Bagian 1
Langit senja yang tadinya melukis cakrawala Stellara dengan warna jingga dan ungu lembut kini mulai terkoyak. Di kejauhan, ke arah distrik pusat kota yang gemerlap, sebuah anomali spasial berdenyut-denyut seperti luka menganga di angkasa. Cahaya nila yang familiar, yang pernah Kael saksikan di distrik komersial dan dalam mimpinya yang menghantui, kini memancar dengan intensitas yang jauh lebih besar, menelan sebagian siluet gedung-gedung pencakar langit. Sirene peringatan darurat yang baru saja mereda kini kembali meraung dengan nada yang lebih mendesak, lebih panik, memecah keheningan sore yang baru saja mulai tenang.
"Lyra..." Nama itu lolos dari bibir Kael seperti bisikan, bercampur dengan deru sirene yang semakin dekat. Jantungnya yang tadi sempat merasakan sedikit kelegaan setelah "menyelesaikan" kasus Phantasm anak kecil, kini kembali berpacu kencang, dipenuhi campuran antara ketakutan, antisipasi, dan entah mengapa, secercah harapan yang aneh.
Rina Volkov sudah bergerak. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini menegang, matanya yang abu-abu baja memancarkan keseriusan seorang prajurit di medan perang. Ia menekan earpiece-nya lebih erat.
"Status Rift? Estimasi kemunculan Phantasm?" suaranya tajam dan profesional.
Hening sejenak saat ia mendengarkan laporan. Kael hanya bisa berdiri terpaku, menatap ke arah pusat kota dengan perasaan tak menentu. Orang-orang di jalanan yang tadi mulai beraktivitas normal kini kembali berlarian panik, mencari shelter terdekat. Suasana damai yang baru saja ia rasakan di toko mainan tua itu terasa seperti mimpi yang jauh.
"Dipastikan. Pola energi identik dengan subjek 'Lyra'. Tingkat ancaman: Nova-Prime. Prediksi manifestasi penuh dalam... tujuh menit." Rina menurunkan tangannya, tatapannya bertemu dengan Kael. "Ini jauh lebih cepat dan lebih kuat dari kemunculannya yang pertama. Sesuatu telah memicunya."
"Memicunya?" Kael mengulang. "Apa maksudmu?"
"Entahlah. Mungkin keberadaan Phantasm Echo tadi, atau... sesuatu yang lain." Rina menggelengkan kepalanya. "Tidak ada waktu untuk analisis mendalam sekarang. Tim Respons Cepat sudah dikerahkan. Komandan Thorne memerintahkan kita segera menuju titik observasi terdekat."
Ia menunjuk sebuah van hitam tanpa penanda yang tiba-tiba berhenti di ujung jalan, seolah muncul dari ketiadaan. Dua personel Ordo berseragam taktis keluar dan memberi hormat singkat pada Rina.
"Naik, Vance," perintah Rina, sudah melangkah menuju van.
Kael ragu sejenak. Ini bukan lagi Phantasm kecil di toko mainan yang sepi. Ini Lyra. Phantasm yang mampu meratakan separuh distrik komersial dengan satu ayunan sabitnya. Phantasm yang bertarung seimbang dengan Rina yang bersenjata lengkap. Apa yang bisa ia lakukan?
Tapi kemudian, bayangan wajah sedih Lyra, tatapan mata safirnya yang penuh kerinduan, melintas di benaknya. Jika ada kesempatan, sekecil apa pun, untuk memahami dan mungkin membantunya tanpa perlu pertempuran dahsyat...
"Aku ikut," kata Kael, lebih tegas dari yang ia duga. Ia berlari menyusul Rina dan masuk ke dalam van.
Interior van itu dipenuhi peralatan canggih dan monitor-monitor kecil yang menampilkan berbagai data. Salah satu personel langsung menyerahkan sebuah tablet pada Rina, yang mulai mempelajari informasi di layarnya dengan cepat.
"Kita akan menuju Gedung Observatorium Skyreach. Lantai teratasnya telah dikonversi menjadi pos komando sementara Ordo untuk situasi seperti ini," jelas Rina tanpa mengalihkan pandangan dari tablet. "Dari sana, kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan Komandan Thorne bisa memberikan arahan."
Van melaju dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalanan yang semakin sepi saat mereka mendekati pusat kota. Kael bisa merasakan getaran samar dari tanah, seolah kota itu sendiri menahan napas. Melalui jendela van, ia melihat kilatan-kilatan cahaya biru dan perak di langit—unit-unit tempur Ordo Chronosentinel, mungkin mirip dengan yang Rina gunakan, sudah bergerak menuju sumber Rift.
"Apakah... apakah mereka akan langsung menyerangnya?" tanya Kael, suaranya sedikit khawatir.
Rina akhirnya mengangkat kepalanya dari tablet, menatap Kael. "Protokol standar untuk Phantasm kelas Nova-Prime adalah penahanan segera. Jika penahanan gagal, atau jika Phantasm menunjukkan tingkat agresi yang membahayakan warga sipil secara masif, eliminasi akan dipertimbangkan."
Kata "eliminasi" terdengar begitu dingin dan final. Kael merasakan protes samar di dalam hatinya.
"Tapi... bagaimana jika dia tidak ingin bertarung?" Kael bertanya, teringat bagaimana Lyra tampak bingung dan defensif saat pertama kali muncul. "Bagaimana jika dia hanya... tersesat?"
Rina terdiam sejenak, tatapannya melembut sedikit, sangat sedikit, hampir tak terlihat. "Phantasms kelas Nova memiliki kekuatan untuk menyebabkan kehancuran skala besar hanya dengan keberadaan mereka, Vance. Niat mereka kadang menjadi tidak relevan jika dampaknya begitu merusak." Ia kembali menatap tablet. "Tapi Komandan Thorne setuju untuk memberimu kesempatan, berdasarkan laporan dari insiden di toko mainan tadi. Jika ada celah untuk berkomunikasi, untuk 'meresonansi' seperti yang kau lakukan, kita akan mencobanya terlebih dahulu."
Ada sedikit harapan dalam kata-kata itu. Kesempatan. Itu yang Kael butuhkan.
Bagian 2
Gedung Observatorium Skyreach menjulang tinggi di tepi distrik pusat kota, puncaknya yang berbentuk kubah berkilauan di bawah cahaya senja yang semakin memudar dan cahaya abnormal dari Rift Lunanima. Van berhenti di zona steril yang dijaga ketat oleh personel Ordo. Kael dan Rina segera digiring menuju lift khusus yang membawa mereka langsung ke lantai teratas.
Pos komando sementara itu jauh lebih kecil dari markas bawah tanah, namun sama canggihnya. Beberapa layar besar menampilkan citra langsung dari berbagai sudut di sekitar Rift, serta data telemetri yang terus berubah. Komandan Arisa Kirana, wali kelas Kael yang ternyata juga perwira tinggi Ordo, berdiri di tengah ruangan, memberikan instruksi dengan tenang namun tegas kepada beberapa operator. Kehadirannya yang biasanya ramah dan sedikit kikuk di sekolah kini lenyap, digantikan aura kompeten seorang pemimpin.
"Agen Volkov, Vance," sapa Bu Arisa—atau Komandan Kirana di sini—saat melihat mereka masuk. Senyum tipis tersungging di bibirnya, sedikit melegakan Kael di tengah ketegangan. "Kalian tepat waktu. Subjek 'Lyra' baru saja termanifestasi penuh."
Salah satu layar utama langsung beralih, menampilkan citra close-up. Di sana, di tengah kawah baru yang terbentuk di persimpangan jalan utama yang ramai, berdiri Lyra. Rambut peraknya berkibar ditiup angin spektral, gaun cahayanya berkilauan menantang kegelapan yang mulai turun. Dan di tangannya, sabit kosmik raksasa itu memancarkan aura dingin yang membuat bulu kuduk Kael berdiri.
Namun, kali ini ada yang berbeda. Lyra tidak tampak bingung atau defensif seperti sebelumnya. Ekspresinya... kosong. Matanya yang biru safir menatap lurus ke depan tanpa fokus, seolah melihat sesuatu yang tidak ada di sana. Aura kesedihan yang mendalam masih terpancar darinya, namun kini bercampur dengan semacam kehampaan yang menakutkan.
"Dia... dia tidak menyerang?" Kael bertanya, melihat Lyra hanya berdiri diam. Unit-unit tempur Ordo terlihat melayang di sekitarnya, menjaga jarak aman, tidak melakukan tindakan ofensif.
"Belum," jawab Komandan Kirana. "Tapi energi di sekitarnya sangat tidak stabil. Seperti badai yang siap meledak kapan saja. Tim kami melaporkan distorsi emosional yang sangat kuat di area tersebut—perasaan putus asa dan kehampaan absolut yang mempengaruhi semua orang dalam radius beberapa blok."
Kael bisa merasakannya bahkan dari sini, meskipun samar. Gelombang depresi yang dingin dan menusuk, membuat hatinya terasa berat. Ini jauh lebih kuat dari Phantasm anak kecil tadi.
"Apa yang terjadi padanya?" bisik Kael.
"Itu yang harus kita cari tahu," Komandan Kirana menoleh pada Kael. "Vance, aku tahu ini permintaan besar, tapi bisakah kau mencoba menjangkau dia? Melalui 'Resonansi Emosi'-mu?"
Semua mata di ruangan itu kini tertuju pada Kael. Tekanan itu terasa nyata.
Rina melangkah maju, menyerahkan sebuah headset komunikasi yang lebih canggih pada Kael. "Ini akan menghubungkanmu langsung dengan sistem kami dan memberimu perlindungan sensorik dasar. Aku akan mendampingimu di lapangan, tapi dari jarak aman. Kita tidak bisa mengambil risiko konfrontasi langsung tanpa mencoba jalur damai terlebih dahulu."
Kael menatap Rina, lalu ke layar yang menampilkan Lyra, lalu kembali ke Komandan Kirana. Pilihan ada di tangannya. Mundur sekarang berarti membiarkan Ordo mengambil alih dengan cara mereka, yang kemungkinan besar akan berakhir dengan pertempuran dan kehancuran. Maju berarti melangkah ke dalam badai emosi yang tidak diketahui, menghadapi Phantasm yang kekuatannya bisa melenyapkannya dalam sekejap.
Ia teringat melodi kotak musik, senyum damai Phantasm anak kecil itu saat ia menghilang. Ia teringat tatapan mata Lyra yang penuh kerinduan.
"Aku... aku akan melakukannya," kata Kael, suaranya lebih mantap dari yang ia perkirakan.
Komandan Kirana mengangguk, ekspresinya serius namun ada secercah harapan di matanya. "Baiklah. Tim Alpha, siapkan jalur aman untuk Vance dan Agen Volkov. Semua unit lain, tetap pada posisi bertahan, jangan memprovokasi subjek 'Lyra' kecuali ada perintah langsung dari saya."
Perintah-perintah mulai diteriakkan, operator sibuk di konsol mereka. Rina menepuk bahu Kael.
"Siap?"
Kael menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar seperti genderang perang. "Siap."
Mereka kembali ke lift, kali ini menuju salah satu pintu keluar darurat yang mengarah ke atap gedung yang lebih rendah, yang memiliki akses langsung ke jalanan di bawah, lebih dekat ke lokasi Lyra. Angin malam mulai berhembus, membawa hawa dingin dan aroma ozon yang aneh dari Rift.
Saat mereka melangkah keluar ke platform atap, Kael bisa melihat Lyra dengan mata kepalanya sendiri, meskipun masih dari kejauhan. Sosoknya yang bersinar di tengah puing-puing kota tampak begitu rapuh sekaligus mengancam.
"Ingat, Vance," kata Rina, suaranya terdengar jelas melalui headset. "Fokus pada emosinya. Jangan biarkan kekuatan atau penampilannya mengintimidasimu. Jika kau merasakan sesuatu, apa pun itu, sampaikan padaku."
Kael mengangguk. Ia memejamkan matanya sejenak, mencoba mengosongkan pikirannya dari rasa takut, mencoba meraih resonansi samar yang pernah ia rasakan dari Lyra.
Perlahan, sangat perlahan, ia mulai merasakannya lagi. Bukan hanya kesedihan atau kehampaan yang tadi ia rasakan dari jauh. Ada sesuatu yang lain, terkubur lebih dalam. Sebuah melodi yang terputus-putus, sebuah nyanyian tanpa kata, penuh dengan kehilangan yang tak terperi. Seperti bintang yang kehilangan cahayanya, seperti semesta yang merindukan lagunya yang hilang.
Nyanyian badai. Nyanyian Lyra.
Dan Kael tahu, ia harus menemukan cara untuk mendengarkannya hingga tuntas.