Dua Jalan, Satu Tujuan
Beberapa hari telah berlalu sejak keputusan mengejutkan itu dibuat di Aula Dewan Klan Ye. Kabar bahwa Tuan Muda Zhuxian dengan sukarela melepaskan semua sumber daya kultivasinya menyebar seperti api di seluruh wilayah. Para pelayan berbisik dengan nada sedih, para pejabat meratap dalam hati atas pengorbanan sang pewaris, dan suasana di antara generasi muda klan menjadi canggung dan rumit. Mereka yang berbakat kini merasa terbebani oleh tanggung jawab baru, sementara yang lain menatap Zhuxian dengan campuran rasa kasihan dan kekaguman yang dalam.
Namun, pusat dari semua perhatian itu, Ye Zhuxian sendiri, tampak sama sekali tidak terpengaruh. Pagi itu, ia ditemukan sedang duduk seorang diri di tepi paviliun teratai yang menghadap ke kolam koi raksasa di taman belakang. Dengan segenggam pakan ikan di tangannya, ia dengan sabar melemparkan satu per satu pelet ke dalam air, senyum tipis terukir di wajahnya saat ikan-ikan koi berwarna-warni berebut makanan. Tidak ada jejak kesedihan atau penyesalan dalam dirinya; yang ada hanyalah ketenangan yang seolah tak tersentuh oleh badai apa pun.
Sebuah bayangan menutupi sinar matahari di sampingnya. Zhuxian tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Langkah kaki yang mantap, nyaris tanpa suara, dan aura tajam yang terkendali adalah ciri khas sepupunya, Lu Zhiqin.
“Mereka semua membicarakanmu,” kata Lu Zhiqin tanpa basa-basi. Ia berdiri tegak di samping paviliun, jubah latihannya yang berwarna biru tua berkibar sedikit ditiup angin.
Zhuxian melemparkan pelet terakhir dan menepuk-nepuk tangannya yang bersih. “Biarkan saja mereka berbicara, Kakak Zhiqin. Bukankah itu yang biasanya orang lakukan saat mereka tidak mengerti?” jawabnya santai, akhirnya menoleh untuk menatap sepupunya.
Lu Zhiqin memiliki perawakan yang tegap untuk anak berusia tujuh tahun. Matanya tajam seperti elang, hasil dari latihan pedang tanpa henti di bawah bimbingan Ye Qingwu. Saat ini, mata tajam itu menatap Zhuxian dengan ekspresi yang sangat serius dan sedikit terganggu.
“Xiaoxian, aku tidak setuju dengan keputusanmu di aula dewan,” kata Zhiqin langsung ke intinya.
Zhuxian hanya tersenyum. “Kenapa tidak? Bukankah ini bagus untukmu? Aku dengar Kakek Kaisar sudah menyetujui permintaan Paman Besar Qingwu untuk memberimu akses ke Kolam Esensi Naga bulan depan. Kemajuanmu pasti akan meroket.”
“Justru karena itu!” balas Zhiqin cepat, nadanya sedikit meninggi. “Itu adalah hakmu sebagai pewaris utama! Aku berlatih pedang setiap hari untuk menjadi lebih kuat dengan usahaku sendiri, bukan untuk mengambil hak milik orang lain. Kehormatan seorang pendekar pedang tidak mengizinkanku menerima ‘hadiah’ seperti ini, apalagi hadiah yang berasal dari pengorbananmu.”
Mendengar ketulusan dalam suara sepupunya, senyum Zhuxian menjadi lebih lembut. Ia bangkit dan berjalan mendekat, menatap lurus ke mata Zhiqin yang penuh prinsip. “Kakak Zhiqin, kau salah paham. Aku tidak memberimu hadiah, dan aku juga tidak berkorban.”
Zhiqin mengerutkan kening, tidak mengerti.
“Coba pikirkan seperti ini,” kata Zhuxian, suaranya tenang dan penuh logika. “Anggap saja klan kita adalah sebuah pasukan besar yang bersiap untuk perang. Aku, karena takdir, adalah jenderalnya. Dan kau, bersama sepupu-sepupu kita yang lain, adalah para prajurit terkuat. Sekarang katakan padaku, apakah seorang jenderal yang bijak akan menimbun semua senjata dan baju zirah terbaik untuk dirinya sendiri, meskipun ia tahu ia tidak bisa menggunakannya secara efektif di medan perang? Atau apakah ia akan mendistribusikannya kepada para prajurit terbaiknya, memastikan mereka memiliki semua yang mereka butuhkan untuk memenangkan pertempuran?”
Analogi itu membuat Zhiqin terdiam.
“Aku tidak menyerahkan hakku,” lanjut Zhuxian. “Aku sedang menginvestasikan asetku di tempat yang paling menguntungkan. Aku berinvestasi padamu, pada Kakak Mingyun, pada Kakak Lingran, dan pada semua talenta klan kita dan di wilayah ini. Kekuatanmu nantinya akan menjadi kekuatanku. Kekuatan kalian semua akan menjadi perisai yang tak tertembus untuk klan kita. Ini bukan pengorbanan, Kakak Zhiqin. Ini adalah strategi.”
Zhuxian menepuk pelan lengan sepupunya. “Aku mungkin belum bisa mengayunkan pedang sepertimu. Tapi aku bisa melihat seluruh papan catur. Dan di papan catur ini, aku membutuhkanmu untuk menjadi bidak terkuatku. Aku butuh pedangmu di masa depan, Kakak Zhiqin. Aku butuh kau menjadi sangat kuat, lebih kuat dari siapa pun, sehingga saat aku memberi perintah, tidak ada yang bisa menghalangi jalanmu.”
Kata-kata itu, yang diucapkan dengan keyakinan penuh oleh seorang anak berusia lima tahun, membuat Lu Zhiqin merasakan getaran di dalam hatinya. Ia menatap dalam-dalam ke mata Zhuxian. Ia tidak lagi melihat seorang sepupu yang ‘lemah’ dan patut dikasihani. Ia melihat seorang pemimpin sejati. Seorang ahli strategi yang berpikir jauh ke depan, yang mampu mengubah kelemahannya sendiri menjadi kekuatan terbesar bagi klannya.
Rasa hormat yang tulus, untuk pertama kalinya, muncul di hati Zhiqin untuk sepupu yang lebih muda darinya ini. Ia akhirnya mengerti. Ini bukan tentang mengambil hak, ini tentang menerima tanggung jawab.
Setelah hening yang panjang, Lu Zhiqin akhirnya menghela napas, melepaskan semua keraguan dan konflik di dalam dirinya. Ia menatap Zhuxian, lalu menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk dalam-dalam.
“Baiklah, Xiaoxian. Aku mengerti,” katanya, suaranya kini mantap dan penuh tekad. “Aku akan menerima sumber daya ini. Tapi dengarkan baik-baik.”
Ia menegakkan tubuhnya, matanya berkilat seperti baja yang baru ditempa. “Aku tidak akan menjadi ‘Pelindung Bayangan’-mu. Aku akan menjadi pedang di tanganmu. Ketika kau, sebagai jenderalku, memberi perintah, pedang ini akan menebas segala yang kau perintahkan. Aku, Lu Zhiqin, bersumpah atas nama pedangku.”
Zhuxian tersenyum lebar, senyum yang tulus dan cemerlang. Ia telah mendapatkan sekutu pertamanya, bukan karena paksaan atau status, tetapi karena pemahaman dan rasa hormat timbal balik. “Aku akan mengingat sumpahmu, Kakak Zhiqin.”
Saat momen khusyuk itu tercipta di antara mereka, tiba-tiba terdengar suara tawa riang dari kejauhan.
“Kakak An! Kakak Zhiqin! Kami menemukan kalian!”
Sesosok gadis kecil dengan dua kuncir kuda berlari ke arah mereka, diikuti oleh beberapa anak lain di belakangnya. Itu adalah Ye Lingxi, adik kandung Zhuxian, bersama beberapa sepupu mereka yang lebih muda, Zhao Lingya dan Ye Xiaozhan.
“Kakak An, ayo main kejar kupu-kupu ilusi! Di padang bunga persik sedang banyak sekali!” ajak Lingxi sambil menarik-narik jubah kakaknya dengan manja.
“Benar, Kakak An! Jangan hanya mengobrol dengan Kakak Zhiqin yang membosankan,” timpal Ye Xiaozhan, sambil menjulurkan lidah ke arah Lu Zhiqin.
Lu Zhiqin yang biasanya berwajah dingin hanya bisa menghela napas, namun sudut matanya tampak lebih lembut. Suasana tegang dan serius tadi langsung menguap, digantikan oleh keceriaan khas anak-anak.
Zhuxian tertawa. Ia mengacak-acak rambut adiknya dengan gemas. “Baiklah, baiklah. Kakak akan ikut.” Ia kemudian menoleh ke arah Zhiqin, tatapannya seolah bertanya.
Zhiqin menatap sejenak ke arah anak-anak yang penuh harap, lalu kembali menatap Zhuxian yang tersenyum. Akhirnya, ia mengangguk kaku. “Hanya sebentar.”
Sore itu, di bawah langit biru Kekaisaran Qingyuan, pemandangan yang aneh namun mengharukan terlihat di taman istana. Bagi Zhuxian, inilah pemandangan yang ia pertaruhkan segalanya untuk dilindungi. Dan bagi Zhiqin, ia akhirnya mengerti apa arti sesungguhnya dari kekuatan yang ia kejar: bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk menjaga tawa riang seperti ini agar tidak pernah pudar.