Prolog: Kanvas yang Memudar

Namanya Julian. Ia adalah seorang seniman jalanan. Kanvasnya adalah dinding-dinding usang di gang-gang terlupakan Distrik Seniman Lama, tempat di mana kreativitas pernah mekar sebelum digantikan oleh kilau neon dari pusat kota. Baginya, warna adalah segalanya. Warna adalah emosi, kehidupan, dan cerita. Merah adalah gairah kemarahan, biru adalah kedalaman kesedihan, dan kuning adalah ledakan kebahagiaan yang singkat.

Malam itu, Julian sedang mengerjakan karya terbarunya di sebuah dinding bata yang besar. Sebuah mural yang menggambarkan debaran jantung kota Stellara, penuh dengan warna-warna cerah yang kontras. Ia merasakan aliran inspirasi yang deras, kuasnya menari di atas permukaan dinding, mencipratkan cat akrilik di bawah cahaya remang lampu jalan.

Tiba-tiba, ia merasakannya. Sensasi aneh yang dingin, merayap perlahan seperti kabut.

Pertama, ia kehilangan fokus. Aliran inspirasinya yang tadi deras kini menjadi tetesan yang ragu-ragu. Ia menatap karyanya, dan entah kenapa, warna-warna yang tadi tampak begitu hidup kini terlihat… dangkal. Merah tidak lagi terasa marah, hanya sekadar pigmen. Biru tidak lagi terasa sedih, hanya noda.

"Aneh…" gumamnya, menggelengkan kepala mencoba mengusir perasaan itu.

Ia mencoba mencelupkan kuasnya ke dalam kaleng cat kuning cerah. Tapi saat ia mengangkatnya, cat yang menetes dari kuas itu tampak pucat, warnanya seolah tersedot oleh sesuatu yang tak terlihat. Ia menoleh ke kaleng-kaleng catnya yang lain. Semuanya tampak kusam, kehilangan saturasinya, seolah ditutupi selapis debu kelabu yang tak kasat mata.

Rasa panik yang dingin mulai menjalari dirinya. Ia melihat sekeliling. Lampu jalan yang tadinya memancarkan cahaya oranye hangat kini tampak putih pucat. Grafiti berwarna-warni di dinding seberang gang mulai memudar, warnanya luntur seperti cat air yang disiram air. Bahkan langit malam yang seharusnya hitam pekat kini tampak seperti gradasi abu-abu yang tak berujung.

Dunianya kehilangan warna.

Dan bersama dengan warna, emosinya pun ikut terkuras. Rasa panik yang tadi ia rasakan berubah menjadi apatis. Kegelisahannya menjadi ketenangan yang hampa. Ia tidak lagi merasa takut, tidak juga bingung. Ia hanya… ada.

Kemudian, di ujung gang yang remang-remang, ia melihat sesosok figur.

Seorang gadis kecil, mungkin berusia sekitar dua belas tahun, berdiri di sana. Rambut biru mudanya yang sangat panjang diikat menjadi dua ekor kuda rendah, menjuntai seperti tirai pucat. Ia mengenakan gaun putih sederhana dengan kerah hitam, dihiasi baret miring di kepalanya. Di tangannya yang kecil, ia menggenggam sebuah kuas besar yang tampak terlalu berat untuknya, meneteskan cairan kelabu pekat ke aspal.

Gadis itu tidak beralas kaki. Kakinya yang pucat melangkah tanpa suara di atas jalanan yang warnanya semakin memudar. Ia tidak menatap Julian. Matanya yang biru kelabu yang besar menatap kosong ke depan, seolah melihat dunia lain yang hanya ia yang bisa lihat.

Ia mengangkat kuas besarnya, bukan dengan niat menyerang, tapi dengan gerakan seorang seniman yang lelah. Ia mengayunkan kuas itu dengan lembut di udara.

Saat itu juga, sisa warna terakhir di dunia Julian lenyap. Muralnya yang tadi penuh warna kini menjadi sketsa arang yang buram. Gang tempatnya berdiri menjadi pemandangan monokrom yang datar dan tanpa kehidupan.

Julian tidak lagi merasakan apa-apa. Ia tidak merasakan dinginnya malam, tidak merasakan lelah di tubuhnya, tidak merasakan apa pun. Ia hanya berdiri diam seperti patung, kuasnya terkulai di sisinya. Dunianya kini sunyi. Dunianya kini tenang. Dunianya kini… sempurna.

Dan di tengah keheningan kanvas barunya, sang pelukis kecil itu terus berjalan, meninggalkan jejak dunia tanpa warna di belakangnya.