Malam itu, angin musim dingin berembus tajam, menyusup lewat celah-celah dinding istana yang menjulang di tengah kota kekaisaran. Langit kelam menggantung berat di atas atap emas—pertanda buruk bagi seluruh kerajaan.
Di dalam salah satu kamar terbesar di istana, seorang bocah lelaki berusia sembilan tahun duduk kaku di lantai marmer yang dingin. Tubuhnya gemetar, bukan karena udara yang membekukan, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Di hadapannya, seorang wanita dengan gaun putih bersulam emas terbaring diam di atas tempat tidur yang megah, tetapi dingin. Wajahnya yang dulu penuh kasih sayang kini kehilangan cahaya. Bibirnya membiru, tangannya kaku, dan nafasnya telah benar-benar hilang.
“Ibu… bangun, jangan tinggalkan aku…”
Ia menggenggam tangan yang dulu selalu membelainya saat takut. Kini tangan itu dingin, seperti batu. Ia memeluk tubuh ibunya erat, seolah bisa menahan kepergiannya. Tapi yang tersisa hanya hening… dan tubuh yang tak lagi bernyawa.
Jari-jari Simon mencengkeram erat kain gaun ibunya—lembut, tapi dingin seperti es. Air matanya menetes tanpa suara, jatuh satu per satu di kulit ibunya yang pucat. Dunia seakan berhenti berputar.
Suasana ruangan begitu sunyi hingga suara detak jantungnya sendiri terdengar seperti dentuman genderang perang. Di belakangnya, kerumunan para bangsawan berdiri terdiam. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang mencoba menolong. Tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Mereka hanya menonton, seperti sekumpulan patung yang tidak memiliki hati.
Mereka berdiri di sana dengan mata kosong dan sikap beku. Tak ada empati, tak ada belas kasihan—hanya penilaian yang menggantung di udara.
Seseorang akhirnya melangkah maju, seorang pelayan wanita yang selama ini merawat Simon dengan penuh perhatian. Ia berlutut di sampingnya, wajahnya tampak bingung, dipenuhi kecemasan dan ketakutan. Namun, sebelum wanita itu bisa membuka mulut, suara keras memecah keheningan.
"Dia yang meracuni permaisuri!"
Suara itu menggema di seluruh ruangan, menambah berat yang menekan dada Simon. Dunia di sekitarnya seakan membeku, suara itu seakan berasal dari tempat yang jauh, seolah tidak nyata.
Pelayan itu hanya bisa menatap dengan wajah penuh ketidakpercayaan, tubuhnya digoncang paksa oleh prajurit yang tiba-tiba datang, dan tangannya ditarik dengan kasar. Wajah wanita itu dipaksa tunduk ke lantai marmer yang dingin, sementara matanya membelalak, seolah tak percaya pada apa yang sedang terjadi.
"Tidak... aku tidak—!"
Tamparan keras menghentikan kata-katanya, membungkam segala penolakan yang ada di mulutnya. Sisi pipi wanita itu memerah, darah mengalir dari sudut bibirnya. Simon melihat semua ini dengan mata lebar, seakan dunia runtuh begitu saja di hadapannya. "Kenapa? Mengapa mereka melakukan ini?"
"Ia telah membunuh permaisuri!"
Suara itu kembali menggema, kali ini lebih keras, lebih menuntut. Simon bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti seluruh ruangan.
Pelayan itu kemudian membantah,“Aku bersumpah demi hidupku, aku tidak menyentuh makanan permaisuri!” teriaknya sebelum tamparan keras membungkam mulutnya, meninggalkan jejak darah yang membentuk garis tragis di wajahnya.
Wanita itu terjatuh ke lantai, darah mengalir dari sudut bibirnya. Matanya membelalak, napasnya terengah-engah.
Para bangsawan mulai berbisik.
“Dasar budak tidak tahu diri!!”
“Berani sekali kau!!”
"Memang layak dihukum mati!"
Simon mulai membeku.
Suara-suara bisik semakin keras, berpadu dengan detak jantungnya yang berdebar kencang. Kerumunan mulai berbisik. Beberapa wajah menunjukkan keterkejutan palsu, sementara yang lainnya hanya mengangguk-angguk, seolah mereka tahu ini adalah kebenaran mutlak yang tak bisa dibantah.
Simon merasa terjebak di tengah-tengah kebenaran yang palsu. Ia menatap sekelilingnya, dan saat itu, matanya tertumbuk pada saudara-saudaranya yang berdiri jauh di belakang. Mereka, yang seharusnya menjadi orang yang membantunya, namun kini mereka tampak seperti musuh. Beberapa dari mereka menatapnya dengan penuh kebencian, beberapa tidak peduli, dan yang lainnya hanya diam, namun tatapan mereka terasa menusuk jauh ke dalam jiwanya.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka berbicara.
"Dia tidak lebih dari seorang aib. Tak perlu ada yang mengingatnya."
Simon menoleh.
Putra mahkota pertama, kakaknya sendiri Regulus Aetherius.
Dan kemudian putra mahkota kedua pun ikut bersuara.
“Kau adalah noda bagi kerajaan, kau harus di lenyapkan. Aku Michael Aetherius mulai hari ini kau bukanlah saudaraku.”
"Seandainya Ibu tidak melahirkanmu, kerajaan ini tak akan ternoda. Kau bukan saudaraku. Kau hanya kutukan yang lahir dari darah yang sama." desis Michael dingin.
“Anak pembawa sial! Kau pembunuh!” bentak Regulus.
Simon mematung. Pandangannya bergantian antara tubuh ibunya dan dua kakaknya.
“Apa…? Aku tak—aku hanya…”
Simon bergetar. “Kalian… kalian kakakku… kenapa…”
Darah Simon berdesir.
Tidak... mereka benar-benar ingin menghapus keberadaannya.
Simon menelan ludah, perasaan sesak di tenggorokannya semakin berat. Mereka—semua orang yang berdiri di sana—sepertinya telah memutuskan nasibnya. Dan ia hanyalah bagian dari cerita yang mereka tulis.
"Itu semua tidak benar!"
Teriakan itu keluar dari mulut Simon, meskipun suaranya hampir tidak terdengar di tengah kerumunan. Matanya mulai basah. Ia mencoba menggenggam tangan ibunya yang semakin dingin, berharap sekali lagi, berharap jika ia memegangnya cukup kuat, ia akan bisa kembali, bangun, dan memberi tahu Simon bahwa semua ini hanya mimpi buruk.
“Kau memang anak pembawa sial!! Pergilah dari istana ini!!”
“Dasar aib!! Kau sama saja seperti budak di luar sana.”
Kata-kata itu menghantamnya satu per satu, membuat dadanya sesak.
Simon menatap tubuh ibunya sekali lagi. Ia mencoba menggenggam tangan itu lebih erat, mencoba mengembalikan kehangatan yang sudah menghilang.
"Ibu... tolong..."
Simon terisak, mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Matanya mencari mata orang-orang di sekitar, tetapi tak ada yang peduli. Semua diam, hanya menonton penderitaannya.
Namun keajaiban tidak terjadi.
Ibunya tetap diam.
Dan dunia menolaknya.
"Saya tidak bisa menunggu lebih lama. Kami harus membawa bocah ini pergi." ucap salah seorang prajurit.
Suara yang datang dari belakangnya memecah keheningan, membuat Simon terkejut.
“Selamat tinggal Simon, hiduplah dengan para budak di luar sana dan jangan sekali-kali berani untuk menginjakan kaki kotor mu itu ke istana kami yang mewah ini.”
Simon menatap orang itu dengan perasaan kecewa, hatinya hancur lebur.
“Kak Wiliam...”
Tanpa ada kata-kata lebih lanjut, seorang prajurit mendekat dan menarik tubuh Simon dengan kasar, menariknya keluar dari pelukan ibunya yang sudah kaku.
Simon memberontak dan memukul prajurit yang menariknya.
“Berhenti!! Jangan jauhkan aku dari ibu!!” ucap Simon sembari memberontak.
“Diamlah bocah!!” gertak prajurit itu.
Salah satu dari mereka menendangnya hingga ia terhempas ke lantai marmer yang dingin. "Bangkitlah, Pangeran Terbuang." Suaranya penuh hinaan. "Atau kau lebih suka mati seperti anjing di sini?"
Darah mengalir dari sudut bibir Simon. Matanya perlahan terangkat, menatap mereka. Amarah Simon tak tumpah dalam teriakan. Ia mengalir sunyi dalam tatapan yang menusuk, seperti kilat tanpa suara.
Prajurit itu tertegun. Tatapan Simon… bukan tatapan seorang anak bangsawan yang ketakutan. Bukan tatapan seorang pangeran yang baru saja dihancurkan.
Tatapan Simon menembus batas-batas ketakutan. Tangan kecilnya terangkat, menggenggam gagang pedang yang tergantung di pinggang prajurit. Tak ada yang bergerak. Mereka pikir dia hanya anak kecil.
Tapi Simon bukan lagi bocah sembilan tahun.
Logam dingin meluncur cepat. Darah hangat menyembur keluar, membasahi Simon dan lantai marmer yang dingin.
*Sunyi...
Kemudian Simon menatap semua orang dengan tatapan kosong, Simon kemudian mengarahkan pedangnya ke arah prajurit dan kepada para bangsawan. Simon tak tahu dari mana datangnya kekuatan itu. Tapi di balik air mata dan rasa hancur, sesuatu dalam dirinya bangkit—amarah purba yang tak bisa ditahan lagi.
“Dengar kalian semua! Aku mungkin terluka, tapi darah yang mengalir di nadiku adalah darah kekaisaran! Lebih murni daripada darah kalian yang terkontaminasi kehinaan! Jangan pikir kalian bisa menyingkirkanku tanpa konsekuensi! Apa kalian lupa?! Aku adalah salah satu putra mahkota!!”
Seluruh bangsawan menatap Simon dengan perasaan marah. Pembantu itu hanya bisa melihat dari arah belakang.
Tiba-tiba sekelebat bayangan datang, dan dengan cepat memberikan tebasan kepada Simon. Simon menahannya dengan pedang yang dia pegang, namun pedang itu patah menjadi dua dan Simon terpental ke pilar marmer besar dekat tangga.
“Simon!!” teriak si Pembantunya.
“Itu hukuman untuk mu karena telah berniat menyerang putra mahkota.” ucap ksatria itu.
Lalu ada salah satu prajurit yang berlari dan berteriak. “Beri hormat kepada sang penguasa kekaisaran!!” ucap salah seorang prajurit.
Simon terengah. Darah menetes dari bibirnya, tetapi bukan itu yang paling sakit. Yang paling menyakitkan... adalah rasa ditinggalkan.
***
Di ambang pintu, terdengar suara langkah berat. Pelan. Tegas. Suara jubah menyapu lantai seperti desir kematian. Semua orang menunduk serempak. Dia telah tiba.
Dari luar kamar Sang Kaisar datang, jubah merahnya yang panjang terseret di lantai marmer yang berlumuran darah prajurit yang tewas. Kaisar melihat kondisi istrinya yang sudah tak bernyawa kemudian ia mengalihkan pandangannya pada Simon, dan menatap Simon dengan tatapan kosong.
Ia kemudian menatap Simon dengan sorot mata dingin, suaranya bergema di ruangan megah itu.
"Anak kecil, apakah kau tahu siapa aku?"
Simon menggigit bibirnya, tangannya gemetar. Ia tahu betul siapa pria itu, tetapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya.
Kaisar kembali bertanya "Aku bertanya, siapa aku?"
Ia melangkah maju, dan Simon merasakan tubuhnya gemetar. Namun, ia menegakkan punggungnya.
"K-Kau Kaisar Alexander," suaranya bergetar, tapi matanya tidak menunduk.
Kaisar Alexander mengangkat dagu Simon dengan dua jarinya, menatapnya seperti seekor burung pemangsa menilai mangsanya.
"Kalau begitu, mengapa kau belum berlutut?"
Udara terasa berat, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menekan
dadanya.
“Ta–tapi ayah.”
“Diam. Budak sepertimu tak memiliki hak untuk berbicara denganku,” kaisar kemudian menatapnya seperti elang yang sedang mengincar mangsanya.
Jantung Simon berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadanya. Ruangan yang megah dan penuh cahaya lilin tiba-tiba terasa mencekik, seperti dindingnya menyempit, seperti semua mata tertuju padanya.
Ia ingin melawan, tetapi kakinya seakan terikat oleh rantai tak terlihat. Bayangan besar Kaisar Alexander melayang di atasnya, dingin dan tak tergoyahkan.
Tunduk atau melawan?
Ia ingin berteriak, ingin menolak, tetapi bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Kaisar Alexander kemudian berkata, dan Halonya memancarkan cahaya terang.
“Aku. Alexander Aetherius dengan ini menyatakan bahwa mulai saat ini, kau bukanlah salah seorang pewaris tahta kerajaan dan bukan anggota keluarga kerajaan. Dengan perintah ku yang mutlak, pergilah kau dari istana ku ini dan jangan sekali-kali berani untuk menginjakan kaki di istana ku.”
Simon tercengang lalu ia bangkit dan mengepalkan tangannya di dada. “Tapi aku putra mu ayah! Aku anakmu dan darah dagingmu sendiri!! kenapa kau malah membela mereka dan apa kau membiarkan ibu mati dalam ketidakpastian?!” ucap Simon dengan nada marah.
Kaisar Alexander kemudian maju dan mencekik leher Simon lalu mengangkatnya ke udara. “Betapa bodohnya!! Sejak awal kelahiran dirimu aku tak pernah mengakui mu sebagai seorang anak, kau tak memiliki apapun dan kau hidup karena kemauan ibumu!”
Simon tercengang, tubuhnya bergetar seolah menolak hal yang ia dengar. Kaisar dengan sengaja memotong kalimatnya untuk melihat reaksi Simon, lalu ia pun melanjutkan. “Tempat berteduh, kamar yang nyaman, makanan yang kau makan bahkan pakaian yang kau kenakan sekarang, semua itu kuberikan padamu. Kau hidup diatas hal-hal yang kuberikan dan beraninya kau menentang ku!?!” balas Raja Alexander, seluruh ruangan bergetar karena suaranya.
Simon kemudian di lemparkan ke arah pilar marmer besar, Simon langsung bangkit matanya terbelalak dan kemudian ia menatap tajam ayahnya. “A—ayah!! Kalian semua camkan ini! Suatu saat nanti aku akan kembali dan akan mencari tahu siapa saja yang terlibat dengan peristiwa ini, tunggu saja!!” ucap Simon, suaranya menggema di seluruh penjuru istana.
“Sudah cukup.” ksatria itu kemudian menyerang dari arah belakang, dalam sekejap Simon jatuh tersungkur.
“Jangan melawan,” suaranya terdengar datar, seperti berbicara dengan seorang kriminal biasa, bukan seorang pangeran.
“Buang anak itu dari istana. Buat dia tahu rasanya menjadi bukan siapa-siapa.” Kaisar menatap Simon seolah ia adalah kotoran di sepatunya.
Simon ingin berteriak, tapi dunia di sekelilingnya mulai kabur. Pandangannya tertutup oleh kegelapan.
***
Ketika Simon sudah tersadar dan menyadari dirinya sekarang berada di penjara bawah tanah bersama pembantu itu selama seharian penuh, Langit mulai berubah warna. Matahari yang dulu bersinar terang di atas istana kini tenggelam di balik cakrawala, menyisakan kegelapan yang pekat.
Di penjara bawah tanah istana, Simon duduk dengan kepala tertunduk. Di sampingnya, pelayan wanita yang telah dipukul tadi mencoba menahan air matanya. Tangannya yang penuh luka mencoba menggenggam tangan Simon, memberikan sedikit kehangatan di dalam kegelapan yang melingkupi mereka.
Simon membisu.
Dunia ini telah memutuskan bahwa ia bukan bagian dari istana.
Saat langit sudah gelap, ia dan pembantu itu di seret kedalam kereta kuda yang berada jauh di luar istana, dan kemudian kereta kuda itu membawa mereka ke sebuah peti kemas tua yang berkarat. Di sana ada salah seorang prajurit yang mencengkram leher Simon.
"Jangan lakukan ini, kau pikir kau siapa?! Lepaskan aku!!”
Simon berteriak, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa jeritannya sudah tak berarti.
Ia berusaha melawan, tapi tenaga kecilnya tak mampu melepaskan dirinya dari prajurit yang mencengkramnya.
“Ahh, berisik!! Diamlah kau!!” ucap prajurit itu dengan nada tinggi.
“Lepaskan... aku...” ucap Simon yang nafasnya mulai habis.
Namun di tengah ketegangan itu, pelayan yang ikut dengannya memohon Simon untuk di lepaskan, tubuhnya penuh luka dan wajahnya dipenuhi kerutan usia, datang menghampiri. Matanya mencari Simon, seolah ingin berkata sesuatu—sesuatu yang tak sempat diucapkan.
Hentikan! Hentikan!! Jangan sakiti dia!! Dia hanyalah seorang anak kecil.” ucap pembantu itu.
Kemudian prajurit itu melemparkan Simon ke dalam kontainer besi yang berada diatas kereta untuk kemudian dikirim melalui kapal. Pembantu itu langsung memeluk Simon dengan erat, memberikan sedikit kehangatan di tengah kegelapan yang mengelilinginya.
"Tenanglah, Simon..."
Suara lembut itu memberi sedikit ketenangan bagi Simon, meskipun hatinya masih penuh amarah dan kesedihan. Ia merasa seperti terperangkap di dunia yang tak pernah benar-benar memedulikannya.
Kereta itu bergerak, melintasi gerbang kekaisaran yang besar, menuju tempat yang jauh dari dunia yang dikenal Simon. Tak ada yang tahu ke mana ia akan dibawa, tak ada yang peduli apakah ia masih hidup atau mati. Semua orang hanya ingin melupakan namanya.
Di dalam peti kemas yang sempit dan gelap itu, Simon hanya bisa diam. Tangannya masih penuh darah kering ibunya, dan pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tak bisa ia jawab.
“Kenapa dunia ini penuh dengan kebohongan dan ketidakadilan?” Simon bertanya pada dirinya sendiri, meskipun ia tahu tidak akan ada yang menjawab.
Dunia ini, kekaisaran ini, semuanya penuh dengan kebohongan yang harus diterima. Namun semakin ia tumbuh, semakin ia menyadari bahwa bukan hanya dirinya yang dihancurkan oleh dunia ini. Ada banyak orang lain yang juga menderita, terperangkap dalam kebohongan yang sama.
Dan saat itu, sebuah pemahaman mulai muncul di dalam benaknya.
Jika dunia ini penuh dengan kebohongan, maka aku akan menjadi satu-satunya kebenaran yang tersisa.