Gelombang dari Paviliun Teratai
Saat Ye Zhuxian dengan tenang menjelaskan tentang kue osmanthus di tangannya kepada keluarganya yang lega, sesuatu yang luar biasa sedang terjadi di bagian utara istana kekaisaran. Pencerahan Ye Yaoyue bukanlah peristiwa yang sunyi. Setelah terdiam selama lima puluh tahun, tingkat kultivasinya yang telah mencapai puncak tertinggi di alam bawah kini menerobos belenggunya.
Fenomena pertama adalah mekarnya teratai giok raksasa di tengah danau, yang cahayanya menembus kabut malam. Namun itu hanyalah awal. Beberapa saat kemudian, energi spiritual (Qi) dari seluruh penjuru ibu kota kekaisaran mulai bergerak. Awalnya perlahan seperti embusan angin, lalu semakin cepat seperti sungai yang deras, semuanya mengalir menuju satu titik: Paviliun Teratai. Di atas paviliun itu, Qi yang tak terhingga banyaknya mulai berputar, membentuk pusaran raksasa berwarna kehijauan yang bisa dilihat dari jarak puluhan kilometer. Langit malam yang tadinya gelap kini diterangi oleh cahaya lembut yang memancar dari pusaran energi tersebut.
Fenomena agung ini seketika mengguncang semua ahli tingkat tinggi di Kekaisaran Qingyuan.
Di kediaman Pangeran Pertama, Ye Changxuan, yang sedang bermeditasi, tiba-tiba membuka matanya, ekspresi tenangnya pecah oleh keterkejutan. Di lapangan latihan pribadi, Ye Qingwu, yang baru saja menyelesaikan seribu ayunan pedang, menjatuhkan pedangnya dan menatap ke arah utara dengan mulut ternganga. Di seluruh penjuru istana, para tetua dan komandan penjaga yang sedang beristirahat atau berlatih, semuanya serempak menghentikan aktivitas mereka. Mereka semua merasakan tekanan spiritual yang familier namun jauh lebih dahsyat dari sebelumnya, sebuah aura yang menekan jiwa mereka dengan lembut namun tak terbantahkan.
“Aura ini…,” gumam Ye Qingwu tak percaya. “Ini adalah aura Bibi Yaoyue!”
“Dia… dia menerobos?” bisik seorang tetua di paviliunnya sendiri.
Di tepi danau utara, di tengah keluarganya yang cemas, Ye Tiantong adalah orang yang merasakan perubahan itu dengan paling jelas. Sebagai Kaisar Keenam, tingkat kultivasinya adalah yang tertinggi di antara semua orang yang hadir. Saat pusaran energi itu terbentuk, matanya yang tadinya fokus pada cicitnya kini melebar karena syok. Ia berbalik dan menatap ke arah paviliun putrinya dengan napas tertahan. Kebanggaan, kebingungan, dan keterkejutan total berperang di dalam dirinya.
“Ayah Kaisar, apa yang terjadi?” tanya Ye Changhai, merasakan getaran aneh di udara.
Namun, Ye Tiantong tidak menjawab. Pikirannya berpacu lebih cepat dari badai petir. Yaoyue… putriku terjebak di puncak ranah ‘Nascent Soul’ selama lima puluh tahun. Kami sudah mencoba segalanya. Pil surgawi, naskah kuno, bahkan ritual pemurnian jiwa. Tidak ada yang berhasil. Dan hari ini… di hari satu-satunya Xian’er mengunjunginya… dia menerobos?
Ia menoleh kembali ke arah cicitnya. Zhuxian tampak sedikit bingung dengan keributan di sekitarnya. Ibunya masih memeluknya erat, memeriksa apakah ada yang kurang dari anaknya. Ayahnya, Ye Qingxuan, mencoba menenangkannya sambil sesekali melirik cemas ke arah fenomena langit.
“Xian’er,” kata Ye Qingxuan dengan suara lembut namun tegas. “Katakan pada ayah, apa sebenarnya yang terjadi di dalam paviliun? Apa yang kau dan Bibi Buyutmu bicarakan?”
Zhuxian menatap ayahnya, lalu pada pusaran cahaya di kejauhan. “Tidak ada yang aneh. Kami hanya minum teh dan mengobrol. Bibi Buyut bertanya tentang hariku, dan aku bertanya tentang lukisannya.” Ia mengangkat piring kecil di tangannya dengan bangga. “Lalu beliau bilang sudah lama tidak membuat kue, jadi beliau mengajariku cara membuat kue osmanthus ini. Katanya ini kue kesukaan nenek buyut.”
Jawaban itu.
Jawaban yang begitu polos, begitu normal, begitu… biasa.
Jawaban itu, ketika disandingkan dengan fenomena yang sedang mengguncang seluruh ibu kota, menjadi hal yang paling tidak masuk akal di dunia.
Ye Tiantong menatap dalam-dalam ke mata cicitnya yang jernih, lalu kembali menatap pusaran energi yang dahsyat itu. Sebuah pemahaman yang mustahil namun tak terhindarkan mulai terbentuk di benaknya. Ini bukan kebetulan. Sama sekali bukan. Putrinya tidak menerobos karena sebuah pencerahan yang datang tiba-tiba. Pencerahan itu datang setelah ia bertemu dengan anak ini.
Anak ini… Xian’er… telah melakukan sesuatu. Sesuatu yang bahkan ia sendiri mungkin tidak sadari. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika kultivasi mana pun. Dia tidak memberinya pil, tidak memberinya teknik. Dia hanya berbicara dengannya, dan itu cukup untuk memecahkan belenggu yang telah mengikat seorang jenius selama setengah abad.
Kaisar Keenam itu merasakan hawa dingin menjalari punggungnya, bukan karena takut, melainkan karena rasa takjub yang luar biasa. Selama ini, mereka semua salah. Mereka sibuk mengkhawatirkan ‘kelemahan’ Zhuxian, sibuk memperdebatkan sumber daya, sibuk mencoba mengisi sebuah ‘wadah kosong’. Mereka tidak pernah menyadari bahwa mereka tidak sedang berhadapan dengan wadah kosong. Mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang lain sama sekali. Sesuatu yang keberadaannya saja sudah cukup untuk memengaruhi hukum alam di sekitarnya.
“Cukup,” kata Ye Tiantong akhirnya, suaranya kembali tenang namun kali ini mengandung bobot yang berbeda. Seluruh keluarga menoleh padanya.
“Bawa Xian’er kembali ke paviliunnya. Biarkan dia beristirahat,” perintahnya kepada semua orang. “Dan kejadian hari ini… baik hilangnya Xian’er maupun fenomena di utara… tidak boleh ada yang membahasnya lebih lanjut di luar lingkaran keluarga. Anggap tidak pernah terjadi apa-apa.”
Meskipun bingung, semuanya mengangguk patuh. Ye Qingxuan mengangkat putranya ke dalam pelukannya, dan bersama istrinya, mereka berjalan pergi, meninggalkan sang kaisar yang berdiri sendirian di tepi danau.
Ye Tiantong tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana untuk waktu yang lama, menatap cahaya surgawi dari paviliun putrinya yang perlahan mulai mereda, diserap kembali ke dalam tubuh sang pertapa. Beban kekhawatiran yang selama ini ia rasakan untuk masa depan kekaisaran tidak hilang, tetapi kini bentuknya telah berubah.