Bayangan malam merambat menyelimuti istana. Api obor menari lembut di sepanjang lorong-lorong marmer, menciptakan siluet samar dari para penjaga yang berjaga dalam diam. Di tengah keheningan itu, Aurelia berdiri di balkon lantai atas, memandang taman kerajaan yang tenang. Namun di balik wajahnya yang tampak tenang, pikirannya bekerja tajam, memintal benang-benang kemungkinan dari peristiwa yang terus bergulir.
Pertunangan Serion dengan putri dari Keluarga Arvane telah dibatalkan secara misterius tiga hari lalu. Konon, sang putri jatuh sakit secara tiba-tiba dan keluarga Arvane menarik diri dari aliansi. Tapi Aurelia tahu lebih baik, Serion telah merancang ini dengan presisi seorang algojo. Ia sedang membersihkan jalannya menuju takhta, dan mungkin mengincar aliansi baru… dengan dirinya.
Ia mendengar ketukan lembut di pintu balkon.
“Masuk,” ucapnya tanpa menoleh.
Langkah kaki ringan mendekat. Caelum.
“Kau seharusnya istirahat, Yang Mulia,” katanya, suaranya rendah namun mengandung ketegasan yang tak bisa ditawar.
Aurelia tersenyum kecil. “Tidur tidak bisa menghapus kabut yang menggantung di istana ini.”
Caelum mendekat, berdiri di sisinya. Matanya menelusuri wajah wanita yang kini telah ia lindungi dalam diam. Ada ketegangan di antara mereka, bukan ketegangan musuh, melainkan sesuatu yang jauh lebih rumit, kepercayaan yang tumbuh perlahan, dipenuhi luka, kesetiaan, dan rasa yang belum bernama.
“Kau tidak mempercayai Serion,” katanya datar.
“Tak ada yang bisa dipercaya di istana ini,” jawab Aurelia. “Termasuk aku.”
Caelum menatapnya, namun tak membantah. Ia tahu benar: Aurelia bukan gadis lugu. Ia cerdas, dingin saat perlu, namun juga memiliki sisi yang tak semua orang bisa lihat.
Aurelia melangkah kembali ke ruangannya, dan Caelum mengikutinya, memastikan tak ada ancaman di dalam. Tapi yang menantinya bukanlah pedang atau racun-melainkan dokumen, surat-surat rahasia, dan sebuah peta besar yang digelar di atas meja.
“Ini…?” tanya Caelum.
Aurelia menunjuk satu titik kecil di peta. “Tanah perbatasan timur. Tempat para pengungsi yang ditolak oleh kerajaan. Kita punya kesempatan di sana.”
“Maksudmu, menggalang kekuatan dari rakyat buangan?” tanya Caelum.
“Aku akan mulai membangun pengaruh. Perlahan. Diam-diam. Jika suatu hari kerajaan ini runtuh dari dalam, aku tidak akan menunggu untuk diselamatkan. Aku akan memegang tali kekang kekacauan itu sendiri.”
Itulah kekuatan Aurelia: bukan sihir, bukan pedang, tapi visi. Dan kemampuan membuat musuhnya menari di atas tali yang ia regangkan sendiri.
Keesokan harinya, istana tampak lebih sibuk dari biasanya. Undangan makan malam terbatas dari Serion menyebar, hanya ditujukan pada beberapa bangsawan pilihan, termasuk Aurelia.
Ketika ia tiba di ruang makan kecil yang mewah, Serion sudah menunggunya. Ia berdiri dan menarik kursi untuknya dengan gerakan lembut yang membuat semua mata terpaku. Sikapnya gentleman, penuh perhatian, dan tak menyisakan bekas dari ketegangan politik sebelumnya.
“Aurelia,” katanya pelan, seperti sebuah pujian. “Kau tampak menawan malam ini.”
“Jika pujian itu bagian dari agenda politikmu, hemat saja untuk wanita berikutnya,” balas Aurelia dengan senyum tipis.
Serion tertawa pelan. “Kau memang tak pernah mudah dipikat.”
Makan malam berjalan dalam percakapan sopan, namun penuh makna terselubung. Lalu, saat hanya mereka berdua yang tersisa-setelah para pelayan diusir dengan isyarat tangan Serion, sang Putra Mahkota mendekat.
“Aku ingin kau tahu… pertunanganku sebelumnya tak pernah menjadi keinginanku,” katanya lembut, tapi matanya menyala. “Itu strategi Ayah. Namun kini, Ayah telah sakit parah. Waktuku tak lama lagi. Dan aku ingin membuat pilihanku sendiri.”
Aurelia menatapnya tajam. “Dan aku bagian dari pilihan itu?”
Serion menatapnya dalam. “Kau bukan bagian dari rencanaku, Aurelia. Kau adalah rencanaku.”
Tangan Serion menyentuh pipinya dengan lembut. Gerakannya sopan, perlahan… lalu ia mencium punggung tangan Aurelia dengan ketulusan yang mengejutkan. Bukan seperti penguasa yang menaklukkan, melainkan seperti seseorang yang tahu betapa berbahayanya wanita di hadapannya, dan tetap memilih mendekat.
Aurelia tidak menarik tangannya.
Malam itu, di kamarnya, ia duduk diam. Tangannya masih terasa hangat. Tapi pikirannya melayang-bukan pada Serion, tapi pada tatapan Caelum yang terus mengawasinya diam-diam, di balik bayangan lorong istana.
Ia telah membuka jalan pada dua pria yang berbeda.
Satu penuh ambisi dan kuasa. Satu penuh kesetiaan dan pengabdian.
Dan ia? Ia adalah badai yang akan menentukan akhir dari semuanya.
Suara derap kuda dan langkah cepat para prajurit bergema di pelataran istana barat. Udara pagi yang dingin dan berkabut membawa ketegangan yang mengendap dalam setiap napas. Para pelayan bergerak tergesa, berbisik-bisik mengenai utusan dari perbatasan selatan yang tiba tanpa pemberitahuan. Ada darah di jubah mereka. Luka-luka, panik, dan laporan yang belum jelas-semua menumpuk seperti awan badai.
Aurelia berdiri di balkon atas, mengenakan gaun beludru hitam yang dihiasi sulaman emas di ujung lengan dan lehernya. Angin menerpa rambutnya yang terurai, keperakan dengan semburat hitam di ujung, seperti abu yang mengingatkan pada sesuatu yang telah dibakar habis-namun belum padam.
“Yang Mulia.” Caelum muncul di sampingnya, helmnya di tangan, napasnya masih berat. “Utusan itu… Mereka dari Benteng Grevine. Diserang saat malam. Mereka kehilangan hampir separuh pasukan.”
Aurelia tidak menoleh. Matanya masih memaku pada halaman istana yang kini dipenuhi aroma darah dan kegelisahan. “Berapa lama sebelum kabar ini mencapai telinga Dewan Tinggi?”
“Beberapa jam paling cepat. Tapi mereka akan memutarbalikkan fakta, seperti biasa.” Caelum memicingkan mata, suara teredam oleh amarah terpendam. “Mereka akan menyalahkan Anda. Mereka selalu menyalahkan Anda.”
Aurelia akhirnya menoleh, wajahnya tetap tenang meski sorot matanya menusuk. “Maka saatnya memberi mereka alasan… untuk takut.”
Caelum hendak bertanya lebih jauh, tapi langkah Aurelia telah mendahuluinya. Ia melangkah melewati lorong menuju ruang sidang istana, di mana para bangsawan tengah menunggu-siap mencabik reputasinya dengan senyum manis dan kata-kata beracun. Tapi hari ini, mereka tidak akan berhadapan dengan putri boneka.
Hari ini, mereka akan bertemu dengan api yang tersembunyi.
Ruang Sidang Utama
Dua belas kursi besar berjajar setengah lingkaran, menghadap ke singgasana kerajaan yang kosong. Para bangsawan berdiri ketika Aurelia masuk, namun tidak satu pun dari mereka membungkuk dalam. Tatapan mereka tajam, penuh dugaan, dan licik.
Serion duduk di kursi paling kanan, mengenakan jubah putih gading yang menandai statusnya sebagai putra mahkota. Ia menatap Aurelia lama, lalu tersenyum tipis. Senyum yang membuat darahnya mendidih.
“Sebuah tragedi terjadi di perbatasan selatan,” ucap Marquis Rethvon. “Benteng Grevine diserang. Kami memohon penjelasan dari pihak Anda, Lady Aurelia. Benteng itu berada dalam wilayah kekuasaan keluarga Vaelthorn.”
Aurelia tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke tengah ruangan, langkahnya ringan namun penuh kendali. “Benar. Grevine jatuh.”
Beberapa bangsawan berseru pelan, sebagian menggeleng. Aurelia tidak gentar.
“Dan benar,” lanjutnya, “ini terjadi dalam wilayah kekuasaan keluargaku. Tapi sebelum kalian menyalahkan darahku, dengarkan baik-baik.”
Tangannya terangkat perlahan, dan di hadapan mereka, peta wilayah muncul, terbuat dari cahaya keperakan yang berpendar dari udara, melayang, menyusun garis-garis benteng dan medan seperti lukisan ilahi. Beberapa bangsawan mundur, tidak menyangka melihat bentuk sihir seperti itu dari seorang wanita bangsawan.
“Sihir kuno,” bisik Countess Malren. “Itu sihir yang hilang… itu-”
“Sihir pengindra medan,” potong Serion pelan, matanya menyipit. “Kau menyembunyikan ini dariku.”
Aurelia menoleh dengan tenang. “Aku tidak menyembunyikan apa pun darimu, Yang Mulia. Kau hanya tidak bertanya pada waktu yang tepat.”
Peta bercahaya itu mulai menunjukkan titik-titik merah, titik panas. Pergerakan pasukan musuh. Kemudian titik biru: sisa pertahanan Grevine. Bahkan bayangan jalur pelarian utusan yang selamat. Semuanya akurat, cepat, dan diperlihatkan dengan presisi mengerikan.
“Bagaimana… kau bisa tahu semua ini?” Marquis Rethvon nyaris kehilangan suara.
Aurelia melangkah maju. “Karena aku bukan sekadar putri yang kalian pikir tidak punya peran. Aku telah mempelajari setiap celah perbatasan, setiap aliran sungai, setiap jalur pasokan. Aku tidak hanya membaca laporan. Aku hidup dalam strategi.”
Keheningan menyapu ruangan.
“Aku mewarisi darah Vaelthorn,” lanjutnya, suaranya kini meninggi, nyaris bergaung. “Dan jika kalian mengira aku akan duduk diam saat keluargaku dipermalukan, kalian telah melupakan siapa yang membangun pertahanan kerajaan ini sejak awal.”
Satu demi satu, para bangsawan yang semula mencemooh mulai membungkam. Bahkan Serion menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, antara terpesona dan terancam.
Setelah Sidang
Lorong istana sepi saat Aurelia berjalan sendirian, rasa panas masih mengalir di darahnya. Tapi langkahnya mantap. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa tidak hanya memainkan permainan, ia mulai memegang papan catur.
Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar. Serion muncul dari balik pilar, wajahnya tegang.
“Kau…” Ia mendekat, memandangi wajah Aurelia dari dekat. “Sejak kapan kau menyimpan kekuatan itu?”
Aurelia tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, bibirnya mengulas senyum tipis.
“Jika kau menunjukkan itu sejak awal…” Serion menarik napas. “Dewan akan memikirkan ulang posisi mereka. Bahkan aku akan…”
“Bahkan kau akan… apa, Serion?” Aurelia menantang, suaranya lembut namun mengandung bara.
Serion mendekat, sangat dekat. Tangannya menyentuh wajah Aurelia, lembut dan mengejutkan. “Mungkin aku tidak akan mencari pertunangan politik yang lain. Mungkin aku akan memilih untuk tetap berada di sisimu.”
Aurelia mematung. Untuk sesaat, semua amarah dan perhitungannya runtuh. Serion mencium punggung tangannya, perlahan.
“Kau bukan wanita biasa, Aurelia,” bisiknya. “Dan itu membuatmu berbahaya… dan sangat menarik.”
Lalu ia pergi, meninggalkan aroma ambiguitas yang menyengat di udara.
Menjelang Malam – Taman Dalam
Langit mulai berubah ungu ketika Aurelia berdiri di taman dalam, memandang bunga-bunga musim gugur yang layu oleh angin. Caelum mendekat dari kejauhan, diam seperti bayangan.
“Dewan berubah sikap,” katanya pelan. “Kekuatanmu hari ini… mengubah segalanya.”
Aurelia tidak menatapnya. “Tapi Serion juga berubah. Dia mulai melihatku seperti seseorang yang layak disejajarkan… atau dimiliki.”
Caelum diam sejenak, lalu dengan suara rendah, berkata, “Dia akan memandangmu seperti tahtanya. Tapi aku… aku akan selalu berdiri di sisimu, bukan di atasmu.”
Aurelia menoleh, dan untuk sesaat, matanya bersinar samar dalam cahaya senja.
Mungkin ini bukan hanya tentang perang dan mahkota. Tapi tentang siapa yang akan tetap tinggal ketika api dalam dirinya benar-benar menyala.