Mobil hitam itu meluncur mulus melewati gerbang keamanan gedung pencakar langit yang megah. Logo perusahaannya—Alvaro Corp—terpampang mencolok di fasad kaca, memantulkan cahaya matahari pagi seperti peringatan halus akan dunia kelas atas yang sebentar lagi akan Reyna masuki.
Di sampingnya, Leonard duduk tanpa suara. Setelan abu-abu gelap yang membingkai tubuh jangkungnya tampak seperti dirancang khusus untuknya. Dasinya hitam polos, presisi. Aura pria itu sangat berbeda dari semalam. Dingin, fokus, dan tak tersentuh.
Ketika pintu mobil dibuka oleh salah satu staf, Reyna turun dengan sedikit gugup. High heels baru yang dikenakannya membuat langkahnya kurang stabil. Ia mengenakan dress soft beige selutut, rambutnya ditata low bun elegan. Make-up natural namun flawless—hasil tangan para ahli dari departemen grooming Leonard yang telah mendandaninya pagi tadi.
Mata-mata mulai menoleh. Beberapa karyawan membungkuk sopan pada Leonard, lalu menatap Reyna dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Selamat pagi, Tuan Leonard.”
“Selamat pagi, Tuan.”
Leonard hanya mengangguk singkat. Langkahnya panjang dan mantap saat memasuki lift khusus ke lantai tertinggi.
Saat pintu lift tertutup, Reyna menarik napas dalam-dalam. Perutnya mual. Bukan karena lapar—tapi karena gugup. Ia merasa seperti boneka porselen yang dilempar ke galeri museum elit.
“Tenang saja,” kata Leonard tiba-tiba, tanpa menoleh. “Mereka akan terbiasa denganmu.”
“Denganku?”
“Dengan keberadaanmu di sampingku.”
Reyna tak tahu harus senang atau takut mendengarnya.
---
Lantai eksekutif kantor Leonard seperti dunia lain. Marmer putih mengilap, lukisan-lukisan kontemporer, tanaman indoor eksotis. Beberapa pria dan wanita berpenampilan rapi menatap saat Leonard masuk bersama Reyna.
Seorang wanita cantik dengan rambut hitam bergelombang menghampiri mereka. Matanya menajam begitu melihat Reyna, namun senyum profesional segera terpasang.
“Selamat pagi, Tuan Leonard. Meeting Anda dengan investor dari Seoul dijadwalkan pukul sebelas.”
Leonard mengangguk. “Ini Reyna. Istriku. Pastikan semua orang tahu.”
Wanita itu tampak sedikit terkejut. “Tentu, Tuan.” Lalu menoleh pada Reyna. “Selamat datang di kantor, Nona Reyna. Saya Camilla, sekretaris pribadi Tuan Leonard.”
Reyna mengangguk, mencoba tersenyum.
‘Sekretaris pribadi...?’
“Senang bertemu denganmu.”
Camilla tersenyum balik, tapi sorot matanya menusuk. “Pasti menyenangkan menjadi Anda.”
Kalimat itu terdengar ringan, tapi punya cakar tak terlihat.
---
Beberapa jam kemudian, Leonard mengajak Reyna makan siang di lounge rooftop kantor. Angin lembut bertiup, pemandangan kota terlihat menakjubkan dari ketinggian. Lounge itu sepi, hanya ada mereka berdua.
Leonard menuangkan teh ke cangkir Reyna tanpa berkata apa-apa. Reyna hanya memandangi tangan pria itu—tenang, mantap, penuh kendali.
“Kamu ingin bekerja di sini?” tanya Leonard tiba-tiba.
Reyna mengerjap. “Bekerja?”
“Kalau kamu bosan di rumah. Aku bisa mencarikanmu posisi. Tapi hanya kalau kamu mau.”
Reyna berpikir sejenak. “Aku belum tahu... sepertinya terlalu banyak yang harus aku pelajari dulu.”
“Pelajari. Aku tidak menikahi orang yang suka diam di zona nyaman, Reyna.”
Ucapannya seperti pujian, tapi terasa seperti tantangan baginya.
---
Saat Leonard kembali ke ruang meeting, Reyna ditinggalkan sejenak di ruang lounge. Tak lama, Camilla masuk bersama dua staf wanita lain. Mereka berpura-pura mengambil kopi, tapi suara mereka jelas diarahkan padanya.
“Cantik juga ya... Tuan Leonard biasanya tidak tertarik dengan tipe seperti itu.”
“Yah, selera orang bisa berubah... kadang dari caviar ke tahu goreng.”
Tawa kecil mereka terdengar menusuk. Reyna hanya diam, tangan di pangkuan, berusaha tak menunjukkan reaksi.
Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai mengeras.
---
Sore harinya, saat duduk di dalam mobil menuju pulang, Reyna menatap bayangannya di kaca jendela.
Perempuan dalam refleksi itu cantik, anggun, elegan. Tapi dia merasa kosong.
Leonard melirik dari sisi. “Kamu melakukannya dengan baik hari ini.”
Reyna hanya mengangguk. Tak bisa menjawab.
Dan dalam hatinya, ia bertanya, ‘Seberapa lama aku bisa bertahan di dunia seperti ini... tanpa kehilangan siapa diriku sebenarnya?’