Gema Darah Surgawi (3)
Malam di taman Paviliun Teratai terasa begitu panjang dan sakral. Di bawah cahaya bulan yang dingin dan tatapan jutaan bintang, puluhan sosok duduk dalam keheningan meditatif yang sempurna. Mereka adalah inti dari Klan Surgawi Ye, tiga generasi yang berkumpul dalam sebuah upaya yang belum pernah terjadi selama seribu tahun terakhir. Udara terasa begitu padat dengan energi spiritual murni hingga embun yang terbentuk di atas daun-daun teratai tampak berkilauan dengan cahaya redup.
Bagi sebagian besar peserta, malam itu adalah sebuah penyiksaan mental. Mereka adalah para pejuang, para pemimpin, para ahli strategi. Pikiran mereka terbiasa bekerja, menganalisis, dan memerintah. Instruksi Bibi Besar Ye Yaoyue untuk "mengosongkan pikiran" dan "hanya mendengarkan" adalah sebuah konsep yang lebih sulit dipahami daripada formasi pertahanan tingkat tinggi mana pun.
Ye Qingtian, sang ahli strategi, terus-menerus terjebak dalam siklus analisis. Ia mencoba merasakan aliran darahnya, memetakannya dalam pikiran, mencari pola, mencari frekuensi. Namun, semakin ia mencoba, semakin pikirannya menjadi ‘berisik’, menenggelamkan gema sunyi yang seharusnya ia dengarkan. Di sampingnya, para bibi seperti Ye Ruoxue dan Ye Ziyan bernasib lebih baik. Watak mereka yang lebih lembut membuat mereka lebih mudah mencapai ketenangan, merasakan sebuah kehangatan yang nyaman di dalam diri mereka, meskipun belum cukup untuk memicu resonansi.
Bahkan Kaisar Ye Tiantong, sosok terkuat di antara mereka, menghadapi perjuangannya sendiri. Sebagai penguasa kekaisaran, pikirannya adalah medan perang abadi. Setiap kali ia nyaris mencapai kekosongan, bayangan tentang musuh misterius di perbatasan muncul. Wajah para prajurit yang terluka, token obsidian dengan ukiran mata retak, dan laporan-laporan darurat terus berkelebat. Beban mahkota adalah belenggu terberat. Ia menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa selama ia berpikir sebagai seorang ‘kaisar’, ia tidak akan pernah bisa mendengar suara darahnya.
‘Aku bukan hanya seorang kaisar,’ batinnya, sebuah kesadaran baru mulai terbentuk. ‘Sebelum aku menjadi Ye Tiantong, sang Kaisar Keenam, aku hanyalah seorang Ye. Seorang anak dari klan ini, seorang kultivator yang berjalan di atas Dao. Mungkin… aku harus kembali ke sana.’
Ia melepaskan segalanya. Ia melepaskan beban kekaisaran, melepaskan kekhawatiran akan perang, melepaskan egonya sebagai penguasa. Pikirannya kembali ke masa mudanya, saat ia hanya seorang pangeran yang terobsesi untuk menjadi lebih kuat, saat tujuannya masih murni. Ia tidak lagi mencoba mendengar. Ia hanya… ada.
Saat itulah fajar mulai menyingsing. Sinar matahari pertama yang keemasan menerobos kabut pagi, menyentuh taman itu dengan kehangatannya. Sinar itu seolah menjadi kunci terakhir, sebuah katalis surgawi.
Dan ledakan pertama pun terjadi.
Itu datang dari pusat dari semuanya, dari Kaisar Ye Tiantong. Kekosongan yang berhasil ia raih di saat-saat terakhir, dipadukan dengan energi murni fajar, menciptakan sebuah resonansi yang sempurna dengan Garis Keturunan Surgawi di dalam dirinya.
WUUUUSSSHHH!
Sebuah pilar Aura Putih yang begitu murni dan agung meledak dari tubuhnya, membumbung tinggi ke langit. Aura itu tidak ganas, tidak pula menekan dengan kejam. Sebaliknya, ia terasa agung, luas, dan absolut, seperti kehadiran langit itu sendiri. Seluruh energi spiritual di danau dan taman bergetar, tunduk pada kehadiran aura kaisar. Ye Tiantong membuka matanya, dan di dalam pupilnya yang dalam, tampak sebuah galaksi mini berputar. Ia bisa merasakan pemahaman baru mengalir ke dalam jiwanya, sebuah pemahaman tentang kekuatan tempur yang jauh melampaui batasannya. Ia tahu seketika: dengan mengaktifkan Teknik Darah Surgawi, kecakapan bertarungnya kini bisa menandingi seorang ahli yang lima peringkat lebih tinggi darinya.
Pencerahan sang kaisar tidak berhenti di sana. Aura putihnya yang agung menyebar, bertindak sebagai sebuah lonceng raksasa yang membangunkan gema di dalam darah keluarganya.
Orang kedua yang merespon adalah Kakek Zhuxian, Ye Changhai. Dengan wataknya yang tenang dan bijaksana, ia menjadi yang paling mudah menerima dan selaras dengan aura ayahnya. Aura Putih yang dalam dan stabil menyelimuti tubuhnya. Ia merasakan koneksi yang damai dengan warisannya dan langsung mengerti peningkatannya: empat peringkat.
Menyusul setelahnya adalah kedua saudaranya. Ye Changxuan, sang Putra Pertama, meledak dengan Aura Putih yang kokoh dan tak tergoyahkan seperti gunung. Ye Changjian, sang Putra Ketiga, memancarkan Aura Putih yang lebih dinamis dan tajam. Keduanya merasakan gelombang kekuatan baru dan memahami peningkatan mereka masing-masing: tiga peringkat.
Gelombang pencerahan itu kemudian mengalir ke generasi berikutnya.
Ye Qingwu, yang sepanjang malam telah berada di ambang batas setelah menemukan jalan melalui niat murninya, menjadi yang pertama di generasinya yang meledak. Terdorong oleh aura para seniornya, gelegak panas di dalam darahnya akhirnya mencapai puncaknya. Aura Putih miliknya memiliki sedikit semburat merah keemasan, menunjukkan sifatnya yang berapi-api dan dominan. Ia merasakan kekuatan liar mengalir di setiap meridiannya. Peningkatan tiga peringkat.
Di sampingnya, Ye Qingxuan juga berhasil. Auranya yang putih tampak lembut seperti giok, tenang namun sangat padat. Ia merasakan pemahaman baru tentang kehidupan dan pertahanan. Peningkatan tiga peringkat juga.
Setelah dua jenius ini membuka jalan, para sepupu mereka yang lain akhirnya menemukan momen mereka. Ye Qingtian, yang akhirnya menyerah untuk menganalisis, merasakan pikirannya dijernihkan oleh gelombang aura di sekitarnya. Ia akhirnya bisa ‘mendengar’. Ye Qingfeng, yang baru pulih dari lukanya, merasakan darahnya merespon pada panggilan para leluhur. Keduanya, bersama dengan Ye Qingchen, diselimuti oleh Aura Putih yang kuat. Mereka semua merasakan peningkatan kekuatan yang sama: dua peringkat.
Gelombang terakhir adalah milik para cicit. Terbawa oleh euforia energi di taman itu, satu per satu dari mereka mulai bersinar. Ye Mingyun, Ye Tianqi, Ye Wuchen, dan yang lainnya. Tubuh-tubuh muda mereka diselimuti oleh pilar-pilar Aura Putih yang lebih kecil namun sama murninya. Rata-rata dari mereka merasakan peningkatan dua hingga tiga peringkat, sebuah lompatan kualitatif yang akan mengubah masa depan mereka selamanya.
Namun, di antara generasi ini, ada satu cahaya yang bersinar paling terang. Ye Lanyue. Gadis yang pendiam itu tidak merasakan ledakan kekuatan tempur. Sebaliknya, dunia di matanya berubah. Saat Aura Putih menyelimutinya, ia bisa melihat dengan jelas benang-benang energi yang menghubungkan setiap anggota keluarganya. Ia bisa melihat aura Kakek Kaisarnya yang seperti matahari, dan aura Paman Qingwu yang seperti naga api. Persepsinya telah menembus batas dunia fisik. Ia mengerti, peningkatannya adalah empat peringkat, tetapi dalam bentuk yang berbeda, dalam bentuk kepekaan spiritual yang tak tertandingi.
Saat matahari akhirnya terbit sepenuhnya, taman di Paviliun Teratai telah berubah menjadi lautan cahaya. Puluhan anggota Klan Ye, dari yang paling tua hingga yang paling muda, kini duduk bersila di tengah pilar-pilar Aura Putih mereka sendiri. Tidak ada yang gagal. Seluruh klan telah terlahir kembali.
Ye Yaoyue membuka matanya, senyum puas yang tulus terukir di wajahnya yang anggun. “Selamat,” katanya, suaranya membangunkan mereka semua dari keadaan pencerahan. “Kalian telah membangunkan kembali darah para leluhur.”
Para anggota klan membuka mata mereka, menatap tangan mereka sendiri, merasakan kekuatan baru yang luar biasa mengalir di dalam diri mereka. Rasa kaget, euforia, dan rasa percaya diri yang luar biasa terpancar dari wajah mereka.
Kaisar Ye Tiantong berdiri, auranya yang kini jauh lebih dalam dan tak terduga terasa menenangkan seluruh taman. Ia menatap keluarganya—para putra, cucu, dan cicitnya yang kini telah menjadi sekelompok naga sejati.
“Mulai hari ini,” katanya dengan suara yang menggema penuh kekuatan dan emosi. “Sebuah era baru bagi Klan Surgawi Ye telah dimulai. Musuh yang datang dari kegelapan telah melakukan kesalahan terbesar mereka: mereka telah membangunkan naga yang sedang tidur.”
Setelah memberikan pidatonya, saat yang lain masih merayakan kekuatan baru mereka, tatapan sang kaisar melayang jauh ke arah timur, ke arah Paviliun Giok yang sunyi. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sangat rumit. Kebanggaan, kelegaan, tetapi juga kebingungan yang mendalam.
‘Seluruh klan telah mengalami transformasi yang belum pernah terjadi dalam sejarah… dan semua ini berawal dari pencerahan Yaoyue, yang dipicu olehnya. Anak itu bahkan tidak perlu hadir untuk mengubah nasib kita semua,’ batinnya. Ia teringat pada jebakan cerdik di kamar cicitnya, pada analisisnya yang menakutkan, dan pada ketenangannya yang tidak wajar.
‘Xian’er… Apa yang sebenarnya kau lakukan di sana? Mengapa kau tidak datang? ’