang paling menyakitkan.

Pagi berikutnya, Aurelia berdiri di hadapan cermin kamarnya. Pupil matanya tak bergerak sedikit pun saat pelayan menyisir rambutnya. Dunia tidak akan menunggu hatinya memilih. Politik tidak memberi ruang untuk romansa.

Namun di matanya yang kini beku, ada sesuatu yang berubah.

Dua pria.

Dua takdir.

Dan hanya satu jalan yang bisa ia tempuh.

Namun untuk pertama kalinya, Aurelia tidak yakin... siapa yang akan ia korbankan untuk sampai ke sana.