Suasana di istana kembali tegang setelah perjamuan yang dipenuhi siasat dan senyum palsu. Tapi malam itu, Aurelia duduk di depan meja tulisnya, di sayap timur kediamannya, menatap surat-surat dari perbatasan utara yang ditulis dengan tinta tergesa dan tanda darah.
Di luar, hujan turun ringan. Seolah langit pun enggan berbicara.
“Yang Mulia.”
Caelum muncul di ambang pintu, jubah gelapnya basah oleh hujan. Tapi bukan itu yang membuat Aurelia berdiri dari kursinya — melainkan raut wajahnya yang menegang.
“Apa yang terjadi?”
Caelum menyerahkan gulungan surat. “Pos pengintai di utara... terbakar. Tidak ada yang selamat.”
Aurelia membaca cepat. Dalam huruf-huruf kasar dan tergesa itu, tersembunyi kengerian. Penyerang tidak diketahui, tapi metode mereka... sangat terlatih. Bukan bandit biasa.
“Ini bukan hanya ancaman perbatasan,” gumamnya. “Ini pesan.”
Caelum mendekat. “Dewan akan menyalahkan keluarga Vaelthorn lagi.”
Aurelia mengangguk. “Tentu. Dan mungkin... ini bagian dari permainan mereka.”
Diam sejenak. Kemudian, dengan langkah perlahan, Caelum bergerak lebih dekat. “Aku akan pergi ke utara. Selidiki siapa yang ada di balik ini.”
Aurelia menatapnya. “Sendirian?”
“Tidak akan ada yang bisa tahu aku bergerak atas perintahmu. Dan itu membuatku lebih berguna.”
Ada luka dalam suaranya yang tidak bisa disembunyikan. Bukan karena perang. Tapi karena sesuatu yang belum selesai di antara mereka.
Aurelia berjalan ke arahnya. Jarak mereka hanya sehelai napas. “Kalau kau pergi... dan tidak kembali...”
“Aku akan kembali,” potong Caelum cepat. “Kau belum mengizinkanku mati.”
Senyum kecil muncul di sudut bibir Aurelia. Tapi ia tidak menjawab. Hanya menatapnya lebih lama — seperti ingin mengukir wajahnya dalam ingatan.
Lalu ia berbisik, “Kau tahu aku tak bisa memintamu untuk tetap di sisiku.”
“Tapi aku akan tetap tinggal... jika kau mengatakannya,” jawab Caelum lirih, seperti janji yang menggantung di ujung dunia.
**
Keesokan harinya, kabar menyebar bahwa Serion akan menyelenggarakan sidang tertutup bersama Dewan Tinggi. Aurelia diundang.
Di ruang dewan, Serion duduk dengan tenang di singgasananya. Tatapannya mengunci ke arah Aurelia yang masuk dengan gaun hitam-hijau zamrud — tampak dingin dan anggun seperti racun yang dibalut mahkota.
“Lady Vaelthorn,” ucapnya, nada suaranya manis tapi mengandung bilah tersembunyi, “Kami sedang membahas keamanan wilayah utara.”
Aurelia tidak menjawab. Ia hanya duduk dan melemparkan pandangan menyapu ke seluruh ruangan.
Lady Verena duduk dengan wajah tak berdosa. Lady Cyrene hanya mengangkat alis. Tapi Lord Thalien — penasihat misterius dari faksi netral — menatapnya dengan rasa ingin tahu.
“Aku rasa,” kata Aurelia pelan, “bahwa jika para anggota dewan lebih sibuk mencemaskan reputasi mereka daripada keselamatan perbatasan, maka kerajaan ini sudah mati sejak lama.”
Dewan hening.
“Dan jika kalian pikir aku akan menjadi kambing hitam sekali lagi... kalian salah.”
Serion bersandar, mengamati. “Apa yang kau usulkan?”
“Aku akan memimpin pasukan ke utara. Sendiri.”
Suara bisik-bisik pecah. Beberapa terkejut. Beberapa marah. Beberapa — terutama Serion — terdiam terlalu lama.
“Aku tidak akan membiarkanmu mempertaruhkan nyawamu,” katanya akhirnya, suara lebih pribadi dari yang seharusnya.
Aurelia menatapnya. “Nyawaku telah lama jadi taruhan. Setidaknya kali ini... aku sendiri yang memilih.”
**
Malam itu, saat hujan kembali turun, Serion menghampirinya di koridor yang sepi. Tak ada penjaga. Hanya mereka dan bayangan panjang yang dilemparkan oleh api obor.
“Kau sengaja memprovokasi mereka,” ucap Serion tanpa nada amarah.
“Dan kau sengaja tidak menghentikanku,” balas Aurelia.
Mereka saling diam. Hingga akhirnya, Serion berkata, “Apa yang harus kulakukan agar kau mempercayaiku, Aurelia?”
Aurelia mendekat. “Kau tak bisa membeli kepercayaanku.”
“Tapi... bisa kah aku memenangkan hatimu?”
Pertanyaan itu menggantung. Lalu Serion mencium keningnya — perlahan, tulus, tapi terlampau penuh harap.
Aurelia tidak mundur. Tapi ia juga tidak membalas.
**
Di kamarnya, Aurelia menulis surat.
Kepada Caelum.
Kalau kau membaca ini... berarti aku memutuskan untuk menghadapi mereka lebih dulu. Jangan cari aku. Tapi kalau kau datang... aku akan menunggumu.
Ia melipat surat itu dan menyimpannya. Angin dari jendela malam menerbangkan helaian rambutnya, dan untuk sesaat... ia tampak seperti dewi perang yang tengah menunggu badai.
Karena itulah dia sekarang.
Dan badai itu... sudah semakin dekat.