Bagian 1
Suasana piknik yang damai itu pecah saat Kael merasakan gelombang panas yang aneh. Rasanya hanya sedetik, seperti saat membuka oven yang sangat panas, lalu hilang.
"Kalian merasakannya?" tanya Kael.
Elara, yang masih sibuk dengan gelembung sabunnya, menggelengkan kepala. "Apanya? Angin?"
Tapi Rina dan Lyra langsung waspada.
"Bukan," kata Rina. Ia berdiri, matanya mengamati sekeliling dengan tajam. "Itu anomali termal. Lemah, tapi tidak normal."
"Panas," Lyra menambahkan. Ia menatap ke arah pusat kota. "Seperti ada sesuatu yang marah di kejauhan."
Ponsel Rina bergetar. Panggilan prioritas. Ia segera menjawabnya.
"Dimengerti," katanya singkat, lalu menutup panggilan. Wajahnya kini serius. "Itu pos komando. Laporan yang sama datang dari beberapa lokasi lain di seluruh kota. Gelombang panas singkat tanpa sumber yang jelas."
Kael langsung teringat pesan terakhir dari pemimpin Crimson Hunt. Sang Penguasa Api. Firasat buruk menjalari punggungnya.
"Phantasm baru," kata Kael pelan.
"Kemungkinan besar," Rina setuju. "Tapi polanya aneh. Tidak ada Rift. Ini lebih seperti… seseorang sedang menguji coba korek api di berbagai tempat."
Mereka memutuskan untuk segera mengakhiri piknik. Suasana ceria telah hilang, digantikan oleh ketegangan yang terasa berat. Dalam perjalanan pulang, Kael terus melirik ke arah Lyra dan Chroma. Keduanya tampak gelisah. Lyra terus menatap ke luar jendela mobil dengan tatapan waspada, sementara Chroma memeluk buku sketsanya lebih erat dari biasanya.
Mereka juga merasakannya, pikir Kael. Ancaman baru ini membuat mereka tidak nyaman.
Malam itu, Kael tidak bisa tidur. Ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit. Pikirannya terus berputar. Apakah ini ulah "Tuan" dari Crimson Hunt itu? Apakah "Penguasa Api" adalah Phantasm berikutnya yang harus ia hadapi?
Merasa haus, ia bangkit dan berjalan ke dapur. Saat melewati ruang keluarga, ia melihat siluet Lyra dan Chroma berdiri di depan jendela besar, menatap lampu-lampu kota.
"Kalian belum tidur?" tanya Kael.
"Tidak bisa," jawab Lyra. "Udara malam ini terasa… kering. Dan marah."
"Panas," hanya itu yang dikatakan Chroma, suaranya nyaris tak terdengar.
Kael berdiri di samping mereka, ikut menatap pemandangan kota. "Apapun itu, kita akan menghadapinya bersama."
Saat ia mengatakan itu, ponselnya yang tergeletak di meja kopi bergetar hebat. Panggilan masuk dari Rina. Ini aneh, Rina tidak pernah menelepon selarut ini kecuali ada keadaan darurat.
Kael segera mengangkatnya.
"Kael! Nyalakan saluran berita!" Suara Rina terdengar mendesak.
Kael segera menyalakan layar holografik di dinding. Saluran berita lokal menampilkan siaran langsung dari Distrik Industri Barat. Gambar yang ditampilkan membuat darah Kael terasa membeku.
Sebuah pabrik tua dilalap api yang berkobar hebat. Tapi ini bukan api biasa. Apinya berwarna merah kehitaman, dan seolah menari-nari dengan ganas, membentuk pilar-pilar yang menjilat langit malam.
"Kebakaran hebat melanda sebuah pabrik tua yang sudah lama tidak terpakai," suara reporter terdengar panik. "Penyebab kebakaran masih belum diketahui, dan tim pemadam kebakaran melaporkan kesulitan untuk memadamkan api yang tampaknya membakar tanpa bahan bakar."
"Ini bukan kebakaran biasa," bisik Lyra, matanya terpaku pada layar. "Ini adalah manifestasi."
Lalu, kamera drone berita menyorot ke puncak gedung pabrik yang terbakar. Di tengah kobaran api, sesosok figur berdiri. Sosok seorang gadis berambut merah menyala, mengenakan armor hitam. Ia hanya berdiri diam, membiarkan api menjilat tubuhnya seolah itu adalah selimut yang nyaman.
Itu Ignis.
"Dia muncul," kata Rina dari seberang telepon. "Lebih cepat dari yang kita duga. Ordo sedang menuju ke sana. Tetap di apartemen, Kael! Jangan ke mana-mana!"
Tapi Kael tidak mendengarkan bagian terakhir. Pikirannya kosong. Musuh baru mereka telah menunjukkan dirinya. Dan ia melakukannya dengan cara yang paling terang-terangan dan destruktif.
Bagian 2
Di lokasi kebakaran, Rina mendarat dengan gesit dari sebuah transport Ordo, sudah mengenakan Chrono-Gear lengkap. Beberapa unit Ordo lainnya sudah membentuk perimeter, berusaha menahan api spektral itu agar tidak menyebar.
"Laporan situasi!" perintah Rina pada kapten tim terdekat.
"Api ini tidak bisa dipadamkan dengan air atau busa kimia, Komandan Volkov!" lapor kapten itu. "Suhu di pusatnya luar biasa tinggi. Dan Phantasm itu… dia hanya berdiri di sana, seolah sedang menikmati pertunjukannya."
Rina mendongak, menatap Ignis yang berdiri di puncak neraka ciptaannya. Ia bisa merasakan gelombang kemarahan murni yang memancar dari Phantasm itu, bahkan dari jarak ini. Ini sangat berbeda dari Lyra atau Chroma. Tidak ada kesedihan, tidak ada kerinduan. Hanya amarah yang membara.
"Rina, apa kau bisa berkomunikasi dengannya?" Suara Komandan Kirana terdengar di headset-nya.
"Aku akan coba," jawab Rina. Ia mengaktifkan pengeras suara di helmnya. "Phantasm tak dikenal! Atas nama Ordo Chronosentinel, hentikan tindakanmu dan menyerahlah!"
Di atas sana, Ignis akhirnya bergerak. Ia menunduk, matanya yang berwarna oranye-emas seolah menembus kegelapan dan menatap lurus ke arah Rina.
Sebuah seringai muncul di wajahnya.
"Menyerah? Pada anjing-anjing penjaga manusia?" suaranya yang serak dan penuh cemooh menggema di udara. "Aku tidak di sini untuk menyerah. Aku di sini untuk memberikan peringatan."
Ia mengangkat pedang besarnya, Laevateinn, yang langsung diselimuti api yang lebih panas dan lebih terang.
"Rising Phoenix!"
Dengan satu ayunan ke bawah, ia melepaskan gelombang api berbentuk burung feniks raksasa. Serangan itu tidak diarahkan pada Rina atau unit Ordo. Serangan itu diarahkan ke gedung pencakar langit kosong di sebelahnya.
Ledakan yang dihasilkan begitu dahsyat. Separuh gedung itu hancur dalam sekejap, runtuh menjadi puing-puing yang membara.
Semua orang yang ada di sana terkesiap ngeri. Ini adalah demonstrasi kekuatan yang brutal dan tanpa ampun.
"Ini hanya pemanasan," kata Ignis, suaranya penuh dengan kegembiraan yang kejam. "Aku mencari seseorang. Seorang anak laki-laki bernama Kaelen Vance. Bawa dia padaku."
Ia menancapkan pedangnya ke atap gedung yang meleleh. "Jika tidak, seluruh kota ini akan menjadi panggung pemanasanku selanjutnya."
Di ruang komando, Komandan Kirana mengepalkan tangannya. "Dia tahu nama Kael. Alaric sengaja membocorkannya."
Di apartemen, Kael, Lyra, dan Chroma menyaksikan semuanya dari layar. Wajah Kael pucat pasi.
Musuh ini berbeda. Musuh ini tidak hanya ingin menghancurkan. Ia secara spesifik mengincar dirinya.
"Aku… aku harus pergi ke sana," kata Kael.
"Tidak!" Lyra langsung berdiri di depannya. "Dia ingin membunuhmu! Aku tidak akan membiarkannya!"
"Tapi jika aku tidak pergi, dia akan membakar seluruh kota, Lyra!" Kael balas berargumen.
Ketukan pintu yang keras dan mendadak membuat mereka semua tersentak.
Bukan pintu depan. Tapi pintu balkon.
Rina Volkov, masih dengan Chrono-Gear lengkap, berdiri di sana, baru saja mendarat dengan pendorongnya.
"Tidak ada waktu untuk berdebat," katanya dengan napas terengah. "Komandan punya rencana. Dan rencana itu membutuhkan kita semua."
Ia menatap Kael, lalu Lyra, dan terakhir Chroma. "Pertunjukan pemanasan sudah selesai. Pertarungan yang sesungguhnya akan segera dimulai."