Buah dari Keputusan

Buah dari Keputusan

Tiga bulan berlalu sejak hari yang menentukan di Aula Dewan Klan Ye. Musim semi telah berganti menjadi awal musim panas, dan udara di ibu kota kekaisaran terasa hangat dan penuh semangat. Namun, tidak ada tempat yang semangatnya lebih membara daripada Arena Naga Langit, lapangan latihan utama milik Klan Ye. Sejak fajar menyingsing, tempat ini sudah dipenuhi oleh suara dentingan senjata, teriakan penuh semangat, dan fluktuasi energi spiritual yang kuat.

Di tengah arena, Ye Qingwu berdiri seperti dewa perang. Wajahnya yang biasanya menyiratkan kebosanan kini dipenuhi oleh semangat yang berapi-api. Ia memegang sebuah pedang kayu, namun aura yang ia keluarkan cukup untuk membuat para pengawal kekaisaran yang berjaga di kejauhan berkeringat dingin. Di hadapannya, belasan anggota generasi muda Klan Ye, termasuk Lu Zhiqin dan Ye Mingyun, sedang berlatih tanpa henti.

“Lagi!” teriak Ye Qingwu, suaranya menggelegar. “Lu Zhiqin, langkah kakimu terlalu lambat! Apakah Esensi Naga yang kau serap itu hanya membuatmu jadi berat?! Gerakkan tubuhmu seperti angin, bukan seperti kerbau!”

Lu Zhiqin, yang basah kuyup oleh keringat, hanya bisa mengertakkan gigi dan bergerak lebih cepat. Ia sedang menghadapi tiga lawan tanding sekaligus, namun gerakannya tetap tajam dan presisi. Pedangnya menari, setiap tebasannya kini dilapisi oleh selubung tipis energi berwarna keperakan, tanda bahwa Qi-nya menjadi jauh lebih padat dan murni setelah menyerap sumber daya dari Kolam Esensi Naga. Ia tidak mengeluh. Setiap tetes keringat adalah pengingat akan sumpahnya kepada Xiaoxian.

Di sisi lain arena, Ye Mingyun, putra Ye Qingtian, berdiri tegak seperti gunung. Ia tidak secepat atau seagresif Zhiqin. Spesialisasinya adalah pertahanan. Di hadapannya, beberapa boneka latihan terus menembakkan proyektil energi. Mingyun dengan tenang membentuk segel tangan, dan sebuah perisai cahaya berbentuk cangkang kura-kura raksasa muncul, menahan semua serangan tanpa goyah sedikit pun. Pil Pemurni Tulang yang ia konsumsi telah memperkuat meridiannya, membuat pertahanannya menjadi dua kali lebih kokoh dari sebelumnya.

Tidak jauh dari sana, Zhao Lingran, seorang sepupu perempuan yang lebih tua, melatih akurasinya. Dengan sebuah busur giok di tangan, ia menembakkan anak-anak panah yang terbentuk dari energi spiritual murni ke target-target yang bergerak acak di kejauhan. Setiap panah melesat tanpa suara dan selalu mengenai sasarannya tepat di tengah.

Ye Qingtian, yang mengamati dari pinggir lapangan, mengangguk puas. Keputusannya mungkin salah secara politis, tetapi logika di baliknya kini terbukti benar. Dengan sumber daya yang dialihkan, kekuatan generasi muda ini melesat dengan kecepatan yang menakutkan. Dalam tiga bulan, Lu Zhiqin sudah berada di ambang batas ranah Qi Transformation tingkat puncak. Ye Mingyun dan Zhao Lingran juga telah mencapai kemajuan yang setara dengan satu tahun latihan normal. Klan Ye sedang menempa pedang-pedang tertajamnya.

Sementara Arena Naga Langit dipenuhi oleh energi dan semangat yang membara, suasana di Perpustakaan Kuno Istana justru sebaliknya. Di sini, hanya ada keheningan, ditemani oleh aroma kertas tua dan debu sejarah. Di sudut ruangan yang paling terpencil, di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi, Ye Zhuxian duduk seorang diri di lantai, dikelilingi oleh tumpukan gulungan dan naskah yang sama sekali tidak berhubungan dengan kultivasi.

Beberapa pejabat yang kebetulan lewat untuk mencari buku melirik ke arahnya dengan tatapan iba. Mereka melihat sang pewaris takhta, anak yang seharusnya sedang menyerap energi langit dan bumi, malah tenggelam dalam buku-buku usang tentang geografi tanah terlupakan, biografi raja-raja fana dari zaman kuno, catatan astronomi tentang pergerakan bintang mati, bahkan risalah tentang sistem irigasi kekaisaran seribu tahun yang lalu.

“Sayang sekali. Tuan Muda benar-benar sudah menyerah pada jalur beladiri,” bisik salah satu dari mereka pada rekannya.

Mereka tidak tahu, bahwa di dalam benak anak itu, sebuah dunia yang jauh lebih kompleks sedang dibangun. Zhuxian tidak hanya membaca. Ia menyerap, menganalisis, dan mencari pola. Ia membaca bagaimana seorang raja kuno berhasil menghentikan wabah bukan dengan kekuatan, tetapi dengan memahami jalur penyebaran penyakit dan mengisolasinya. Ia mempelajari bagaimana seorang ahli strategi fana mampu mengalahkan pasukan kultivator yang jauh lebih kuat hanya dengan memanfaatkan medan, cuaca, dan psikologi musuh.

‘Aliran air dalam sistem irigasi kuno ini,’ batin Zhuxian sambil menelusuri sebuah peta tua, ‘mereka membangun kanal utama, lalu membaginya ke kanal-kanal yang lebih kecil untuk mengairi setiap petak sawah. Sama seperti meridian dalam tubuh, atau aliran kekuasaan dalam sebuah kekaisaran. Jika satu kanal tersumbat, seluruh sistem akan terganggu. Masalahnya bukan pada airnya, tapi pada jalurnya.’

Ia tidak sedang belajar untuk menjadi kultivator. Ia sedang belajar untuk memahami cara kerja dunia itu sendiri, dari aturan yang paling fundamental.

Sore harinya, setelah sesi latihan yang brutal itu berakhir, Lu Zhiqin, dengan tubuh yang lelah namun semangat yang menyala, tidak langsung kembali ke paviliunnya untuk beristirahat. Ia berjalan menuju Perpustakaan Kuno. Ia menemukan Zhuxian masih di posisi yang sama, tenggelam dalam dunianya sendiri.

“Xiaoxian,” sapa Zhiqin pelan, agar tidak mengganggu keheningan perpustakaan.

Zhuxian mendongak, matanya yang jernih tampak berkilau. “Kakak Zhiqin. Latihannya sudah selesai?”

Lu Zhiqin mengangguk. Ada sedikit kebanggaan dalam suaranya. “Berkat sumber daya yang kau berikan, aku akan menerobos ke tingkat puncak *Qi Transformation* dalam beberapa hari ke depan.”

Zhuxian tersenyum puas. “Bagus. Tapi jangan cepat puas, Kakak Zhiqin. Itu baru permulaan dari jalan yang sangat panjang.”

Tatapan Zhiqin kemudian jatuh pada gulungan-gulungan aneh di sekitar Zhuxian. Peta bintang, catatan hidrologi, biografi. “Apa… apa yang kau pelajari dari semua ini?” tanyanya, rasa ingin tahunya tak bisa disembunyikan. “Ini semua tidak akan membuatmu lebih kuat.”

Zhuxian menutup gulungan di tangannya dan menatap Zhiqin dengan tatapan yang dalam, tatapan yang tidak seharusnya dimiliki oleh anak berusia lima tahun.

“Untuk menggerakkan bidak catur dengan efektif, kau harus mengerti seluruh papan, bukan hanya kemampuan bidak itu sendiri,” jawabnya dengan sebuah analogi. “Kau, Kakak Mingyun, Kakak Lingran, kalian semua sedang belajar untuk menjadi pedang, perisai, dan panah terkuat. Aku juga sedang berlatih.”

“Berlatih apa?”

“Aku sedang belajar memahami papan catur raksasa tempat kita semua berdiri. Aku belajar tentang aturannya, polanya, kelemahannya, dan kekuatannya. Karena suatu hari nanti, saat aku harus menggerakkan kalian semua, aku harus tahu persis di kotak mana aku harus menempatkan kalian untuk meraih kemenangan.”

Lu Zhiqin terdiam. Ia kembali merasakan getaran yang sama seperti saat di tepi kolam teratai. Ia sekali lagi diingatkan bahwa ‘kekuatan’ sepupunya ini berada di tingkat yang sama sekali berbeda. Ia mungkin adalah pedang yang tajam, tetapi Zhuxian adalah tangan yang akan mengayunkan pedang itu.

Dengan pemahaman baru, Zhiqin mengangguk mantap. “Aku mengerti. Aku akan menjadi lebih kuat lagi.”

Ia kemudian berbalik dan pergi, meninggalkan Zhuxian dalam keheningan perpustakaan. Zhuxian kembali membuka gulungan peta bintangnya, matanya yang tenang menelusuri konstelasi kuno, seolah sedang merancang sebuah strategi yang membentang melintasi langit dan bumi. Klan Ye sedang menempa pedang-pedangnya, sementara sang kaisar masa depan, dalam diam, sedang menggambar peta pertempuran untuk mereka.