Bisikan dari Paviliun Teratai

Bisikan dari Paviliun Teratai

Satu minggu telah berlalu sejak rapat dewan yang mengubah segalanya. Keputusan Ye Zhuxian telah resmi dijalankan. Aliran sumber daya kultivasi premium yang tadinya mengalir tanpa henti ke paviliunnya kini dialihkan. Sepupu-sepupunya, terutama Lu Zhiqin, memulai jadwal latihan yang jauh lebih intens di bawah pengawasan ketat Ye Qingwu. Istana kekaisaran sibuk dengan energi baru, sebuah semangat kompetitif yang sehat mulai tumbuh di antara generasi muda.

Di tengah semua itu, Zhuxian sendiri menemukan lebih banyak waktu luang. Ia menghabiskannya di perpustakaan kuno, bukan untuk mencari teknik, tetapi untuk memahami sejarah dan dunia di sekitarnya. Namun, semakin banyak ia membaca, semakin ia merasa ada sebuah potongan puzzle penting yang hilang. Potongan puzzle tentang dirinya sendiri. Keputusannya di aula dewan adalah sebuah strategi, sebuah langkah pembuka di papan Weiqi yang besar, tetapi ia masih belum tahu bagaimana cara menggerakkan bidak utamanya: kekuatan yang tertidur di dalam dirinya.

Suatu pagi, saat ia sedang berjalan-jalan di taman bagian dalam, ia tanpa sengaja mendengar dua pelayan senior berbisik di balik sebuah rumpun bambu spiritual.

“Kau dengar? Energi dari Paviliun Teratai terasa lebih kuat pagi ini. Mungkin Nona Sulung sedang dalam suasana hati yang baik.”

“Ssst! Jangan bicara sembarangan! Nona Sulung Ye Yaoyue tidak suka diganggu. Bahkan Tuan Besar Changxuan pun tidak akan berani mendekat tanpa diundang. Konon tingkat kultivasinya sudah melampaui imajinasi kita.”

Ye Yaoyue. Bibi Buyutnya. Putri satu-satunya Kaisar Keenam, Ye Tiantong. Sebuah nama yang jarang sekali disebut. Ia seperti legenda hidup di dalam istana; semua orang tahu ia ada, tetapi hampir tidak ada yang pernah melihatnya. Dikatakan bahwa ia mengabdikan seluruh hidupnya pada Dao, tidak pernah menikah, dan tinggal seorang diri di paviliun paling terpencil di seluruh kompleks istana.

Zhuxian saat itu mengubah arah langkahnya. Ia tidak meminta izin siapa pun. Ia hanya mengikuti instingnya, berjalan menuju bagian paling utara dari istana, area yang jarang dikunjungi dan ditumbuhi pepohonan kuno yang rimbun. Semakin jauh ia berjalan, semakin sepi suasananya. Udara menjadi lebih sejuk dan lembap, dan energi spiritual di sekitarnya terasa lebih murni dan padat.

Setelah berjalan hampir setengah jam, ia tiba di tepi sebuah danau yang sangat luas. Danau itu diselimuti kabut tipis, dan permukaannya dipenuhi oleh ribuan bunga teratai berwarna giok yang mekar sempurna, masing-masing mengeluarkan cahaya redup. Di tengah danau itu, seolah melayang di atas air, berdirilah sebuah paviliun kayu yang sederhana namun elegan. Itulah Paviliun Teratai.

Tidak ada jembatan. Tidak ada perahu. Hanya ada jalan setapak batu kecil yang berhenti di tepi danau. Zhuxian berdiri di sana, menatap paviliun yang tampak seperti mimpi itu. Ia lalu menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk dalam-dalam.

“Cicitmu, Ye Zhuxian, datang berkunjung. Mohon izin untuk bertemu, Bibi Buyut Yaoyue.”

Suaranya yang kecil seolah terserap oleh kabut. Selama beberapa saat, tidak ada jawaban. Tepat ketika Zhuxian berpikir untuk mencoba lagi, sebuah kelopak teratai dari danau melayang ke arahnya, berhenti tepat di depan kakinya. Saat ia menatap kelopak itu, pemandangan di depannya beriak, dan tiba-tiba sebuah jembatan cahaya terbentuk dari tepi danau hingga ke pintu paviliun.

Tanpa ragu, Zhuxian melangkah ke atas jembatan cahaya itu. Saat ia tiba di depan pintu paviliun, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Di dalam, ia tidak menemukan dekorasi mewah, hanya ada rak-rak berisi gulungan bambu, sebuah meja rendah untuk minum teh, dan aroma bunga teratai yang sangat menenangkan. Di tengah ruangan, seorang wanita sedang duduk membelakanginya, dengan tenang melukis kaligrafi di atas selembar kertas sutra.

Wanita itu mengenakan jubah putih polos. Rambut hitamnya yang panjang tergerai bebas, tidak dihiasi apa pun, namun tampak berkilau seperti langit malam. Meskipun Zhuxian tahu usianya sudah sangat tua, punggung dan aura wanita itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda penuaan.

“Kau punya nyali juga, datang ke sini tanpa diundang,” kata wanita itu, suaranya jernih seperti air danau di luar. Ia masih belum berbalik. “Anak-anak lain bahkan tidak berani berpikir untuk mendekati paviliunku.”

“Maafkan kelancangan saya, Bibi Buyut,” jawab Zhuxian dengan hormat.

Ye Yaoyue akhirnya meletakkan kuasnya dan berbalik. Zhuxian sedikit terkejut. Wajah bibi buyutnya tampak energik, seperti seorang wanita paruh baya. Matanya jernih, namun menyimpan kedalaman lautan bintang yang tak terhingga. Ada seulas senyum tipis di wajahnya, senyum seseorang yang melihat dunia dengan cara yang berbeda.

“Jadi, Kaisar Ketujuh yang kecil akhirnya datang mencariku,” katanya, matanya seolah menembus semua rahasia di hati Zhuxian. “Katakan padaku, apa yang kau cari di sarang pertapa tua ini? Kau tidak akan menemukan teknik kultivasi atau pil spiritual di sini.”

“Saya tidak mencari itu,” jawab Zhuxian jujur. “Saya hanya ingin mencari pemahaman. Bibi Buyut. Mohon Bibi Buyut memberikan bimbingan”

Ia menatap anak itu secara mendalam. Ye Yaoyue tertawa kecil, tawa yang merdu seperti lonceng angin. Ia memberi isyarat agar Zhuxian duduk di hadapannya. “Hahaha, baiklah, kulihat kau jauh lebih cerdas dibanding ayah dan paman pamanmu diumur yang muda. Kemari, duduklah.”

---

Pagi itu, istana kekaisaran terasa sedikit lebih lengang bagi Ye Lingxi. Biasanya, setelah sarapan, ia akan berlari ke paviliun kakaknya untuk mengajaknya bermain. Tetapi hari ini, paviliun itu kosong. Tempat tidur rapi, meja belajar bersih, tidak ada tanda-tanda keberadaan Ye Zhuxian.

“Kakak An pergi kemana?” tanyanya pada pelayan pribadi kakaknya, Yu Lin. Yu Lin hanya bisa menggeleng cemas. “Saya juga tidak tahu, Nona. Sejak fajar, Tuan Muda sudah tidak terlihat.”

Pencarian pun dimulai. Awalnya hanya pencarian kecil-kecilan oleh para pelayan dan adik-adiknya. Mereka menyisir taman bunga persik dan paviliun tepi kolam koi, tempat-tempat favorit Zhuxian. Namun hingga matahari meninggi, Zhuxian tak kunjung ditemukan. Berita hilangnya dia akhirnya sampai ke telinga orang tuanya. Ye Qingxuan dan istrinya segera memerintahkan pengawal istana untuk melakukan pencarian yang lebih luas, wajah mereka yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekhawatiran.

Menjelang sore, kepanikan mulai menyebar. Seluruh kompleks istana utama telah diperiksa, setiap sudut dan lorong telah ditelusuri. Lu Zhiqin dan para sepupu yang lebih tua ikut membantu, menyebar ke area latihan dan perpustakaan, namun hasilnya nihil. Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Kaisar Keenam, Ye Tiantong. Ia segera menghentikan rapat kenegaraannya, raut wajahnya mengeras.

“Seluruh istana sudah dicari?” tanyanya pada komandan pengawal.

“Sudah, Yang Mulia. Setiap jengkal tanah, kecuali…” sang komandan ragu-ragu.

“Kecuali apa?” desak Ye Tiantong.

“Kecuali… area Paviliun Teratai di danau utara, kediaman Nona Sulung Ye Yaoyue.”

Seluruh pejabat yang hadir terdiam. Paviliun Teratai adalah tempat keramat. Tidak ada yang berani mendekat tanpa izin, kecuali sang Kaisar. Mungkinkah anak sekecil itu berjalan sejauh itu dan memasuki tempat pertapaan paling misterius di kekaisaran?

Sementara seluruh istana dilanda kekhawatiran, di tengah danau yang diselimuti kabut, sebuah percakapan yang tenang telah berlangsung selama berjam-jam.

Ye Zhuxian duduk bersila di atas bantal di depan meja, berhadapan dengan seorang wanita yang memancarkan aura keanggunan klasik. Ye Yaoyue tidak tampak seperti gadis muda. Ia adalah seorang wanita paruh baya yang cantik, dengan beberapa helai uban perak yang justru menambah pesona bijaksananya. Matanya jernih seperti air danau, namun menyimpan kedalaman pengalaman selama ratusan tahun. Saat ini, ia sedang menatap keponakan buyutnya dengan tatapan penuh selidik.

“Jadi, kau melepaskan semua sumber dayamu,” kata Ye Yaoyue setelah mendengar cerita Zhuxian. “Sebuah langkah yang berani, atau bodoh. Aku belum bisa memutuskannya.”

“Saya hanya melakukan apa yang harus dilakukan, Bibi Buyut,” jawab Zhuxian tenang.

“Dan sekarang kau datang kemari,” lanjut Ye Yaoyue sambil menuangkan teh yang aromanya menenangkan jiwa. “Mencari jawaban atas kondisimu? Aku harus mengecewakanmu, Xian’er. Aku telah mengamati garis keturunan kita selama dua ratus tahun. Aku belum pernah melihat kasus sepertimu. Tubuh yang menelan semua energi dari luar, memiliki jiwa yang begitu… matang, Tapi tidak meningkatkan ranah sedikitpun. Aku tidak tahu apa masalahmu.”

Zhuxian tidak tampak kecewa. Ia hanya mengangguk. “Saya juga tidak mengerti tubuh saya. Tapi mungkin, bukan itu yang perlu saya pahami sekarang. Yang saya coba pahami adalah… jalan itu sendiri. Bibi Buyut telah berkultivasi begitu lama. Apa yang Bibi Buyut kejar dalam kultivasi?”

Pertanyaan itu membuat Ye Yaoyue tertegun. Belum pernah ada yang menanyakan hal itu padanya. “Tentu saja untuk mencapai Dao. Melampaui batas fana dan menyentuh keabadian.”

“Apa itu Dao?” tanya Zhuxian lagi, matanya yang polos menatap lurus.

“Dao adalah… segalanya. Aliran energi alam semesta, hukum sebab-akibat, keseimbangan antara ada dan tiada…” Ye Yaoyue berhenti, alisnya sedikit berkerut. “Selama lima puluh tahun terakhir, aku terjebak di satu titik. Aku mencoba memahami konsep ‘ketiadaan’ untuk bisa menerobos ke ranah selanjutnya. Tapi semakin keras aku mencoba untuk memahami dan meraihnya, ‘ketiadaan’ itu justru terasa semakin jauh. Keinginanku untuk memahaminya justru menciptakan ‘keberadaan’ yang menghalangi jalanku.”

Zhuxian memiringkan kepalanya. “Kenapa ‘ketiadaan’ harus dipahami, Bibi Buyut?” tanyanya, dengan wajah yang polos sambil menaruhnya diatas meja, memandang ke Bibi Buyutnya.

Pertanyaan sederhana itu menghantam kesadaran Ye Yaoyue seperti palu godam.

“Saat saya melihat danau di luar,” lanjut Zhuxian, menunjuk ke arah jendela, “saya tidak mencoba memahami danau itu. Saya hanya melihatnya. Danau ada di sana, dan saya ada di sini. Saat saya merasakan angin, saya tidak mencoba menangkapnya. Saya hanya membiarkannya lewat. Angin ada di sana, dan saya di sini. Bukankah ‘ketiadaan’ juga sama? Mungkin ia tidak perlu dipahami atau diraih. Mungkin ia hanya perlu disadari bahwa ia ada di sana, dan kita di sini, sebagai bagian yang terpisah darinya.”

Hening.

Ye Yaoyue terpaku di tempatnya. Kuas yang ia pegang jatuh ke atas meja, menorehkan noda tinta hitam. Selama lima puluh tahun, ia, seorang jenius tiada tara, mencoba menaklukkan sebuah konsep dengan kekuatan dan niat. Dan kini, seorang anak berusia lima tahun, yang bahkan tidak bisa berkultivasi, memberinya jawaban hanya dengan pengamatan polos.

Berhenti mencoba. Berhenti meraih. Cukup sadari.

Itulah kuncinya. Niatnya untuk ‘memahami’ adalah penghalang terbesarnya selama ini.

Ye Yaoyue menutup matanya, dan untuk pertama kalinya dalam lima dekade, ia tidak mencoba merasakan apa pun. Ia hanya ‘ada’. Dan di dalam keheningan itu, ia bisa merasakan ‘ketiadaan’ yang selama ini ia kejar, hadir di sekelilingnya seperti udara yang ia hirup.

Ia membuka matanya kembali, menatap Zhuxian dengan cara yang sama sekali berbeda. “ Xian’er…” bisiknya dengan suara bergetar. Ia kemudian tersenyum tulus, senyum hangat yang mungkin belum pernah ia tunjukkan selama seratus tahun. “Kau pasti lapar setelah berjalan sejauh ini. Tunggu di sini. Biarkan Bibi Buyut membuatkanmu sesuatu.”

Dan untuk beberapa jam berikutnya, mereka tidak lagi berbicara tentang Dao. Ye Yaoyue dengan sabar mengajari Zhuxian cara membuat kue osmanthus, sebuah kue klasik yang resepnya ia pelajari dari ibunya sendiri. Mereka menghabiskan sore itu dengan tawa kecil dan aroma manis yang memenuhi paviliun.

Hampir tengah malam ketika Zhuxian akhirnya pamit. Jembatan cahaya kembali terbentuk, dan ia berjalan keluar dari paviliun itu, dengan hati-hati memegang sepiring kecil kue osmanthus yang masih hangat, dibungkus dengan daun teratai.

Di tepi danau, ia disambut oleh pemandangan seluruh keluarganya yang menunggunya dengan cemas. Ibunya, Mu Yuelan, langsung berlari dan memeluknya erat.

“Xian’er! Kau kemana saja? Kami semua mengkhawatirkanmu!”

Zhuxian hanya tersenyum menenangkan. “Aku mengunjungi Bibi Buyut Yaoyue. Beliau membuatkanku kue.”

Saat semua orang menghela napas lega, tidak ada yang menyadari apa yang terjadi di paviliun di tengah danau. Di dalam, Ye Yaoyue duduk bersila. Aura di sekelilingnya bergejolak dahsyat. Energi spiritual dari seluruh danau tersedot ke arahnya, membentuk pusaran raksasa. Di luar, salah satu kuncup teratai giok yang paling besar tiba-tiba mekar dengan sempurna, memancarkan cahaya surgawi yang menembus kabut malam.

Di tengah pencerahannya, Ye Yaoyue tersenyum. ‘Anak itu… dia bukanlah botol yang kosong. Dia adalah danau itu sendiri.’