Chapter 1: Kesadaran

Di sepanjang perjalanan, hujan turun dengan deras dan lautan pun berkecamuk—seolah ikut berkabung atas apa yang menimpa dirinya. Simon menatap tangannya dengan pandangan kosong, Ia baru menyadari... dengan tangan itu, ia telah membunuh seseorang.

Pembantu itu mencoba menenangkannya, namun tak dihiraukan.

“Simon, tenanglah...”

“Aku... aku tidak membunuhnya...” Simon berbisik. Suaranya gemetar, nyaris lenyap di antara gemuruh hujan dan debur ombak. Matanya terpaku pada tangannya sendiri—berlumur darah. Dingin. Lengket. Nyata. “Tapi... kalau bukan aku, kenapa semua orang berkata sebaliknya...?”

Jeritan itu masih menggema di kepalanya, menusuk telinga seperti pisau. Semakin ia mencoba menyingkirkannya, semakin dalam jeritan itu menggulung kesadarannya.

*BRAK!

Kepalanya membentur dinding peti kemas—dingin, berkarat. Logam itu tajam dan tak kenal ampun. Luka terbuka di pelipisnya, darah hangat merembes perlahan.

“Pergi... pergi... pergi...” gumamnya sambil menekan telinga dengan kedua tangan. Tapi suara itu tidak hilang. Tidak akan pernah hilang.

Ia memejamkan mata—namun setiap kali gelap menelannya, wajah ibunya muncul. Bukan seperti yang ia ingat. Tapi dalam rupa terakhirnya—bibir membiru, kulit pucat, mata kosong seperti langit yang kehilangan bintangnya.

“Ibu... aku merindukanmu... bukankah ibu berjanji akan selalu ada di sisiku?

Ia menatap langit-langit yang kotor dan penuh jaring laba-laba. Tidak ada lagi langit-langit berlapis emas. Semua itu... hanya bayang-bayang masa lalu. Kenapa ia dilahirkan? Untuk apa dibesarkan... jika akhirnya ia tak dianggap?

Siapa aku? Sebenarnya... apa?

Kenapa aku di dunia ini?

Jubah lusuh melekat pada kulit dinginnya. Napasnya tersengal. Bukan karena lelah, tetapi karena dadanya terasa begitu sesak. Dunia sekitarnya perlahan menjauh, larut dalam kabut kelabu yang tak dapat ditembus pikirannya.

“Apakah aku masih hidup...?” pikirnya. “Tapi... untuk apa?”

Satu-satunya cahaya yang tersisa hanyalah Halo-nya. Cahaya itu dulu menyilaukan—melambangkan kejayaan, seorang pangeran. Sekarang, berkedip lemah, seolah hendak padam bersama pemiliknya.

Simon menarik lututnya, memeluk dirinya sendiri. Ia menangis. Tanpa suara. Hanya bibirnya yang bergetar pelan. Air mata menetes, jatuh di lengan yang telah kehilangan arah.

“Aku ingin pulang... Chloe...”

Chloe menarik napas dalam, menaruh tangannya di bahu Simon, menggenggamnya lembut.

“Tidak bisa,” katanya lirih. “Kita bukan bagian dari mereka lagi.”

Simon membeku. Kata-kata itu... menancap dalam. Lebih sakit dari luka di pelipisnya.

***

Angin malam menyapu pelabuhan, tajam dan asin. Hujan telah reda, menyisakan aroma laut bercampur bau anyir yang menusuk. Di bawah langit kelam tanpa bintang, sebuah kapal tua perlahan merapat. Kontainer-kontainernya berderak, menggema dalam sunyi malam.

Simon berdiri di dalamnya—jauh dari istana. Jauh dari rumah. Yang tersisa hanyalah kenangan, darah, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab.

Pikirannya masih tertinggal di dalam istana-di ruangan dingin tempat ibunya terbujur kaku. Suara-suara yang menuduhnya, tatapan penuh kebencian, dan saudara-saudaranya yang hanya diam membisu. Semuanya berputar di kepalanya seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.

“Kak Regulus... Kak Michael kenapa kalian berdua menuduhku? Bukankah kita adalah keluarga?”

Chloe menariknya ke dalam pelukan, bukan hanya untuk menenangkan Simon, tetapi juga dirinya sendiri. Ia tahu, jika Simon hancur, ia juga akan hancur. Di balik luka dan memarnya, ia berjanji dalam hati-ia tidak akan membiarkan bocah ini jatuh lebih dalam ke jurang keputusasaan.

“Dengar, Nak.” Bisiknya. “Mereka ingin kau hancur. Tapi kau masih hidup. Dan jika kau masih hidup...” Ia mengeratkan pelukannya. “Itu berarti mereka belum menang.”

Simon tidak menjawab. Tubuhnya tetap kaku dalam dekapan Chloe. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa takut. Bukan takut pada kematian, tetapi pada sesuatu yang lebih menyesakkan-kenyataan bahwa ia telah kehilangan segalanya.

Namun, di balik ketakutan itu, sesuatu perlahan menyala di dalam dirinya. Rasa sakit yang tertahan, amarah yang terkubur, dan luka yang menganga-semuanya berkumpul menjadi sesuatu yang lain

***

Setelah perjalanan panjang, kapal akhirnya melambat saat memasuki pelabuhan terpencil di tepi laut. Langit gelap tanpa bintang. Hanya sinar rembulan samar yang menembus awan, memantulkan bayangan ke permukaan laut yang bergelombang tenang. Di kejauhan, cahaya temaram dari obor dan lentera minyak menerangi jalan-jalan sempit yang mengarah ke desa.

Kapal itu berhenti di dermaga tua yang reyot, tepat didepannya terdapat desa yang diterangi cahaya obor. Udara dingin bercampur dengan bau garam, kayu lapuk, dan ikan busuk. Suara deburan ombak terdengar sayup-sayup, menjadi latar bagi keheningan yang menyesakkan.

Pintu akhirnya terbuka dengan bunyi berderit, seketika orang-orang masuk kedalamnya dan mengangkut karung-karung kotor berisi gandum.

Simon tetap diam di tempatnya, tetapi Chloe menarik tangannya, membawanya turun ke peron.

Tidak ada yang menyambut kedatangan mereka, semua orang sibuk dengan urusannya sendiri, lagi pula tidak ada yang mengenali mereka.

Simon, yang dulunya adalah seorang pangeran, kini hanya seorang anak kecil dengan pakaian lusuh dan tubuh kurus.

“Hei, gelandangan!” Sebuah suara kasar menyentak mereka dari belakang.

Seorang pria berbadan besar dengan wajah kasar yang di terangi cahaya Halo berdiri di depan mereka. Beberapa penjaga dengan pakaian lusuh berdiri di belakangnya, tangan mereka menggenggam senjata seadanya-belati berkarat dan tongkat kayu.

Simon menatap pria itu sekilas, tetapi tidak menjawab.

Pria itu menyipitkan mata, menilai mereka berdua. “Menyusup ke kereta untuk kabur dari kota, huh? Tidak peduli dari mana asal kalian, kalau kalian ada di sini, itu berarti kalian milik desa ini sekarang.”

Simon tetap diam.

Chloe mengeratkan genggamannya di tangan Simon, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

“Kalau bocah ini mau makan suruh di bekerja, tak ada yang hidup enak di tempat ini.” Pria itu meludah ke tanah. “Tidak ada yang gratis di sini. Kalau tidak bisa bertahan, kau akan mati kelaparan.”

Simon menelan ludahnya, tetapi tetap tidak bersuara. Mata Simon perlahan mengangkat, menatap pria itu dengan sorot yang bukan sekadar ketakutan, tetapi juga sesuatu yang lain-sesuatu yang belum sepenuhnya ia sadari.

Pria itu tertawa kecil sebelum berbalik. “Ikut aku. Aku akan tunjukkan tempat tinggal kalian, tetapi sebelum itu kalian harus membuat laporan dahulu kepada prajurit militer yang ada disini.”

Mereka mengikuti pria itu, berjalan melewati jalan-jalan berbatu yang gelap dan sempit, setelah beberapa saat berjalan mereka akhirnya tiba di sebuah perkemahan militer.

Salah satu prajurit melirik Simon dan berkata dengan nada mengejek, “Anak ini pasti tidak akan bertahan lama.”

Semua orang di sana memperhatikan Simon dengan tajam, layaknya pemangsa yang telah menemukan buruannya, pria yang mengantarkan nya tidak ikut masuk dan hanya berdiri di depan pagar.

Apa yang membuat dia membawa kita ke sini?

***

Simon dan Chloe pun masuk dan menemui perwira yang bertugas di perkemahan militer itu, Perwira itu memiliki dua Halo yang berwarna hitam, perwira itu menatap mereka dengan penuh rasa jijik dan merendahkan.

“Kalian kalau mau hidup harus membayar kami sebanyak 50 koin emas setiap bulannya,” perwira itu membuang muka “Atau kalian tak akan bisa melihat matahari terbit lagi.”

Chloe menghentakkan meja “Apa?! Itu mahal sekali?! Bahkan seorang bangsawan kelas 3 akan memikirkan hal itu!”

“Itu demi keselamatan kalian.” ucap perwira itu.

Jari-jari Simon mengepal, kukunya hampir menusuk kulit. Napasnya berat, matanya menyala penuh kemarahan.

Simon kemudian menatap wajah perwira itu.

“Tidak perlu membayar nek, aku bisa melindungi mu dari segala macam bahaya. Ayo kita pergi dari sini.”

Perwira itu bangun dari tempat duduk nya dan menyilangkan kedua tangannya, dia menatap Simon dengan sinis “Apa kau yakin bocah? Jika ada bahaya yang menimpa mu kami takkan turun tangan.”

Simon menyilangkan kedua tangannya dan memantapkan suaranya.

Perwira itu maju kearah Simon, ia menatap Simon layaknya seekor burung pemangsa. Halo diatas kepalanya menyala dan dalam sekejap rantai hitam muncul dan melilit tubuh Simon, Perwira itu kemudian menarik rantai disekitar leher Simon dan mendekatkan wajah diantara keduanya.

“Apa kau yakin bocah? Tempat ini bisa merenggut nyawa siapapun dalam hitungan detik, dan kau berpikir kalau kau akan kuat?” ancam si perwira dengan nada dingin, matanya tajam dan tak memiliki keraguan.

“Hentikan, lepaskan cucuku!” ucap Chloe sembari menggoyangkan tangan perwira.

Tubuh Simon bergetar, seolah nyawanya sekarang berada dalam genggaman si perwira. Namun, ia sadar bahwa tak akan ada yang melindungi Chloe dan dirinya selain dirinya sendiri.

Simon menarik rantai yang berada di lehernya, dan membuat si perwira maju dari tempatnya berdiri, ia menarik nafas dan keberanian. “Ya, aku cukup kuat untuk menghadapi bahaya disini, aku bisa melindungi diriku sendiri dan dengan tanganku sendiri.” jawab Simon, sembari menahan rantai dan menatap wajah perwira itu.

Si perwira memalingkan wajahnya dan dalam sekejap rantainya hilang. “Tch, kau pasti akan menyesal bocah.”

Mereka berdua tidak menghiraukan nya dan kemudian mereka berjalan keluar, tak ada yang menghalanginya. Dan di depan gerbang mereka bertemu kembali dengan pria itu, kemudian perjalanan mereka pun di lanjutkan dan setelah beberapa lama berjalan akhirnya Simon dan Chloe tiba di desa.

***

Simon mengamati sekeliling-desa ini bukan tempat tinggal, melainkan kuburan bagi yang masih hidup. Halo mereka ada, tetapi seolah-olah kehilangan cahayanya, dan itu juga hanya cukup untuk menyinari sekeliling mereka saja.

Simon berjalan di antara reruntuhan kehidupan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Jalanan berlumpur penuh dengan orang-orang yang berjongkok di sudut, mata mereka kosong, tubuh mereka lebih mirip bayangan daripada manusia.

Mereka melewati lorong-lorong sempit yang dipenuhi orang-orang kelaparan. Beberapa anak kecil duduk di sudut, memeluk lutut mereka sambil menggigit sepotong roti keras. Seorang ibu dengan mata sayu berusaha menyusui bayinya yang sudah terlalu lemah untuk menangis.

Simon menunduk.

“Dulu, aku makan di piring emas... Sekarang, aku hanya satu di antara mereka.”

Di sudut matanya, dia melihat seorang lelaki tua terbatuk keras. Darah merah segar mengalir di bibirnya.

“Apa dia sakit?” tanya Simon pelan.

Chloe menoleh, lalu menarik napas dalam. “Dia bukan sakit nak, dia sekarat.”

Di sudut-sudut desa, para prajurit militer mabuk-mabukan dan menindas orang yang lemah dalam bayangan, mengawasi mereka dengan tatapan kosong.

“Kami tidak bisa membayar pajak bulan ini,” seorang lelaki tua memohon kepada seorang prajurit berbaju besi. “Tolong... setidaknya biarkan anak-anak kami hidup...”

Prajurit itu tidak menjawab. Pedangnya menjawab lebih dulu. Satu ayunan, dan dunia lelaki tua itu berakhir. Istri dan anak-anaknya berteriak, tetapi dalam hitungan detik, mereka pun terdiam. Darah meresap ke dalam tanah seperti hujan yang lama dinantikan.

Simon merasa mual dia hanya melihat hal itu terjadi, anak-anak itu melihat ayahnya mati di depan matanya sendiri. Simon berusaha maju namun Chloe menahannya.

“Hey kau apa yang kau laku-”

“Diam, jangan maju dan mengganggu mereka nak.” ucap Chloe sembari menutup mulut Simon.

Salah seorang dari mereka mendatangi Simon, seorang tentara berpakaian rapi berdiri di depan mereka.

“Berhenti!” suara itu tajam, penuh wibawa.

Simon menegang. Dia tidak mengenal pria ini, tapi nalurinya langsung memberi tahu bahwa orang ini berbahaya.

Chloe berdiri di depan Simon, sikapnya defensif. “Kami hanya rakyat jelata yang lewat.” katanya tenang.

Tentara itu mengamati mereka. Tatapannya dingin, penuh perhitungan. Lalu, dia menatap langsung ke mata Simon.

“Matamu,” gumamnya. “Bukan mata seorang pengemis.”

Simon tidak bisa menahan napasnya yang tercekat.

Pria itu mendekat, lalu meraih dagu Simon dengan kasar. “Kau bukan dari sini, bukan? Caramu berjalan dan pakaian yang ada di tubuh mu dan caramu menatap... Kau pernah hidup di tempat yang lebih tinggi.”

Simon merasa perutnya melilit.

Dia tahu.

Bukan karena dia tahu Simon adalah bangsawan, tapi karena dia tahu Simon bukan seperti rakyat biasa.

Chloe dengan cepat menarik tangan pria itu dan menepisnya. “Jangan sentuh cucuku.”

Pria itu menyipitkan mata, menatap Chloe dengan tatapan penuh selidik. Kemudian, dia tersenyum kecil-senyum yang membuat Simon ingin mundur.

“Jika kau cerdas, bocah, kau akan belajar untuk menundukkan kepala. Orang seperti kita tidak bisa melawan mereka yang di atas.”

Lalu, tanpa mengatakan apa pun lagi, dia melangkah pergi. Simon berdiri diam, jantungnya berdegup kencang.

Chloe menggenggam tangannya erat. “Kau baik-baik saja?”

Simon menelan ludah.

Aku tidak bisa terus seperti ini.

Ia menatap ke arah kepergian perwira itu, lalu mengepalkan tangannya.

Suara pria tadi masih terngiang di telinganya.

“Orang seperti kita tidak bisa melawan mereka yang di atas, memang sudah hukum di dunia ini bahwa: Yang kuat menindas yang lemah, dan yang lemah menaati yang kuat.” ucap Chloe dengan putus asa.

Tapi Simon tidak akan menerima itu.

Dengan suara kecil tapi tegas, dia berbisik, “Kita akan lihat.”

Chloe menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum samar.

“Mungkin kau lebih kuat dari yang kau kira, Nak.”

Dunia ini... bukan dunia yang ia kenal. Di dalam istana, keadilan adalah kata-kata yang diukir dalam emas. Di sini, keadilan tidak ada. Hanya mereka yang cukup kuat yang bisa tetap hidup. Dan Simon... Simon tidak lebih dari seorang bocah tanpa daya.

Dia menyadari bahwa ada banyak orang yang merasakan penderitaan yang lebih besar darinya, Simon merasa malu, karena menganggap bahwa dirinya adalah orang yang paling tidak beruntung di dunia. Namun setelah dia menyaksikan sendiri kekejaman dunia yang sebenarnya, Simon tersadar bahwa hidup di luar sana jauh lebih keras daripada apa yang dia bayangkan.

“Aku...” suaranya hampir tak terdengar. “Aku bukan siapa-siapa.”

Dunia tidak menjawab

“Ini...” Simon bergumam pelan, matanya menatap pemandangan itu dengan kosong. “Ini bukan tempat yang layak untuk manusia... dan kenapa mereka masih bekerja meskipun sudah selarut ini?”

Chloe meliriknya. “Memangnya di mana tempat yang layak?”

“Istanaku... dulu...”

Chloe menghela napas, menatap Simon dengan tatapan iba. “Itu bukan tempat yang layak, Nak. Itu hanya tempat di mana kau dipenjara tanpa kau sadari.”

Chloe memalingkan wajahnya dan melihat para penduduk dan prajurit militer. “Bagi orang-orang yang ada disini, hidup di istana hanyalah mimpi di siang bolong. Bagi orang yang berada di istana pula, mereka menganggap tempat ini bagaikan sebuah mimpi buruk.”

Simon menunduk. Kata-kata itu menyakitkan, tetapi di dalam hatinya, ia tahu Chloe tidak berbohong.

“Inilah dunia yang sebenarnya, Nak.” Ia menghela napas. “Dunia yang tak pernah diperlihatkan kepada orang-orang di atas sana.”

Simon menelan ludahnya, merasakan sesuatu yang berat menghantam dadanya. Simon kemudian menoleh ke arahnya.

“Dunia yang sebenarnya?” gumam Simon.

“Di sini, Nak, kau hanya punya dua pilihan-bertahan hidup, atau jadi mayat di jalanan. Di dunia ini, yang kuat lah yang benar dan yang lemah adalah yang bersalah. Itulah dunia.” jawab Chloe dengan getir, tangannya bergetar seolah menolak kenyataan.

Di tempat ini yang paling penting adalah bertahan hidup. Yang ada hanyalah mereka yang bertahan hidup dan mereka yang mati.

Simon merasa merenung, bukan hanya pada dunia tetapi pada dirinya sendiri karena dia juga menjadi bagian dari mereka dahulu. Dia berjanji dalam hati suatu hari nanti, dia tidak akan menjadi seseorang yang hanya bisa menonton saja.

Tiba-tiba, seorang anak kurus yang lebih tua darinya berjalan mendekat. Cahaya Halo miliknya yang redup menyinari Simon.

“Kau anak baru?” tanyanya dengan suara serak.

Simon hanya menatapnya tanpa menjawab.

Anak itu melirik ke arah Halo milik Simon yang sudah tak memancarkan cahaya dan jubah lusuhnya yang masih terlihat lebih bagus dibanding pakaian orang-orang di desa ini.

“Kau beruntung sekali ya? Pakaian bagus, jubah hangat dan tubuh yang sehat, aku iri.” katanya sembari menggaruk tubuhnya yang kotor. "Di tempat ini, orang yang terlalu terlihat berbeda akan dihabisi lebih dulu."

Simon terdiam.

Kata-kata itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.

Setelah semua yang terjadi, bahkan di tempat ini pun ia masih menjadi target.

Namun, saat ia melihat anak itu berjalan pergi dengan langkah lunglai, ada satu pikiran yang muncul di kepalanya.

Jika semua orang di sini berjuang untuk hidup...

Maka ia harus melakukan hal yang sama.

Di tempat ini, nama dan gelar tidak berarti. Tidak ada jubah sutra, tidak ada mahkota emas, tidak ada sanjungan. Yang ada hanyalah orang-orang yang berjuang untuk bertahan hidup-dan mereka yang gagal.

Jika ia ingin hidup, maka ia harus menjadi bagian dari yang pertama.

Ia mengepalkan tangannya.

Ia tidak akan mati.

Ia akan kembali.

Dan ketika hari itu tiba-mereka semua akan menyesal. Untuk pertama kalinya, Simon tidak hanya merasa takut, ia juga merasa marah. Dunia telah menghancurkannya dan telah merenggut segala hal darinya. Tapi ia akan bangkit—dan dunia akan menggigil saat namanya kembali terdengar.