Gema Darah Surgawi (2)
Fajar yang menyingsing di atas Istana Klan Surgawi membawa serta sebuah energi yang berbeda. Hari ini bukan hari untuk urusan kenegaraan atau latihan militer. Hari ini adalah hari yang sakral, sebuah momen yang akan tercatat dalam sejarah internal Klan Ye. Atas panggilan dari Pertapa Agung Ye Yaoyue, hampir seluruh anggota inti klan yang memiliki darah murni Ye kini berjalan dalam keheningan menuju Danau Teratai di sektor utara istana.
Pemandangan di tepi danau sungguh luar biasa. Rombongan pertama yang tiba adalah Kaisar Ye Tiantong bersama ketiga putranya yang agung: Kakek Besar Ye Changxuan yang pendiam dan kokoh seperti gunung, Kakek Ye Changhai yang pembawaannya tenang dan bijaksana, serta Kakek Ketiga Ye Changjian yang matanya berkilat penuh rasa ingin tahu. Kehadiran empat pilar utama klan ini seketika membuat udara di sekitar danau terasa berat dan penuh wibawa.
Tak lama kemudian, generasi cucu kaisar mulai berdatangan. Ye Qingwu berjalan paling depan, aura seorang ahli ranah Nascent Soul tingkat menengah yang berapi-api terpancar dari tubuhnya tanpa bisa disembunyikan. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Paviliun Teratai, dipenuhi hasrat murni untuk menjadi lebih kuat. Di sampingnya, sepupunya, Ye Qingtian, tampak kontras. Ia berjalan dengan langkah yang terukur, matanya yang analitis sibuk mengamati lingkungan sekitar, mencoba menangkap setiap detail perubahan energi spiritual di tempat yang legendaris ini. Ye Qingxuan, ayah Zhuxian, mengikuti dengan ekspresi paling tenang, seolah ia datang dengan hati yang kosong dari ekspektasi. Di belakang mereka, Ye Qingchen dan saudara kembarnya, Ye Qingfeng, yang baru saja tiba dari pos perbatasan, berdiri dengan sikap disiplin seorang prajurit.
Para putri dari generasi yang sama juga hadir. Bibi Ye Ruoxue dan Bibi Ye Shuangling, yang biasanya disibukkan dengan urusan keluarga mereka sendiri, kini datang dengan ekspresi penuh harap. Bibi Ye Ziyan dan Ye Meiyun juga berdiri di antara mereka, wajah mereka menunjukkan kekaguman pada tempat pertapaan Bibi Besar mereka yang agung.
Terakhir, datanglah rombongan generasi cicit, masa depan Klan Ye. Para pemuda seperti Ye Mingyun, Ye Hanxu, dan Ye Tianqi berjalan dengan sikap hormat, membungkuk pada para paman dan kakek mereka. Mereka adalah para jenius muda, namun di hadapan para senior klan, mereka tampak seperti murid yang gugup. Adik Zhuxian, Ye Lingxi, dan sepupunya Ye Lanyue, berdiri dengan tenang, mata mereka yang jernih memandang keindahan paviliun dengan takjub. Hampir tiga puluh anggota darah murni Klan Ye telah berkumpul, sebuah pemandangan yang tidak pernah terjadi selama lebih dari seratus tahun.
Di tengah kerumunan itu, satu sosok mungil secara mencolok tidak hadir. Kaisar Ye Tiantong telah mengirim pelayan untuk memanggil cicit kesayangannya, Ye Zhuxian, namun pelayan itu kembali dengan sebuah pesan singkat yang membingungkan: "Tuan Muda Xian'er berkata, 'Aku mengusul'." Sebuah penolakan halus yang hanya dimengerti oleh Ye Yaoyue, yang dari kejauhan hanya bisa tersenyum tipis mendengarnya.
Tepat saat matahari mencapai puncaknya, sebuah jembatan cahaya keperakan yang indah terbentuk dengan sendirinya dari tepi danau. Suara Ye Yaoyue terdengar di benak mereka semua.
*“Masuklah.”*
Rombongan besar itu melangkah ke atas jembatan cahaya dengan tertib. Mereka diarahkan ke sebuah taman bunga teratai darat yang sangat luas di samping paviliun. Di tengah taman, di atas sebuah panggung batu giok putih alami, Ye Yaoyue duduk bersila dengan mata terpejam.
“Duduklah,” katanya singkat.
Para anggota klan, dari kaisar hingga cicit termuda, mengambil posisi duduk bersila di atas rumput hijau yang lembut, membentuk lingkaran-lingkaran di sekitar panggung giok itu.
Ye Yaoyue akhirnya membuka matanya. Tatapannya yang dalam menyapu setiap wajah di hadapannya, dari ayahnya sang kaisar, hingga cicit keponakannya yang paling muda.
“Aku tahu apa yang kalian harapkan,” mulainya. “Kalian berharap akan kuajarkan sebuah teknik pemungkas. Buang semua pikiran itu. Pikiran seperti itulah yang telah menutup pintu warisan kita selama ini.”
Ia melanjutkan, suaranya yang jernih menjadi pemandu. “**Teknik Darah Surgawi** bukanlah sesuatu yang bisa dihafal. Ia adalah sebuah **resonansi**. Sebuah harmoni antara kesadaran kalian dan lagu kuno yang mengalir di dalam darah kalian. Selama ratusan tahun, kalian, para kultivator, diajari untuk *mengambil*, *mengontrol*, dan *memurnikan* Qi. Kalian memaksa energi alam untuk tunduk pada kehendak kalian. Hari ini, aku meminta kalian untuk melakukan kebalikan dari semua itu.”
“Aku ingin kalian *menyerah*,” katanya, sebuah konsep yang aneh bagi para pejuang perkasa di hadapannya. “Menyerah pada keinginan untuk mengontrol. Lupakan ranah Nascent Soul-mu, lupakan ranah Core Profound-mu. Lupakan semua energi di Dantianmu. Kosongkan pikiran kalian. Setelah itu, aku ingin kalian *mendengarkan*.”
“Di dalam setiap tetes darah kita, mengalir warisan dari Kaisar Pertama, sebuah berkah surgawi yang murni. Warisan itu memiliki gemanya sendiri, sebuah melodi yang sunyi dan abadi. Teknik Darah Surgawi hanyalah metode untuk menyetel kesadaran kita agar bisa mendengar gema itu. Ketika kalian sudah bisa mendengarnya, kalian akan bisa meresponnya. Respon itulah yang disebut **mengaktifkan Garis Keturunan**. Sekarang, pejamkan mata kalian. Mulailah.”
Setelah memberikan instruksi terakhirnya, Ye Yaoyue kembali memejamkan mata, dan taman itu diselimuti keheningan total.
Beberapa jam pertama adalah yang paling sulit.
Kaisar Ye Tiantong, dengan pengalamannya yang tak tertandingi, mampu menenangkan pikirannya dengan cepat. Namun, setiap kali ia nyaris mencapai kekosongan, bayangan tentang musuh di perbatasan atau tanggung jawabnya pada jutaan rakyatnya muncul kembali. Beban seorang kaisar adalah penghalang terbesar baginya untuk "menyerah".
Ye Qingtian, sang ahli strategi, adalah yang paling menderita. Pikirannya yang tajam terus mencoba menganalisis proses ini. *‘Mendengarkan darah? Apa frekuensinya? Apa ada pola dalam denyutnya?’* Ia tanpa sadar mencoba memecahkan ini seperti sebuah teka-teki, dan usahanya itu justru menjauhkannya dari jawaban.
Di sisi lain, Ye Qingxuan, yang tidak terlalu terobsesi dengan kekuatan, justru menemukan jalan lebih mudah. Ia hanya duduk, mengatur napasnya, dan membiarkan pikirannya mengalir seperti awan. Tak lama kemudian, ia merasakan sebuah kehangatan yang sangat samar mulai menjalari pembuluh darahnya dari arah jantungnya. Rasanya damai dan menenangkan. Ia tahu, ini adalah langkah pertamanya.
Para perempuan Klan Ye juga menunjukkan hasil yang menarik. Bibi Ye Ruoxue dan yang lainnya, yang jalan kultivasinya lebih fokus pada harmoni daripada dominasi, merasakan koneksi yang lebih lembut. Mereka merasakan aura kehidupan dari tanaman teratai di sekitar mereka seolah merespon darah mereka, menciptakan sebuah perasaan menyatu dengan alam yang belum pernah mereka rasakan.
Di antara generasi cicit, Ye Lanyue, putri Ye Qingchen, menunjukkan bakat yang unik. Ia tidak merasakan kekuatan atau kehangatan. Sebaliknya, saat ia memejamkan mata dan fokus, ia mulai bisa 'melihat' aura samar dari setiap anggota keluarganya. Ia melihat aura Paman Qingwu yang berwarna merah keemasan dan bergejolak, aura Paman Qingxuan yang hijau giok dan tenang, dan aura Kakek Kaisarnya yang seperti matahari keemasan yang tak terhingga. Indera persepsinya mengalami sebuah lompatan kualitatif.
Namun, terobosan sesungguhnya datang dari orang yang paling bernafsu. Ye Qingwu. Ia telah mencoba segalanya. Ia mencoba memaksa darahnya bereaksi dengan niat bertarung, gagal. Ia mencoba menenangkan pikirannya, gagal. Frustrasi, ia akhirnya menyerah pada semua teknik. Ia hanya fokus pada satu hal yang menjadi inti dari seluruh keberadaannya: hasrat murni yang membara untuk mendapatkan kekuatan absolut demi melindungi klannya. Niatnya yang tunggal dan tidak rumit itu, tanpa ia sadari, adalah bentuk ‘kekosongan’ versinya sendiri.
Saat itulah ia merasakannya. Bukan kehangatan, melainkan gelegak panas yang membakar di dalam jantungnya. Darahnya seolah mendidih, membangunkan seekor naga purba yang tertidur. Sebuah kekuatan yang liar, sombong, dan penuh dominasi meledak dari dalam dirinya. Aura berwarna merah keemasan yang pekat menyelimuti tubuhnya, dan di dahinya, sebuah simbol ilusi berbentuk sisik naga api muncul dan bersinar terang selama beberapa detik sebelum akhirnya menghilang. Ia membuka matanya. Di dalam pupil matanya, kini terdapat kilatan emas buas.
Ia telah berhasil. Ia telah membobol gerbang menuju Teknik Darah Surgawi.
Matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan warna lembayung. Malam tiba, dan taman itu kini diterangi oleh cahaya lembut dari bunga-bunga teratai dan bulan di langit. Namun, Ye Yaoyue tidak menghentikan sesi tersebut. Ia membuka matanya, mengamati keadaan keluarganya. Ia melihat keberhasilan Ye Qingwu yang menakjubkan. Ia melihat kemajuan Ye Qingxuan yang stabil. Ia melihat bakat unik Ye Lanyue. Dan ia melihat perjuangan yang lain.
Ye Tiantong mendekatinya dalam diam. “Sudah malam, Yaoyue. Mungkin cukup untuk hari ini?”
Ye Yaoyue tersenyum tipis sambil menatap para keponakan dan cicitnya yang masih tenggelam dalam meditasi. “Biarkan saja, Ayah,” bisiknya. “Benih yang paling berharga seringkali membutuhkan malam yang paling gelap untuk bertunas. Pertempuran semalam telah mengguncang fondasi mereka, dan pencerahanku telah membukakan pintu untuk mereka. Sekarang adalah momen paling krusial. Biarkan mereka melanjutkan. Aku punya firasat, fajar besok akan membawa banyak kejutan.”
Kaisar mengangguk dan kembali ke tempatnya, ikut melanjutkan meditasinya. Malam itu, di bawah tatapan bulan dan bintang, puluhan anggota inti Klan Surgawi Ye duduk dalam keheningan, masing-masing berjuang dalam pertempuran internal mereka sendiri, mencari gema dari warisan agung yang tertidur di dalam darah mereka.