Bab 10 – Bara dalam Diam

Langit malam menggantung berat di atas menara timur, tempat Aurelia memilih mengasingkan diri sejak siang. Udara dingin menusuk, namun ia tetap berdiri di balkon batu, memandangi ibukota yang kini diliputi bayang-bayang gelap. Cahaya obor jauh di bawah tampak seperti bintang-bintang yang jatuh ke tanah, berkelap-kelip, namun rapuh. Seperti dirinya.

“Putri.”

Suara itu datang tanpa langkah kaki, hanya bisikan dalam bayang-bayang, familiar seperti bisikan hati yang terlalu sering ia abaikan. Caelum.

Aurelia tidak berbalik. “Apakah kau selalu tahu di mana aku berada?”

“Selalu,” jawabnya, suaranya lembut namun dalam. “Terutama saat kau ingin bersembunyi, tapi sebenarnya tak ingin benar-benar sendiri.”

Aurelia menghela napas. “Kau tahu bagaimana mengacaukan pertahananku.”

Diam menyergap mereka, hanya dipecah angin yang lewat di sela-sela menara. Caelum melangkah mendekat, mantel gelapnya berkibar tertiup angin. Ia berdiri tak jauh dari Aurelia, namun cukup dekat hingga ia bisa merasakan kehangatan tubuhnya di tengah udara malam yang membekukan.

“Serion akan segera naik takhta,” ucap Aurelia, nyaris berbisik. “Dan ia menginginkan aliansi politik denganku setelah... membatalkan pertunangan itu.”

Caelum menoleh padanya, ekspresinya tetap datar meski matanya menggelap. “Apa yang kau inginkan darinya?”

“Apakah itu penting?” tanya Aurelia balik, akhirnya menatap pria itu. “Apa aku terlihat seperti wanita yang menggantungkan diri pada siapa yang menawarkanku mahkota?”

“Tentu tidak,” sahut Caelum cepat. “Kau bahkan membuat mahkota tampak tidak berarti dibandingkan keteguhanmu.”

Kata-katanya menggema lebih dari yang seharusnya. Aurelia terdiam, menunduk sesaat, lalu berkata pelan, “Tapi kau juga tahu... aku tak bisa selalu bertarung sendirian.”

Caelum menggeser posisi tubuhnya hingga kini hanya beberapa jengkal darinya. Ia menatap lurus ke dalam matanya. “Kau tidak sendirian, Aurelia. Tidak pernah.”

Untuk pertama kalinya malam itu, Aurelia merasa jiwanya goyah. Bukan karena kelemahan, tapi karena kehangatan itu. Kepercayaan itu. Kesetiaan tanpa syarat yang ia lihat di mata Caelum. Tatapan yang membuat segalanya terasa... lebih mudah untuk dijalani.

“Aku takut,” gumamnya.

Caelum tak berkata apa pun. Ia hanya merentangkan jubahnya, dan dengan lembut menarik Aurelia ke dalam pelukannya. Bahunya kuat, dadanya hangat. Untuk sesaat, Aurelia membiarkan dirinya berhenti berpikir, hanya bersandar dan bernapas.

Dan entah dorongan dari mana, atau ketegangan yang menumpuk terlalu lama, Aurelia mengangkat wajahnya. Matanya mencari milik Caelum. Dan saat ia menemukannya, gelap dan jernih seperti malam yang belum pecah, ia tahu... ini bukan hanya ketertarikan. Ini adalah medan perang.

“Caelum,” bisiknya.

Ia tidak menjawab.

Aurelia bergerak lebih dulu-mendekat, jari-jarinya menyentuh garis rahang Caelum, lalu mencium bibirnya.

Ciuman itu tidak keras atau terburu-buru. Justru perlahan, hati-hati, seperti seseorang yang baru belajar menaruh kepercayaan lagi. Caelum tak bergerak sesaat, terkejut. Tapi kemudian, ia membalasnya-tidak dengan desakan, tapi dengan kehati-hatian yang menyakitkan. Seolah ia takut menghancurkan sesuatu yang rapuh.

Ketika akhirnya mereka berpisah, napas mereka masih terikat dalam satu ritme.

“Kau tak seharusnya melakukan itu,” bisik Caelum, meski ia tetap menggenggam tangan Aurelia.

“Aku tahu,” jawab Aurelia, tak menyesal. “Tapi aku tidak bisa terus pura-pura.”

Caelum memandangnya lama, dan untuk pertama kalinya, Aurelia melihat air di sudut matanya. “Aku akan tetap di sisimu, bahkan jika hatimu bukan milikku.”

Aurelia tak menjawab. Ia hanya menggenggam tangannya lebih erat.

Keesokan harinya, kabar tentang insiden di perbatasan utara tiba, markas pengintai dihancurkan, dan dua komandan loyal pada keluarga Vaelthorn hilang.

Aurelia mengenakan baju zirah ringan berwarna hitam keunguan- perpaduan warna keluarganya dan simbol kekuatan yang kini mulai ia terima sebagai bagian dari dirinya.

Saat ia memasuki ruang perang, Serion telah ada di sana. Ia berdiri membelakangi meja strategi, dan menoleh begitu mendengar langkahnya.

“Engkau tampak... mematikan, Aurelia,” puji Serion dengan senyum miring. “Seolah kau sendiri cukup untuk menggulingkan pasukan musuh.”

Aurelia menatapnya tanpa ekspresi. “Apakah itu sanjungan atau peringatan?”

“Sedikit dari keduanya,” balas Serion. “Aku mengagumimu. Dan itu... berbahaya.”

Mereka berdiri berseberangan, dikelilingi peta dan strategi militer, namun yang lebih terasa adalah ketegangan personal di antara mereka.

Untuk sesaat, waktu berhenti. Aurelia tetap diam, dan Serion, dalam gestur yang penuh kendali, menunduk dan mencium punggung tangannya.

Ciuman itu bukan ciuman mesra, bukan pula yang penuh gairah. Tapi lebih seperti klaim halus, seolah ia mengatakan bahwa ia belum menyerah.

Aurelia menarik tangannya, perlahan. “Jangan mengira aku akan memilihmu hanya karena kau menggugurkan calon istrimu.”

Serion tertawa pelan. “Aku tak pernah berpikir begitu. Aku tahu... kau tak bisa dimenangkan dengan mudah. Tapi itu justru yang membuatmu berharga.”

Dan saat Aurelia keluar dari ruang perang, hatinya masih bergetar. Bukan karena Serion. Tapi karena malam sebelumnya. Karena Caelum.

Dan karena ia tahu, dalam medan perang yang disebut kekuasaan dan cinta, tidak semua luka berasal dari musuh.

Matahari mulai tinggi ketika Aurelia meninggalkan ruang pertemuan. Gaunnya berkibar, namun langkahnya tetap mantap. Ia tidak lagi merasa seperti seorang bidak di papan catur Serion, ia adalah pemain sekarang. Dan dalam dirinya, sesuatu telah terbangun.

Caelum menunggunya di lorong marmer. Tatapan mereka bertemu, dan untuk sejenak, tidak satu pun bicara.

“Kau mendengarnya?” tanya Aurelia akhirnya.

“Semua orang di ruangan itu mendengarnya,” jawab Caelum dengan tenang. “Tapi hanya aku yang benar-benar memahaminya.”

Aurelia tersenyum kecil. “Serion masih berpikir ia bisa memegang tali kekangku. Tapi hari ini aku melihat jelas… bahwa ia takut. Bukan karena aku masih mencintainya. Tapi karena aku mulai mencintai kebebasanku.”

Caelum berjalan bersisian dengannya. “Dan apa yang akan kau lakukan dengan kebebasan itu?”

Aurelia berhenti. Ia mengangkat telapak tangan kanannya, menatapnya seperti benda asing. Angin di lorong mendadak berhenti, dan udara terasa menegang. Dalam sepersekian detik, cahaya tipis menyelimuti telapak tangannya-bukan nyala api, tapi semacam aura merah-keemasan yang memancar dari dalam kulitnya, berdenyut seperti nadi.

Caelum mundur selangkah. “Apa itu?”

Aurelia memejamkan mata, membiarkan energi itu mengalir, lalu menghilang.

“Dulu ibuku bilang darah Vaelthorn tidak pernah benar-benar padam. Ia hanya menunggu alasan untuk menyala kembali. Mungkin ini… saatnya.”

“Apakah ini semacam sihir warisan?”

“Lebih tua dari sihir. Ini adalah kekuatan para penjaga kerajaan terdahulu. Kekuatan yang hanya diwariskan kepada mereka yang menolak tunduk sepenuhnya.”

Caelum terdiam, menatapnya seolah melihat untuk pertama kalinya. “Kau tidak butuh perlindungan dariku.”

Aurelia menoleh, wajahnya tenang. “Tapi aku ingin kau tetap di sisiku.”

Dan untuk sesaat, hanya ada keheningan yang berat dan indah. Tidak ada yang dikatakan, namun banyak yang dimengerti.

Malam harinya, di kediaman sayap barat tempat Aurelia tinggal, suasana berbeda. Tidak ada pengawal, tidak ada pelayan. Hanya kesunyian dan langit malam yang dihiasi bintang.

Caelum berdiri di dekat jendela, menjaga. Aurelia duduk di kursi dekat perapian, rambutnya digelung sederhana dan hanya mengenakan gaun tidur tipis berwarna hitam kebiruan.

“Kau selalu berjaga malam di luar,” katanya.

“Pintu ini adalah batas yang menjaga Anda tetap aman,” jawab Caelum.

Aurelia berdiri dan berjalan perlahan mendekatinya. “Dan jika aku yang membuka pintunya sendiri?”

Caelum menatapnya, sejenak tampak terperangah.

“Aurelia…”

Ia berdiri begitu dekat, hingga napas mereka beradu.

“Aku tak bisa berhenti memikirkanmu,” gumamnya. “Sejak semalam… sejak kau menci-”

“Caelum,” bisiknya, jari telunjuknya menyentuh bibir pria itu. “Apa kau pikir aku butuh untuk… dihibur malam ini?”

Nada suaranya lembut namun mengandung bara. Matanya seperti dua batu safir terbakar.

Caelum menelan ludah. “Kalau itu perintah…”

“Aku tak memberi perintah,” bisiknya di telinga Caelum. “Aku hanya bertanya…”

Dan malam pun menelan mereka, dalam kehangatan yang asing, dalam desir napas yang tertahan, dalam gesekan kulit yang melampaui batas kesetiaan dan kehormatan. Sentuhan mereka bukan sembarang hasrat. Itu adalah pengakuan diam-diam atas luka yang saling mereka pahami-dan keinginan untuk mengobatinya dengan satu-satunya cara yang tersisa: melalui rasa, bukan kata.

Aurelia menarik Caelum ke ranjang tanpa banyak kata, hanya dengan tatapan dan genggaman.

Dan di bawah sinar bulan yang menyelinap di balik tirai, untuk pertama kalinya… mereka membakar batasan.

Keesokan paginya, ketika Aurelia terbangun, kamarnya kosong. Tapi di meja, tergeletak mantel Caelum yang dilipat rapi dan seuntai bunga belati, bunga langka yang hanya tumbuh di tengah hutan penuh duri, yang konon hanya dipetik oleh mereka yang siap terluka demi sesuatu yang tak bisa mereka miliki sepenuhnya.

Aurelia memegang bunga itu dan tersenyum.

“Jadi ini yang kau pilih, Caelum…”

Ia tidak tahu apakah ini awal dari sesuatu yang lebih, atau hanya jeda sebelum kehancuran. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa tidak sendirian menghadapi dunia.

Dan untuk pertama kalinya… kekuatannya bukan satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup.