Tiga hari setelah pertemuan Dewan Tinggi, rumor di istana menyebar lebih cepat dari nyala obor di lorong batu. Para pelayan berbisik, para bangsawan berspekulasi, dan rakyat mulai menyanyikan lagu tentang seorang ratu baru yang akan duduk di sisi takhta.
Aurelia tidak menyangkalnya.
Ia juga tidak mengonfirmasi.
Tapi pagi itu, saat langit masih kelabu, suara genderang dan lonceng istana bergema.
Pernikahan kerajaan diumumkan.
Aurelia Vaelthorn akan menjadi Permaisuri dari Putra Mahkota Serion.
Tidak ada lamaran. Tidak ada pesta pengumuman.
Hanya surat resmi dari Serion yang dibacakan oleh Penjaga Segel Kekaisaran, menyatakan bahwa demi stabilitas kerajaan dan persatuan di tengah ancaman dari utara, ia akan menikahi Lady Vaelthorn dalam upacara tertutup, segera.
Semua berlangsung begitu cepat. Bahkan bagi Aurelia.
Di dalam kamarnya, ia berdiri di depan cermin tinggi, mengenakan gaun putih gading yang tampak lebih seperti jubah eksekusi daripada busana pengantin. Rambutnya digelung rapi, mahkota kecil berwarna perak diletakkan di kepalanya — dingin, berat, dan asing.
Lady Caliste membantu mengancingkan bagian belakang gaunnya. "Kau yakin akan melakukan ini, Yang Mulia?"
Aurelia menatap pantulannya. "Bukan karena aku ingin. Tapi karena aku harus."
Upacara berlangsung di Kuil Tertinggi, di hadapan para tetua, Dewan, dan mata-mata kekuasaan yang tersembunyi.
Serion berdiri dengan jubah kerajaan, matanya tak lepas dari Aurelia saat ia melangkah maju. Ia tampak seperti pangeran dari kisah dongeng — dan Aurelia seperti pengantin dari legenda tragis.
"Demi kerajaan," kata Serion saat mereka saling menggenggam tangan.
"Demi kendali," bisik Aurelia dalam hati.
Ketika pendeta mengikat tangan mereka dengan benang emas, Aurelia merasa seolah hidupnya sendiri sedang diikat pada takdir yang bukan ia pilih.
Caelum tidak hadir.
Tentu tidak.
Ia sudah pergi ke utara. Meninggalkan istana sebelum berita ini diumumkan.
Tapi dalam hati Aurelia, wajahnya tetap tinggal.
Malam pertama sebagai permaisuri tidak dihabiskan dalam pelukan.
Aurelia duduk di kursi dekat jendela, memandangi taman istana yang diterangi cahaya bulan. Serion masuk dengan langkah pelan, mengenakan pakaian dalam santai yang tetap terkesan formal.
"Apakah aku boleh mendekat?" tanyanya.
Aurelia tidak menjawab.
Serion berjalan perlahan, lalu duduk di hadapannya. "Aku tahu kau membenciku. Tapi aku tidak ingin memilikimu dengan paksaan."
Aurelia menoleh. "Kau sudah memiliku. Secara hukum. Secara gelar. Apa lagi yang tersisa?"
"Hatimu," jawab Serion lirih.
Aurelia menatapnya lama. "Aku tidak memberikannya padamu. Dan aku rasa... tidak akan pernah."
Serion menunduk. Lalu ia berdiri, mencium punggung tangannya dengan pelan. "Maka biarlah aku jadi suami yang menunggumu, bukan menuntutmu."
Ia pergi meninggalkannya sendiri.
Beberapa hari setelah pernikahan, Aurelia menghadiri sidang militer bersama para jenderal. Ia mengenakan zirah ringan di atas gaun resminya, tampak seperti ratu sekaligus komandan.
Lord Thalien memperhatikannya dengan pandangan dalam. "Permaisuri yang menunggang kuda perang. Sebuah simbol baru."
Aurelia hanya menoleh singkat. "Biarkan simbol itu cukup kuat untuk menakuti musuh."
Dan ketika laporan dari utara datang — tentang desa-desa yang terbakar, dan lambang tua yang digoreskan di batu kuil kuno — Aurelia tahu:
Waktu untuk menunggu telah selesai.
Ia akan segera bergerak.
Bukan sebagai istri.
Tapi sebagai pemilik takdirnya sendiri.