Bagian 1
Sinar matahari sore yang menembus jendela-jendela kotor toko mainan tua itu menciptakan pilar-pilar cahaya berdebu, menerangi partikel-partikel yang melayang di udara seperti kunang-kunang mikroskopis. Udara terasa pengap, berbau kayu lapuk dan plastik tua. Di tengah keheningan yang hanya dipecahkan oleh napas Kael sendiri dan isak tangis spektral yang mulai mereda, ia berjongkok di hadapan Phantasm anak laki-laki itu. Sosok transparannya masih memancarkan kesedihan, namun intensitasnya telah berkurang, digantikan oleh semacam keingintahuan yang ragu-ragu.
"Jadi... teman mainmu," Kael memulai lagi, suaranya dijaga agar tetap lembut, seolah berbicara pada seekor burung kecil yang terluka. "Apa kau ingat seperti apa bentuknya? Atau warnanya?"
Phantasm anak itu menggeleng pelan, bibir spektralnya bergetar. "Tidak... hanya... dia selalu di sana. Di rak itu." Ia menunjuk lagi ke rak kosong yang sama, tatapannya penuh kerinduan yang menyayat. "Dia membuatku... tidak sendirian."
Kael mengangguk mengerti. Perasaan itu—keterikatan pada sesuatu yang memberikan rasa aman dan persahabatan di tengah kesunyian—mulai beresonansi dalam dirinya. Ia teringat masa kecilnya sendiri, bagaimana sebuah boneka beruang lusuh menjadi teman setianya saat ia harus tinggal di rumah sendirian ketika orang tuanya bekerja lembur. Perasaan kehilangan yang dirasakan Phantasm ini, meskipun wujudnya berbeda, pada intinya adalah emosi manusiawi yang universal.
"Vance, apa ada perkembangan?" Suara Rina terdengar lagi di earpiece, kali ini nadanya sedikit lebih sabar, meskipun masih ada sentuhan skeptis yang tak bisa disembunyikan. "Sensor kami masih mendeteksi fluktuasi energi, tapi polanya berubah. Lebih stabil."
"Dia bilang dia kehilangan teman mainnya," Kael menjawab pelan, matanya tidak lepas dari Phantasm anak itu. "Dia tidak ingat detailnya, hanya tahu benda itu biasanya ada di rak kosong itu."
"Sebuah objek fisik? Itu tidak biasa untuk Phantasm tingkat Echo. Biasanya mereka adalah manifestasi murni dari emosi sisa atau trauma lokasi," komentar Rina, terdengar seperti sedang membaca laporan data.
"Mungkin... mungkin emosinya begitu terikat pada objek itu sehingga menjadi jangkar bagi keberadaannya di sini," Kael berteori, lebih berdasarkan intuisinya daripada pengetahuan ilmiah. Ia bangkit perlahan. "Aku akan coba melihat-lihat di sekitar rak itu. Mungkin hanya terjatuh atau terselip."
Phantasm anak itu memperhatikan setiap gerakan Kael dengan mata spektralnya yang besar. Kael mendekati rak kayu yang sudah reyot itu. Debu tebal menyelimutinya, kecuali satu area persegi panjang yang lebih bersih, tempat "teman main" itu dulu berada. Ia berjongkok, meneliti lantai di bawah rak dan celah-celah di sekitarnya. Toko itu dipenuhi tumpukan barang-barang yang tidak teratur, kotak-kotak kardus yang penyok, dan mainan-mainan yang berserakan.
"Apa mungkin ada di dalam salah satu kotak ini?" Kael bergumam, menunjuk ke beberapa kotak kardus yang ditumpuk di sudut.
Phantasm anak itu hanya menatap kosong, seolah ide untuk mencari belum pernah terpikirkan olehnya, atau ia terlalu tenggelam dalam kesedihannya untuk mencoba.
Kael mulai membuka salah satu kotak dengan hati-hati. Isinya adalah boneka-boneka kain yang sudah kusam dan berbau apek. Bukan itu. Kotak berikutnya berisi balok-balok bangunan kayu yang beberapa di antaranya sudah hilang. Juga bukan. Ia terus mencari, kotak demi kotak, sementara Phantasm anak itu hanya diam memperhatikan, isak tangisnya kini telah berhenti sepenuhnya, digantikan oleh semacam penantian yang tegang.
Perasaan Kael sendiri bercampur aduk. Ada bagian dari dirinya yang merasa ini konyol—ia, seorang siswa SMA, bermain detektif mencari mainan hantu di toko berdebu. Tapi ada bagian lain, bagian yang lebih kuat, yang merasakan urgensi untuk membantu. Resonansi emosional yang ia rasakan dari Phantasm itu bukan hanya kesedihan pasif; ada secercah harapan yang baru mulai tumbuh, harapan yang dipicu oleh kehadiran dan upaya Kael. Ia tidak ingin memadamkan harapan itu.
"Vance, kami mendeteksi sesuatu," suara Rina tiba-tiba memecah konsentrasi Kael. "Ada konsentrasi energi residu yang sangat lemah di bawah tumpukan buku tua di dekat jendela belakang. Polanya cocok dengan energi emosional Phantasm."
"Jendela belakang?" Kael menoleh. Di sudut terjauh toko, dekat jendela yang kacanya pecah sebagian, ada tumpukan buku cerita anak-anak yang menguning dan robek. "Terima kasih, Rina."
Ia berjalan menuju tumpukan buku itu. Phantasm anak itu, untuk pertama kalinya, bergerak dari tempatnya, melayang pelan mengikuti Kael dari belakang, menjaga jarak beberapa langkah.
Dengan hati-hati, Kael mulai memindahkan buku-buku itu satu per satu. Debu beterbangan, membuat hidungnya gatal. Dan kemudian, di bawah buku terakhir, ia melihatnya.
Sebuah kotak musik kecil berbentuk persegi, terbuat dari kayu gelap yang sudah usang. Permukaannya sedikit tergores, dan engsel logamnya berkarat. Tapi ada sesuatu yang familier tentang bentuk dan ukurannya, cocok dengan area bersih di rak tadi.
"Apakah... apakah ini?" Kael bertanya, mengambil kotak musik itu dan berbalik menghadap Phantasm anak itu.
Mata spektral anak itu melebar. Cahaya dari tubuhnya tiba-tiba berdenyut lebih terang, namun kali ini bukan karena kesedihan atau ketidakstabilan. Ada getaran yang berbeda, sesuatu yang Kael rasakan sebagai... pengenalan. Kegembiraan yang tertahan.
Anak itu mengulurkan tangan transparannya yang gemetar ke arah kotak musik itu, namun tangannya menembus begitu saja. Ekspresi kekecewaan melintas di wajah spektralnya.
Kael mengerti. Phantasm itu tidak bisa berinteraksi langsung dengan dunia fisik.
"Biar aku coba," kata Kael lembut. Ia memutar kunci kecil di samping kotak musik itu. Awalnya macet, tapi setelah beberapa kali mencoba dengan hati-hati, kunci itu berputar.
Dan kemudian, sebuah melodi sederhana, sedikit fals namun manis, mulai mengalun dari dalam kotak musik itu. Melodi yang membawa nuansa nostalgia dan kepolosan masa kecil.
Bagian 2
Saat melodi kotak musik itu memenuhi udara toko yang senyap, sesuatu yang luar biasa terjadi. Cahaya yang memancar dari Phantasm anak itu mulai bersinar semakin terang, namun kali ini bukan dengan energi yang kacau atau menyedihkan. Cahaya itu hangat, lembut, dan penuh kedamaian. Sosok transparannya perlahan mulai memudar, bukan menghilang paksa, melainkan seolah-olah larut dengan anggun ke dalam cahaya itu sendiri.
Air mata spektral masih mengalir di pipinya, tapi kini bukan air mata kesedihan, melainkan kelegaan. Sebuah senyuman tipis, senyuman pertama yang Kael lihat, terukir di wajah spektralnya.
"Te... ri... ma... ka... sih..." Bisikan suaranya, lebih jernih dari sebelumnya, terdengar seperti gema terakhir dari sebuah lagu yang indah.
Kemudian, dengan denyutan cahaya terakhir yang lembut, Phantasm anak itu lenyap sepenuhnya. Melodi kotak musik masih terus mengalun, mengisi kekosongan yang ditinggalkannya. Perasaan berat dan kesedihan yang tadi menyelimuti toko itu kini telah sirna, digantikan oleh atmosfer yang tenang dan damai, meskipun masih sedikit melankolis.
Kael berdiri termangu, memegang kotak musik yang masih memainkan melodinya. Ia berhasil. Entah bagaimana, ia berhasil. Ia tidak melawan, tidak menghancurkan. Ia hanya... mendengarkan, merasakan, dan mencoba membantu.
Sebuah kehangatan yang aneh menyebar di dadanya. Kelelahan, tapi juga kepuasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Vance... laporan dari sensor... seluruh anomali energi Phantasm di lokasimu telah sepenuhnya netral. Tidak ada residu berbahaya. Distorsi emosional di area sekitar juga telah kembali normal," suara Rina terdengar di earpiece, kali ini tanpa sedikit pun nada skeptis. Hanya ada keterkejutan yang nyaris tak bisa disembunyikan. "Bagaimana... bagaimana kau melakukannya?"
Kael tersenyum kecil, menatap kotak musik di tangannya. "Aku hanya... membantunya menemukan apa yang hilang. Dan membiarkannya mendengar musiknya sekali lagi."
Ia bisa membayangkan Phantasm anak itu, mungkin dulu adalah anak sungguhan yang sangat menyayangi kotak musik ini. Mungkin ia meninggal atau menghilang dalam keadaan sedih karena kehilangan mainan kesayangannya, dan emosi kuat itu tertinggal di tempat ini, menjadi Phantasm yang merindukan "temannya". Melodi itu adalah pengingat terakhir akan kebahagiaan, sebuah penutup yang damai bagi keberadaannya yang terperangkap.
Setelah melodi berhenti, Kael meletakkan kotak musik itu kembali ke tempatnya semula di rak, di area yang bersih dari debu. Seolah mengembalikan sesuatu yang berharga ke rumahnya.
"Sudah selesai di sini," kata Kael pada Rina.
Ia berjalan keluar dari toko mainan itu, kembali ke cahaya matahari sore yang mulai meredup. Rina sudah menunggunya, bersandar di dinding seperti sebelumnya. Ekspresinya masih sulit dibaca, tapi Kael bisa melihat sedikit perubahan di matanya—sedikit rasa hormat, mungkin? Atau setidaknya, keingintahuan yang lebih besar.
"Kau... berhasil," kata Rina, seolah masih mencerna apa yang baru saja disaksikannya melalui sensor dan komunikasi Kael. "Tanpa satu pun tembakan. Tanpa kerusakan."
"Dia hanya... kesepian," jawab Kael pelan. "Dia hanya butuh didengarkan."
Rina terdiam sejenak, menatap Kael dengan pandangan yang sulit diartikan. "Komandan Thorne pasti ingin mendengar laporan lengkap tentang ini." Ia berhenti, lalu menambahkan, "Kau melakukannya dengan baik, Kaelen Vance."
Sebuah pujian, meskipun singkat dan datar, datang dari Rina Volkov terasa seperti sebuah pencapaian besar bagi Kael.
"Jadi... apa sekarang?" tanya Kael. "Apakah ini berarti aku... resmi menjadi bagian dari ini?"
Rina mengangguk. "Keputusan akhir ada padamu, tentu saja. Tapi setelah hari ini, aku rasa Ordo akan sangat tertarik untuk melanjutkan kerja sama denganmu." Ia menatap langit senja yang mulai berwarna jingga. "Phantasms seperti 'Lyra' jauh lebih kompleks dan berbahaya. Tapi mungkin... mungkin metode ini memang punya potensi."
Kael juga menatap langit. Bayangan sabit kosmik Lyra melintas lagi di benaknya. Jika ia bisa membantu Phantasm anak kecil tadi hanya dengan mendengarkan dan berempati, apakah mungkin ia juga bisa melakukan hal yang sama untuk Lyra? Phantasm yang memancarkan kesedihan begitu dalam di balik kekuatannya yang mengerikan.
Pikiran itu menakutkan, sekaligus... menarik.
"Aku akan memikirkannya," kata Kael. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia sudah membuat keputusan. Ia tidak bisa lagi kembali menjadi Kaelen Vance yang hanya berdiri di pinggir dan menonton. Retakan takdir telah terbuka di hadapannya, dan ia merasa terdorong untuk melangkah melaluinya.
Tiba-tiba, earpiece Rina berbunyi nyaring dengan nada peringatan darurat yang berbeda dari sebelumnya. Rina langsung menempelkan jarinya ke telinga, ekspresinya berubah serius.
"Ada apa, Rina?" tanya Kael cemas.
Rina mendengarkan sejenak, matanya melebar sedikit. Ia menatap Kael.
"Anomali Rift Lunanima baru saja terdeteksi. Skala besar. Di pusat kota." Ia berhenti, lalu menambahkan dengan suara yang lebih pelan, "Sensor awal mengindikasikan pola energi yang sangat mirip... dengan 'Lyra'."
Jantung Kael serasa berhenti berdetak. Lyra. Muncul lagi. Dan kali ini, di pusat kota.
Kesempatan untuk benar-benar memikirkan keputusannya sepertinya baru saja lenyap. Takdir bergerak lebih cepat dari yang ia duga.