Bab 11 – Kedatangan Serigala Berbulu Sutra

Lady Verena Althaea: Mantan tunangan Serion yang sebelumnya terlihat pendiam dan penurut, namun ternyata bermuka dua, ambisius, dan manipulatif secara diam-diam.

Lady Cyrene Vortalis: Wanita bangsawan dengan pengaruh besar yang menjadi lawan politik Aurelia.

Lord Thalien Corven: Seorang penasihat dari faksi netral, cerdas dan penuh misteri, berpotensi menjadi sekutu atau musuh tergantung arah permainan politik.

Udara sore menebarkan aroma bunga lavender yang bercampur dengan hawa logam dari perisai dan baju zirah para penjaga istana. Sinar matahari yang menembus kaca patri menciptakan lukisan bayangan di atas marmer putih lorong-lorong kerajaan. Tapi kedamaian itu hanyalah ilusi — seperti kedipan seorang algojo sebelum mengayunkan pedangnya.

Aurelia Vaelthorn berdiri di tangga utama Aula Utama, mengenakan gaun hitam dan emas yang menjuntai seperti kabut malam. Di kedua sisinya berdiri para pengikut barunya — Lady Caliste dari rumah minor Trevain, dan Sir Alaric, mantan pengawal ibundanya yang kini kembali untuk bersumpah setia. Di belakang, Caelum Thorne berdiri dalam diam seperti bayangan yang selalu siap menyelimuti dan melindungi.

Hari ini, istana menyambut kedatangan tiga bangsawan besar yang telah lama absen dari pusat kekuasaan: Lady Verena Althaea, Lady Cyrene Vortalis, dan Lord Thalien Corven. Masing-masing membawa senyum, maksud tersembunyi, dan taring.

“Yang Mulia Putra Mahkota telah mengundang mereka semua?” tanya Aurelia, matanya tak lepas dari koridor yang menjulang menuju gerbang timur.

“Dia ingin menyatukan kembali kekuatan bangsawan tinggi,” jawab Caelum. “Atau memecah mereka satu demi satu.”

Aurelia tersenyum tipis. “Seperti biasa, Serion menyuapi madu untuk menyembunyikan racun.”

Langkah-langkah ringan terdengar mendekat. Seorang pelayan membungkuk rendah. “Lady Verena telah tiba, Yang Mulia.”

Aurelia mengangkat dagu. “Kita lihat, siapa yang lebih pandai bermain peran.”

Lady Verena Althaea masuk seperti melodi yang manis namun menyakitkan. Gaun satin biru muda menghiasi tubuhnya yang ramping, rambut cokelat keemasan disanggul sempurna dengan permata safir yang menggantung di dahi. Wajahnya cantik—terlalu sempurna, seperti boneka porselen yang menyembunyikan retakan di balik kilauannya.

“Yang Mulia,” sapa Verena dengan senyum lemah lembut. Ia menunduk dengan anggun, hampir menyentuh lututnya. “Suatu kehormatan bisa kembali ke istana... meskipun dalam keadaan yang berubah.”

Aurelia menyambutnya dengan senyum. “Verena. Kau tampak... tetap tenang, meski kabar pertunanganmu telah dicabut begitu mendadak.”

Verena mengangkat wajahnya perlahan. Ada kilatan sesuatu di mata kelabunya — bukan kesedihan, tapi rencana. “Karena saya tahu, Yang Mulia, bahwa takdir saya belum selesai di istana ini. Orang-orang yang diam... menyimpan lebih banyak daripada yang ditampakkan.”

Caelum melangkah ke samping Aurelia, ekspresinya netral, tapi waspada.

“Saya harap kau datang bukan hanya untuk meratapi masa lalu,” lanjut Aurelia. “Karena waktuku sangat mahal untuk dihabiskan bersama kenangan usang.”

Verena tersenyum manis. “Saya datang untuk masa depan, Lady Vaelthorn. Dan saya akan berdiri di sisi kekuasaan, siapa pun yang memegangnya.”

Sebelum suasana bisa lebih memanas, pintu utama kembali terbuka.

Lady Cyrene Vortalis masuk tanpa pengawal, hanya diiringi gemerincing perhiasan di leher dan pergelangan tangan. Gaunnya berwarna merah darah, beludru dan berat, seolah ia datang untuk mendominasi ruangan, bukan untuk menjamu.

“Lady Aurelia,” sapa Cyrene tanpa senyum. “Rupanya kabar tentang kembalinya burung gagak ke sarangnya bukan sekadar rumor.”

Aurelia menyambut dengan tatapan dingin. “Dan kabar tentang ular bersisik permata pun ternyata bukan dongeng.”

Lady Cyrene tertawa lirih. “Oh, kau memang belum berubah. Tapi kali ini, kau tak akan mudah menguasai dewan. Banyak dari kami yang masih mengingat... siapa kau dulu.”

Caelum menggenggam gagang pedangnya perlahan. Tapi Aurelia mengangkat satu tangan kecil, menahannya.

“Biarkan ular menggigit angin, Caelum,” katanya pelan.

Setelah semua tamu tiba, perjamuan malam diselenggarakan. Ruang makan kerajaan berkilauan oleh lilin, cawan anggur, dan kilat pandangan licik dari satu bangsawan ke bangsawan lain.

Di sisi kiri meja panjang, duduk Serion — Putra Mahkota dengan mata iblis dan senyum pangeran. Ia mengenakan jubah gelap berbordir perak, dan pandangannya sesekali mencuri ke arah Aurelia... lalu ke Caelum, yang berdiri di belakangnya.

“Sejujurnya,” ucap Serion lantang, mengangkat gelasnya, “aku tak percaya pada perpecahan. Kita semua adalah anak-anak kerajaan yang sama. Apa pun masa lalu kita, kita bisa memilih untuk menyatu... demi masa depan yang lebih kuat.”

Lady Cyrene tertawa kecil. “Kata-kata manis dari seseorang yang memutuskan pertunangan demi perhitungan politik?”

Semua mata menoleh ke Verena. Tapi wanita itu hanya tersenyum dan memutar gelas anggurnya perlahan.

“Keputusan Putra Mahkota... hanya mencerminkan bahwa dia tak ingin terikat pada sesuatu yang rapuh.”

Aurelia memperhatikan semuanya dengan tenang. Tapi dalam hatinya, ia tahu — Serion tidak pernah membiarkan sesuatu berlalu tanpa alasan. Jika ia memutuskan Verena, itu berarti ia menemukan bidak baru yang lebih kuat.

Usai perjamuan, saat malam turun dan pengawal mengantar tamu ke kamar-kamar mereka, Aurelia kembali ke sayap timur. Tapi langkah kakinya terhenti saat mendengar langkah lain di belakangnya.

“Masih terjaga di jam seperti ini?” suara Serion terdengar lembut.

Ia berdiri di ambang jendela lorong, diterangi cahaya bulan. Untuk sesaat, ia tampak seperti pahlawan dalam cerita lama — tinggi, tampan, dan penuh teka-teki.

Aurelia menatapnya, tak tersenyum. “Apa kau datang untuk menjelaskan, atau hanya mempermainkanku seperti dulu?”

Serion berjalan perlahan, mendekat. “Aku datang untuk menawarkan... sesuatu yang baru. Sesuatu yang kau mungkin inginkan.”

“Aliansi?” tanya Aurelia tajam.

“Lebih dari itu. Aku tahu kau tak percaya pada cinta... tapi kekuasaan bersama, Aurelia, bisa jauh lebih intim daripada cinta.”

Ia meraih tangannya. “Bersamaku, kau bisa mengendalikan dewan. Tak ada yang akan menantang kita. Bukan Cyrene. Bukan Verena. Bukan siapa pun.”

Aurelia menarik tangannya perlahan. “Dan Verena?”

Serion menatapnya dalam-dalam. “Verena adalah langkah yang tak perlu. Aku ingin kau... bukan bayangan dari siapa pun.”

Ia membungkuk perlahan, mencium punggung tangan Aurelia — bukan dengan gairah, tapi dengan hormat yang menipu. Sejenak, bahkan Aurelia merasa jantungnya berdetak lebih cepat.

Tapi malam itu tak berakhir di lorong istana. Setelah Serion pergi, Aurelia kembali ke kamarnya. Dan di sana, Caelum menunggunya. Duduk di jendela, masih dalam pakaian tempur, mata itu mengawasinya dari balik bayang.

“Putra Mahkota kembali mendekatimu,” ucap Caelum tanpa emosi.

Aurelia melepas kalungnya. “Dia selalu tahu waktu yang tepat untuk menusuk.”

Caelum berdiri dan berjalan mendekat. “Jika dia menyakitimu—”

Aurelia memotong, menatapnya tajam. “Lalu kau akan membunuhnya?”

Hening. Caelum menunduk sedikit. “Jika kau memintanya.”

Aurelia tertawa pelan. “Loyalitasmu berbahaya, Caelum.”

“Aku tak diciptakan untuk aman,” bisiknya.

Mereka berdiri begitu dekat kini, napas mereka hampir menyatu. Suasana kamar berubah, ketegangan yang dulu hanya berupa bayangan kini menjadi bara yang membakar.

Aurelia menyentuh pipinya. “Apa kau butuh... untuk dihibur, Caelum?”

Caelum menatapnya sejenak — mata keemasan itu tidak bisa menyembunyikan luka, hasrat, dan pengabdian.

Lalu ia menjawab lirih, “Bukan aku yang membutuhkannya.”

Dan saat itu, mereka saling mencium. Bukan ciuman lembut, bukan permainan nafsu — tapi benturan dari dua jiwa yang telah lama terikat namun tak pernah terungkap. Malam menyelimuti mereka... dan untuk sesaat, dunia menjadi bisu.