Bab 1 – Sangkar Bernama Pernikahan

“Aku mengenakan gaun yang tak pernah kuimpikan. Mewah, putih, sempurna… Tapi rasanya seperti belenggu.”

Gaun itu membalut tubuhku dengan indah. Tulle putih mengalir dari pinggang hingga menyentuh lantai marmer dingin. pundakku terbuka, tulang selangkaku tampak mencolok—kulit seputih susu yang biasanya membuatku merasa anggun kini hanya seperti layar kosong dari boneka porselen.

Aku berdiri diam didepan cermin besar. Pantulan wajahku sendiri terasa asing.

Apa ini benar-benar aku?

Tanganku bergetar saat menyentuh veil yang menjuntai di punggung. Suara detik jam di ruang rias terasa seperti palu yang menandai waktu habisnya hidup lamaku.

“Reyna,” suara seorang wanita memanggil lembut dari balik pintu.

“Sudah saatnya.”

Aku menelan ludah. Menarik nafas dan melangkah keluar.

Langkah pertama selalu paling berat, bukan?

Lorong itu panjang, dan terlalu sunyi.

Meski penuh bunga, lampu kristal mewah, dan tamu-tamu berjas rapi, semuanya seperti patung. Mereka melihatku… Tapi tak benar-benar melihat.

Tak ada teman. Tak ada keluarga—selain ibu dan adik lelakiku yang berdiri disudut, menatapku dengan mata merah.

“Maafkan ibu…”

“Kalau kamu nggak mau, kita semua bisa dipenjara…”

“Dia cuma minta satu tahun… Hanya satu tahun…”

Aku menggigit bibirku. Luka kecil terasa di kulitnya, tapi rasa perihnya justru menyadarkanku—aku masih hidup.

Dan di ujung altar, dia berdiri.

Leonard Alvaro.

Tingginya 193 cm. Tubuhnya dibalut setelan hitam cuatom-tailored. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, mempertegas garis rahangnya yang tegas dan mata tajam abu gelap yang menatapku tanpa emosi.

Aku merinding ngeri.

Tatapannya seperti… pemilik.

Langkahku terhenti sejenak. Rasanya seperti berjalan ke kandang singa. Tapi kakiku tak punya pilihan.

Setelah ini… hidupku akan jadi milik pria itu.

Kami tidak saling menyentuh. Tidak saling bicara. Bahkan saat pendeta mulai membaca ikrar dan menanyakan hal klasik itu:

“Apakah anda, Leonard Alvaro, menerima Reyna Mahira sebagai istri Anda yang sah…?”

Dia hanya menjawab satu kata. Datar. Nyaris tak terdengar.

“Ya.”

Dan saat giliranku ditanya, aku melihat ke arah Ibu.

Dia menggenggam tangan adikku, air mata terus mengalir di pipinya.

Aku menjawab. Dengan suara pelan, gemetar, nyaris mati.

“Ya…”

Cincin emas itu terasa berat di jari manisku.

Dan saat semua mata menatap kami, menunggu momen “pengantin mencium pengantin”, Leonard hanya mendekat dan berbisik:

“Aku tak butuh ciuman, Reyna. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak bisa lari.”

Darahku membeku.

---

Mobil sedan hitam melaju mulus di jalanan malam. Kota Jakarta terasa sunyi, padahal baru pukul sembilan malam.

Aku duduk di kursi belakang, menjaga jarak sejauh mungkin dari pria di sampingku.

Leonard membuka dasi pelan, lalu menatap ke arahku sejenak.

“Aku minta satu hal,” katanya datar.

Aku terdiam.

“Jangan buat aku kelihatan seperti pria bodoh di depan umum. Jaga sikapmu.”

Aku menggigit bibir, menahan emosi. “Aku nggak pernah minta ini semua.”

Dia hanya menoleh dengan seringai di bibirnya. “Dan aku tidak pernah percaya pada cinta, tapi lihat kita sekarang.”

---

Langkahku terasa terlalu berat untuk ruangan yang terlalu sunyi ini. Lantainya dari marmer putih berkilau, memantulkan bayangan diriku sendiri yang terlihat terlalu kecil di tengah kemegahan ini. Aku bukan tamu kehormatan di rumah ini. Aku hanya… istri kontrak dari pria bernama Leonard Alvaro.

Bahkan nama itu masih terasa asing di bibirku.

Semuanya terjadi terlalu cepat. Dua minggu lalu aku hanyalah mahasiswa tingkat akhir yang pusing membayar uang kuliah dan biaya rumah sakit ibu. Hari ini aku berdiri di dalam mansion milik seorang CEO dunia yang bahkan bisa membeli separuh kota jika dia mau.

Mobil hitam yang menjemputku tadi berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang perlahan terbuka otomatis. Di dalamnya berdiri rumah besar tiga lantai bergaya Eropa klasik—pilar tinggi menjulang, jendela kaca besar dengan bingkai hitam elegan, taman luas yang terlalu rapi untuk disebut alami.

“Selamat datang di kediaman Tuan Leonard,” kata seorang pria muda bersetelan hitam. Posturnya tegap, suaranya tenang. “Saya Nathaniel, asisten pribadi beliau. Mulai hari ini, Anda bisa bertanya apa pun pada saya, Nona Reyna.”

Aku hanya mengangguk kecil. Bahkan tidak tahu harus menjawab dengan ‘terima kasih’ atau ‘maaf saya repotkan’.

“Hanako akan mengantar Anda ke kamar. Tuan akan menemui Anda nanti malam,” lanjutnya.

Hanako..? Siapa lagi dia?’ pikir Reyna.

Hanako muncul dari balik pintu ganda yang terbuka. Dia masih muda, rambutnya disanggul rapi, sorot matanya tajam, tapi ada sesuatu yang halus dalam sikapnya.

“Silakan ikut saya, Nona,” ajaknya tersenyum ramah dan profesional.

Kami berjalan melewati lorong panjang yang dindingnya dihiasi lukisan klasik dan lampu gantung kristal. Suasananya hening, hanya suara langkah kaki kami yang terdengar.

“Ada berapa orang di rumah ini?” aku akhirnya bertanya.

“Saat ini sepuluh, termasuk saya. Lima maid, satu chef, satu tukang kebun, dan Nathaniel. Tapi area pribadi Tuan Leonard hanya bisa dimasuki atas izin beliau.”

Aku menelan ludah. ‘Apa ini rumah... atau istana? Tidak, sepertinya ini Mansion…’

Akhirnya kami tiba di kamar yang disebut ‘kamar tamu utama’. Tapi rasanya seperti suite hotel bintang tujuh. Tempat tidurnya besar, karpet tebal, balkon menghadap kolam renang belakang, dan kamar mandi yang lebih besar dari ruang kos lamaku.

“Ini kamar Anda. Jika membutuhkan sesuatu, tekan bel di samping meja,” kata Hanako sopan. Ia menatapku sejenak, lalu menambahkan pelan, “Tuan Leonard tidak suka keterlambatan atau suara gaduh. Jaga sopan santun, dan Anda akan baik-baik saja, Nona.”

Kalimat terakhir itu seperti peringatan.

Saat pintu tertutup, aku menghela napas panjang. Ini bukan rumah... ini sangkar emas.

---

Aku baru saja berganti pakaian saat terdengar ketukan pelan.

“Masuk,” sahutku pelan.

Nathaniel melongokkan kepala, “Permiai, Tuan Leonard ingin bertemu Anda di ruang baca, Nona.”

Ruang baca. Tentu saja dia punya ruangan khusus untuk itu.

Aku mengikuti Nathaniel menuruni tangga menuju sayap timur rumah. Ruang baca itu hangat dengan aroma kayu tua dan kopi. Di sana, duduklah pria yang kini resmi jadi suamiku—Leonard Alvaro.

Tingginya nyaris 193 cm. Duduk saja dia terlihat seperti pria dari sampul majalah—berbahaya, dingin, dan tidak menyukai gangguan.

“Duduklah,” katanya tanpa menoleh.

Aku duduk di seberangnya, menunduk.

“Kau ingat kontrak kita, Reyna?” tanyanya datar.

Aku mengangguk. “Pernikahan ini berlangsung selama satu tahun. Setelah itu, tidak ada ikatan.”

Tatapannya menajam. “Dan selama itu, kamu hanya milikku. Tidak ada mantan, tidak ada pria lain, tidak ada alasan.”

Aku menatap matanya. “Saya bukan barang.”

“Benar. Tapi aku membeli waktumu, bukan tubuhmu. Jangan kecewakan aku.”

Kalimat itu membuat tengkukku merinding. Dia mengatakannya tanpa emosi—hanya pernyataan, bukan ancaman. Tapi justru itu yang membuatnya lebih menakutkan.

“Aku sudah menyiapkan paviliun untukmu nanti jika kamu ingin ruang sendiri. Tapi untuk saat ini, kamu akan tidur di kamar utama. Sendiri,” katanya.

Aku mengangguk. Entah kenapa, bagian ‘sendiri’ justru membuat dadaku lebih tenang.

Sebelum aku pergi, dia menambahkan, “Dan Reyna…”

Aku menoleh sedikit, menatapmu lewat bahuku.

“Kamu bisa melihat siapa pun… tapi jangan pernah buat aku melihatmu bersama orang lain.”

Napasku seketika tercekat.

Kalimat itu… terdengar seperti peringatan. Tapi juga seperti bentuk obsesi yang belum kutahu sejauh apa dalamnya.