Pagi kedua di mansion dimulai tanpa alarm ponsel Reyna. Yang membangunkannya justru suara ketukan lembut di pintu paviliun—diikuti suara pelan Hanako.
“Nona Reyna, sudah pukul lima lewat sepuluh.”
Reyna menggeliat malas, tapi ingatan akan teguran Leonard kemarin membuatnya langsung terduduk. Bangun jam tujuh berarti siang. ‘Besok pelayan akan membangunkanmu pukul lima...’ Kalimat itu menempel seperti cap di otaknya.
Ia membuka pintu dalam gaun tidur satin yang entah sejak kapan diganti oleh Nyonya Sofia. Hanako sudah menunggunya dengan seragam bersih, senyum tipis, dan segelas air lemon.
“Minum ini dulu, Nona. Lalu saya bantu siapkan air hangat untuk mandi.”
Reyna menelan air itu tanpa bicara. Masih ada sisa kantuk di matanya, tapi lebih dari itu—ia belum terbiasa dibangunkan oleh orang lain. Apalagi diperlakukan seolah dia penting.
Saat mandi, pikirannya kosong. Tapi hatinya gelisah.
Ia benar-benar berada di dunia yang asing. Dunia yang dibangun dari batu marmer, aturan, dan... keheningan.
---
Setelah berpakaian rapi, Reyna keluar dari paviliun dan berjalan menuju bangunan utama. Awan pagi masih menggantung rendah, membungkus halaman mansion yang luas dan hening seperti lukisan realis yang mahal.
Lorong-lorong itu terlalu bersih. Terlalu sunyi. Seolah kalau ia bicara keras-keras, lukisan di dinding akan hidup dan menegurnya.
Di ruang makan, Leonard sudah duduk. Seperti biasa, rapi. Seperti biasa, tablet di tangan. Seperti biasa, tak langsung menyapa.
Tapi pagi ini, ada sesuatu yang berbeda.
“Grooming team bilang kamu cepat beradaptasi,” ujarnya sambil menyesap kopi.
Reyna hanya mengangguk pelan. Ia masih belum terbiasa menjawabnya kecuali ditanya langsung.
“Kamu akan belajar cara memperkenalkan diri di depan kolega. Hari ini kamu ikut ke kantor.”
Reyna terdiam. Matanya terangkat perlahan. “Kantor… Kamu?”
Menghela nafas berat, “Kita sudah menikah, Reyna. Kamu bagian dari portofolio sosialku sekarang. Orang-orang perlu melihatmu.”
Kalimat itu terdengar dingin, tapi bukan penghinaan. Lebih seperti fakta yang tak bisa ditawar.
“Umh, memangnya.. Apa yang harus aku lakukan di sana?”
“Kau hanya perlu berdiri di sisiku. Senyum. Jangan bicara kecuali perlu.”
Reyna menelan ludah. Setiap hari bersama pria ini seperti sedang mengikuti ujian nasional—tanpa tahu soal apa yang akan keluar.
---
Setelah sarapan, ia dibawa ke ruang wardrobe pribadi yang berada di lantai dua mansion. Ruangan itu seukuran apartemen kecil. Puluhan setelan dress digantung rapi, deretan sepatu tertata dalam kaca tembus pandang, dan meja rias dengan cermin bulat menyala lembut.
Nyonya Sofia sudah menunggu di dalam, berdiri dengan tangan bersilang dan pandangan tajam.
“Saya yang akan mengajarkan Ibu etika dasar di rumah ini,” katanya tegas, menggunakan sapaan formal untuk Reyna. “Panggilan 'Ibu' mulai digunakan hari ini.”
“Ibu…?” gumam Reyna.
Nyonya Sofia mendekat, memperbaiki kerah blus Reyna. “Tuan Leonard memanggil Anda Reyna. Tapi staf rumah ini akan memanggil Anda Ibu Leonard, atau Ibu, sesuai status Anda.”
Status. Kata yang terasa terlalu besar untuk dirinya.
“Dan satu lagi,” tambah Nyonya Sofia. “Paviliun tempat Anda tinggal sebelumnya hanya dipakai tamu. Tuan memerintahkan agar kamar Ibu dipindahkan ke sayap utama. Dekat kamar beliau.”
Jantung Reyna nyaris berhenti. “Kamar... Ku?”
Nyonya Sofia hanya mengangguk. “Tidak perlu cemas. Ada kunci dan batas privasi. Tapi itu perintah.”
---
Beberapa jam kemudian, Reyna berada di dalam mobil hitam elegan, duduk di sebelah Leonard. Jarak mereka tetap. Sunyi tetap. Tapi… entah kenapa tidak seburuk kemarin.
“Kamu tidak tanya kenapa aku memilihmu?” tanya Leonard tiba-tiba, masih menatap jalan.
Reyna menoleh pelan. “Aku pikir… itu tidak sopan..”
Leonard hanya mengangguk tipis, lalu berkata:
“Baik. Karena kalau kamu tanya, aku juga belum tentu bisa jawab.”
Reyna membeku.
Ia tidak tahu apakah itu berarti Leonard menyesal… atau justru tidak ingin terlalu dalam. Yang jelas, hatinya berdenyut aneh. Antara takut dan penasaran.
Mobil berhenti di lampu merah.
Leonard menoleh sekilas padanya. “Kamu punya kebiasaan aneh?”
Reyna mengerutkan dahi. “Umh, maksud Kamu?”
“Seperti menggigit kuku. Atau berjalan saat tidur.”
Reyna bingung. “Tidak.. Kenapa?”
“Kalau kamu tiba-tiba berjalan malam-malam di mansion ini, kamu bisa membuat masalah.”
Reyna tercengang. “Masalah... seperti apa?”
Tapi lampu sudah hijau. Mobil melaju lagi. Leonard tak menjawab.