Langkah-langkah Reyna menggema ringan di lantai marmer, disambut aroma kopi dan roti panggang yang memenuhi udara pagi. Ruang makan di mansion Leonard terasa terlalu megah untuk dirinya yang baru semalam tidur di paviliun. Meja panjang dari kayu mahoni itu bisa menampung sepuluh orang, tapi hanya ada satu kursi yang terisi—di ujung kanan.
Leonard duduk tegap, membaca tablet sambil menyeruput kopinya dengan ekspresi netral. Kemeja putih lengan panjangnya tergulung rapi hingga siku, memperlihatkan otot lengannya yang tegas. Rambutnya masih basah, menandakan ia baru selesai mandi. Ia tampak segar... dan menakutkan dalam diamnya.
“Selamat pagi,” sapa Reyna pelan, mencoba terdengar sopan.
Pria itu tidak langsung menjawab. Matanya hanya melirik, sekilas. “Kau terlambat.”
Reyna menahan napas. “Maaf, aku bangun kesiangan...”
“Bangun pukul tujuh di rumah ini berarti bangun siang,” potongnya. “Besok kepala pelayan akan membangunkanmu pukul lima. Biasakan.”
Kepala Reyna menunduk. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena takut… tapi karena tekanan yang tidak familiar ini. Ia tidak suka diperintah, tapi situasinya tidak memberi ruang untuk menolak.
“Silakan duduk,” tambah Leonard, masih tanpa emosi.
Reyna menurut. Duduk di ujung meja yang berseberangan dengannya. Jarak mereka terasa seperti dua dunia yang tak tersentuh.
Seorang wanita paruh baya masuk membawa nampan, rambutnya disanggul rapi, memakai seragam abu-abu dengan apron putih.
“Ini Ny. Sofia,” kata Leonard singkat. “Kepala maid di rumah ini. Jika kau butuh apa pun, katakan saja padanya atau Hanako.”
Ny. Sofia tersenyum hangat, meski matanya tajam seperti bisa membaca isi hati. “Selamat pagi, Nona Reyna. Semoga betah tinggal di rumah ini.”
Reyna hanya membalas dengan senyum tipis dan anggukan kecil. Ada getaran tak kasat mata dari tatapan Ny. Sofia. Seperti... pengawas istana yang menjaga agar tak ada satupun rahasia lolos.
Sarapan berlangsung dalam keheningan. Hanya denting alat makan dan suara tablet yang disentuh jari Leonard.
Lalu, tiba-tiba pria itu berkata tanpa menoleh:
“Kamu akan menemaniku ke gala dinner akhir pekan ini.”
Reyna nyaris tersedak. “A–apa?”
“Sebagai istri. Aku tak suka datang sendiri.”
“Tapi… aku tidak tahu cara bersikap di acara seperti itu…”
“Ada departemen grooming di kantor. Mereka akan mengurusmu. Penampilanmu, cara bicaramu, semuanya.”
Reyna terdiam, menahan rasa malu yang membuncah. Seolah ia hanyalah proyek yang perlu diperbaiki agar layak di sisi pria itu.
“Leonard...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Pria itu menoleh cepat, menatap tajam.
“Apa tadi?”
Reyna menelan ludah. “Tuan Leonard maksudku…”
Tatapan Leonard melembut sejenak, tapi hanya sesaat. Ia berdiri, mengambil jasnya dari sandaran kursi.
“Kita menikah, Reyna. Belajarlah menyebut namaku tanpa ragu.”
Dan tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi meninggalkannya.
Di belakangnya, Reyna hanya bisa menatap punggung lelaki jangkung itu. Bukan hanya jarak fisik—jarak di hati mereka bahkan lebih dingin dari udara pagi yang menyelimuti mansion mewah itu.
---
Reyna menatap punggung Leonard yang menjauh dengan langkah tenang namun tegas. Suara sepatu pantofelnya bergema lembut, menyisakan ruang makan itu dalam kesunyian yang asing. Seolah ia baru saja melewati ujian pagi yang belum tentu ia lulus.
Nyonya Sofia kembali masuk, membawa piring kecil berisi salad dan potongan buah. “Makanlah dengan tenang, Nona Reyna. Tuan Leonard tidak suka melihat makanan terbuang.”
Reyna menatap piring di depannya. Omelet keju yang masih mengepul, roti panggang renyah dengan selai stroberi, dan kopi hitam yang mulai mendingin. Ia baru sadar belum menyentuh apa pun. Tenggorokannya terasa sempit.
“Terima kasih…” gumamnya pelan.
“Hanako akan mengantar Anda ke ruang ganti nanti. Ada fitting dress untuk gala malam,” ujar Nyonya Sofia sambil merapikan piring Leonard yang sudah kosong. “Tim dari kantor akan datang siang ini.”
Reyna mengangguk pelan, tapi kepalanya penuh. Gala dinner… sebagai istri… penampilan, cara bicara... Seolah dirinya adalah boneka yang akan dipoles agar sesuai dengan standar sang tuan rumah.
Sementara ia memaksakan diri menelan suapan pertama, sesosok gadis muda muncul dari ambang pintu. Hanako. Pelayan muda itu membawa nampan kosong dan tersenyum ramah padanya. “Selamat pagi, Nona Reyna. Saya akan bantu mendampingi anda hari ini.”
Reyna memaksakan senyum. “Pagi. Panggil aku Reyna saja, ya.”
Hanako tertawa pelan. “Kalau begitu saya juga berharap Nona bisa memanggil saya Hanako, bukan pakai ‘kamu’ seperti Nyonya Sofia.”
Sikap ramah itu membuat beban di pundak Reyna sedikit mengendur. Setidaknya, ada satu orang di mansion ini yang membuatnya merasa manusia.
Setelah sarapan, Reyna berdiri dan mengikuti Hanako menyusuri lorong panjang menuju paviliun. Lorong itu terang, namun tetap menyimpan kesan dingin. Dinding putih gading dihiasi lukisan klasik dan vas keramik besar di tiap sudut. Lantainya mengkilap seperti cermin.
Di setiap sudut, para maid tampak sibuk. Beberapa menunduk hormat saat mereka lewat.
“Rumah ini seperti istana,” gumam Reyna lirih.
Hanako tersenyum. “Tuan Leonard membencinya disebut begitu, tapi memang banyak yang berpikir begitu. Ia hanya ingin semua tertib… dan sunyi.”
“Sunyi, ya…” Reyna menatap jendela besar yang memperlihatkan taman belakang.
‘Rumah sebesar ini... tapi hanya dihuni satu orang?’ pikirnya.
Hanako menoleh ke arahnya. “Jangan takut padanya. Tuan Leonard memang keras, tapi... Beliau tidak seburuk yang terlihat.”
Reyna hanya tersenyum kaku. Ia tidak tahu harus percaya atau tidak. Namun ada sesuatu di mata Hanako. Seperti seseorang yang sudah lama tinggal dan tahu lebih banyak dari yang bisa dikatakan.
---
Sesampainya di paviliun, Reyna disambut oleh seorang penata rias dan dua staf dari kantor Leonard. Mereka datang membawa koper-koper besar berisi pakaian formal dan sepatu.
“Satu gala dinner… perlu sebanyak ini?” bisik Reyna setengah syok.
Seorang staf wanita muda tertawa. “Kami harus menyiapkan semua skenario. Tuan Leonard sangat detail.”
Saat Reyna mencoba dress pertama, matanya terpaku pada bayangan dirinya di cermin besar kamar. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Dress satin berwarna ivory itu pas di tubuhnya, membuat kulit putih susunya terlihat semakin bersinar. Namun yang membuatnya tercekat adalah... sorot matanya.
Ia bingung. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam waktu singkat.
---
Sementara itu, di ruang kerja utama mansion…
Leonard berdiri di depan jendela tinggi menghadap halaman depan. Kopi keduanya sudah dingin, tapi ia belum menyentuhnya lagi.
Tablet di tangannya menampilkan jadwal padat, tapi pikirannya melayang.
Ia mengingat tatapan Reyna tadi pagi. Gugup, tapi keras kepala. Tak menyerah pada tekanan, tapi juga tidak berani melawan.
Menarik.
Lalu, tanpa sadar, jarinya membuka folder berisi foto. Salah satunya adalah candid Reyna di halte bus, berbulan-bulan lalu.
Ia menghela napas. Takdir? Bukan. Ia tidak percaya takdir.
Dia hanya… memilih. Dan Reyna adalah pilihannya.