Bab 13: Jejak dalam Kabut

Kabut pagi menggantung tebal di pelataran utara Istana Eirenthal, menyelimuti bangunan batu yang dingin dan lorong-lorong sunyi dengan kelembapan menggigit. Langkah-langkah Aurelia menggema pelan di atas marmer, gaun perjalanan berwarna gelap berkilau redup oleh cahaya obor. Hari ini, ia tak berjalan di belakang siapa pun. Hari ini, ia yang memimpin.

Di belakangnya, Caelum berjalan dalam diam, jubah dan zirahnya telah berganti dengan warna abu-tua khas pengawal bayangan. Di sisi lain, Sir Alaric dan Lady Caliste mengikuti dengan waspada. Mereka menuju gerbang istana yang akan membawanya ke wilayah utara — ke reruntuhan Pos Orinhal yang baru saja diserang secara misterius semalam.

"Serangan ini terlalu rapi untuk disebut pemberontakan biasa," gumam Aurelia, lebih kepada dirinya sendiri.

Caelum mengangguk. "Atau terlalu tepat waktunya. Setelah kau menunjukkan kekuatanmu di sidang, setelah dewan mulai bergeser... musuh kita merasa perlu mengacaukan gambaran."

Mereka menaiki kereta kecil yang sederhana — tidak mencolok, namun cukup cepat. Sepanjang perjalanan menuju Orinhal, hutan-hutan menjulang dengan kesenyapan yang aneh. Tak ada burung, tak ada suara ranting. Hanya kesunyian yang menekan dada.

Saat tiba di lokasi, yang mereka temukan bukan hanya puing-puing dan sisa-sisa asap, tapi juga simbol misterius tergurat di tanah — lambang kuno yang bahkan Caliste tampak enggan menyentuhnya.

"Ini bukan dari kerajaan manapun di peta sekarang," ucap Lady Caliste pelan. "Ini lebih tua. Aku pernah melihatnya dalam kitab-kitab terlarang dari perpustakaan ibuku."

Aurelia berlutut, menyentuh debu simbol itu dengan jemarinya. Saat kulitnya menyentuh tanah, kilatan cahaya merah keemasan menyentak dari dalam dirinya. Caelum sontak maju, mencabut pedangnya. Tapi tidak ada serangan. Hanya gema... bisikan asing dalam bahasa yang tidak dikenalnya.

"Apa yang terjadi padamu?" tanya Caelum cepat.

"Sesuatu di sini... memanggil darahku," bisik Aurelia. "Seolah... aku pernah ke sini. Atau... seolah darahku pernah menjadi bagian dari tempat ini."

Sir Alaric melangkah pelan, menemukan secarik kain robek bersimbah darah di semak. "Ini milik salah satu penjaga Orinhal. Tapi yang aneh... tidak ada mayat ditemukan. Seolah mereka dibawa."

"Atau diserap oleh sesuatu," sahut Caliste lirih.

Kegelapan mulai turun saat mereka berkemas meninggalkan lokasi. Namun saat mereka hendak naik ke kereta, seekor burung hitam mendarat di atapnya — membawa surat bersegel ungu gelap.

Aurelia membuka surat itu perlahan. Isinya hanya satu kalimat:

"Kau bukan satu-satunya pewaris darah lama, Lady Vaelthorn. Dan kami... telah terbangun."

Tangannya mengepal.

"Apa itu... ancaman?" tanya Caelum.

"Bukan," jawab Aurelia dengan suara dingin. "Itu undangan."