Malam menurunkan tirainya di atas desa pesisir, membungkusnya dalam selimut kesunyian yang terasa lebih berat dari udara asin yang menguap dari laut. Cahaya bulan memantulkan bayangannya di tanah berdebu, seolah menunjukkan sosok asing yang bahkan ia sendiri tidak kenali. Laut yang berombak pelan, membawa aroma asin yang bercampur dengan bau kayu lapuk dan debu jalanan. Di antara rumah-rumah kayu yang sederhana, berdiri sebuah gubuk kecil yang tampak rapuh, seolah bisa roboh kapan saja jika diterpa angin yang terlalu kencang.
Simon berdiri di ambang pintu, seperti seorang pengelana yang baru saja menemukan perhentian terakhirnya—bukan karena ingin, tetapi karena tidak ada pilihan lain. Atapnya bocor di beberapa tempat, dindingnya penuh retakan, dan hanya ada satu jendela kecil yang ditutupi kain lusuh.
“Jadi… begini rasanya kehilangan segalanya?” pikirnya.
Dulu, saat masih tinggal di istana, ia selalu mendengar para pelayan berbicara tentang ‘kehidupan di luar tembok kerajaan.’ Tentang kemiskinan, tentang perjuangan, tentang bagaimana hidup bukanlah dongeng yang selalu berakhir bahagia. Tapi saat itu, semua itu hanya cerita—suatu hal yang jauh, seperti negeri lain yang tak akan pernah ia pijak.
Jauh berbeda dari istana tempatnya dibesarkan. Namun, istana itu bukan lagi miliknya.
Sekarang, ia adalah bagian dari cerita itu.
Tidak ada lagi kasur empuk. Tidak ada lagi makanan berlimpah. Tidak ada lagi kehangatan ibunya.
Ia menghela napas panjang dan melangkah masuk.
Chloe Lawford, wanita tua yang telah menyelamatkannya, menatapnya dengan senyum samar. Wajahnya dipenuhi keriput, tapi sorot matanya masih memancarkan keteguhan yang kuat.
“Apakah ini rumahku sekarang?” pikir Simon, matanya menelusuri setiap sudut ruangan yang gelap dan sempit.
“Nak,” suara Chloe memecah kebisuannya, “ini mungkin tidak seperti yang kau bayangkan, tapi ini rumah kita sekarang.”
Simon tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai tanah yang dingin di bawah kakinya.
Dulu, ia terbiasa tidur di atas kasur empuk berlapis kain sutra. Kini, satu-satunya tempat istirahatnya adalah selembar tikar anyaman yang sudah kusam. Namun, ia tidak mengeluh. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri—ia tidak akan menangis lagi.
***
Sejak hari pertama di desa, Simon menyadari satu hal jika ingin bertahan, ia harus bekerja.
Pagi-pagi sekali, ia pergi ke pasar, membantu para pedagang mengangkat peti buah, membersihkan kios, dan mengantarkan barang ke pelanggan. Ketika matahari mulai naik, ia berlari ke pelabuhan, memanggul karung beras yang beratnya hampir melebihi tubuhnya sendiri, hingga tangannya penuh lecet dan luka.
Di sini, tidak ada tempat bagi mereka yang lemah.
“Hei, bocah,” suara berat seorang pria memanggilnya.
Simon berhenti mengangkat peti ikan dan menoleh. Seorang pria tua dengan janggut lebat berdiri di depannya, mengunyah sesuatu di mulutnya—mungkin tembakau. Matanya tajam, tapi ada sedikit rasa ingin tahu di sana.
“Kau anak yang kuat,” kata seorang pria tua di pelabuhan suatu hari, menepuk bahunya dengan senyum kecil. “Kebanyakan anak seusiamu menangis setelah sehari bekerja di sini. Tapi kau diam saja.”
Simon hanya menatap pria itu, tidak menjawab. Tangannya masih perih, punggungnya terasa seperti dihantam batu. Tapi, apa gunanya mengeluh? Dunia tidak peduli.
“Kau tidak banyak bicara, ya?” pria itu terkekeh “Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, kau tinggal dimana?” tanya pria itu.
Simon ragu sejenak sebelum menjawab, “Di rumah Chloe.”
Pria itu mengangguk. “Ah, Chloe Lawford. Dia wanita yang baik. Kau cucunya?”
Simon terdiam. Kata itu terasa asing di telinganya.
Cucu?
Chloe bukan neneknya. Ia tahu itu. Tapi saat ia melihat wanita tua itu dari kejauhan—sedang mengelus kepala dua anak kecil yang tertawa riang di depannya—Simon merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dadanya.
“Iya,” jawabnya akhirnya. “Aku cucunya.”
Pria tua itu mengangguk pelan, lalu mengambil sebongkah roti dari kantongnya dan melemparkannya ke Simon. “Ambil ini. Jangan mati kelaparan di sini.”
Simon menangkap roti itu, menatapnya sejenak sebelum menggigitnya pelan. Rasanya tidak seenak makanan istana, tapi untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang langka—kepedulian dari orang asing.
Dan pada hari itu juga, Nenek Chloe membawa dua anak kecil. Kai dan Charlotte Lawford—dua bocah berusia lima tahun—adalah cucu dari anak perempuan Chloe yang telah lama meninggal. Mereka tidak pernah mengenal orang tua mereka, hanya memiliki satu sama lain dan seorang nenek yang berusaha keras membesarkan mereka.
Kai adalah anak laki-laki yang penuh semangat. Meskipun tubuhnya masih kecil, ia selalu berbicara dengan suara lantang dan penuh keberanian.
Charlotte, di sisi lain, lebih pendiam. Matanya besar dan selalu dipenuhi rasa ingin tahu, tapi juga sedikit ketakutan—seolah ia tahu bahwa dunia tidak seindah yang seharusnya.
“Aku ingin jadi prajurit!” seru Kai, mengayunkan pedang kayunya di depan Simon. “Agar aku bisa melindungi Nenek dan Charlotte!”
Simon menatapnya sebentar, lalu menghela napas. “Prajurit tidak hanya mengayunkan pedang. Mereka harus berpikir.”
Kai mengerutkan dahi. “Berpikir?”
Simon mengambil tongkat kecil dari tanah dan menggambar di pasir. “Misalkan ini musuhmu.” katanya, menggambar lingkaran. “Jika kau menyerang dari depan, dia bisa melihatmu. Tapi jika kau menggunakan bayangan atau mengalihkan perhatiannya, kau bisa menyerang dengan lebih mudah.”
Kai mengedip beberapa kali, lalu menatap Simon dengan takjub. “Jadi… menjadi prajurit juga butuh otak?”
Simon tersenyum kecil. “Tentu saja.”
Setelah beberapa saat memperhatikan Simon. Charlotte, yang diam di samping mereka, menatap Simon dengan ekspresi kagum. “Jadi Kak Simon juga prajurit?” tanyanya.
“Apakah Kak Simon juga akan melindungi kami?” lanjut Kai.
Simon menatapnya. Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa berat.
Melindungi mereka?
Dulu, ia adalah seorang pangeran. Seharusnya ia yang dilindungi, bukan sebaliknya.
Tapi sekarang, tidak ada yang akan melindunginya. Tidak ada yang akan melindungi anak-anak ini juga—kecuali dirinya.
“Aku akan melindungi kalian.” katanya—bukan sekadar janji, tapi semacam pengakuan.
Untuk pertama kalinya sejak diasingkan, ia tahu kepada siapa hatinya berlabuh. Bukan pada takhta. Bukan pada balas dendam. Tapi pada mereka yang tetap tinggal, saat seluruh dunia membuangnya.
Charlotte tersenyum. Kai, di sampingnya, mengangkat pedangnya ke arah Simon. “Kalau begitu, aku akan melindungimu juga, Kak Simon!”
Simon hanya tertawa kecil.
Simon menoleh kearah Kai, lalu ia pun mengajukan sebuah pertanyaan. “Kai, menurutmu prajurit yang kuat itu bagaimana?”
Kai tersenyum lebar dan kemudian menjawab pertanyaan Simon. “Prajurit yang kuat adalah orang yang bisa melindungi semua yang mereka sayangi, dan aku akan menjadi prajurit karena aku mencintai dan menyayangi Kak Simon, Charlotte dan nenek Chloe!” jawabnya dengan lantang.
Charlotte tersenyum, namun Simon bangun dan mengusap kepala Kai. “Melindungi yah?” Simon kemudian memandang ke lautan. “Prajurit bukan hanya sekedar untuk melindungi, prajurit yang kuat bukan berasal dari fisik, Halo ataupun kemampuan mu. Melainkan dari keteguhan hatimu.” lanjut Simon.
Kai mengedipkan matanya berulangkali, Charlotte dan Simon kemudian tertawa bersama. Setelah pertemuan itu, mereka pulang ke rumah karena hari semakin malam.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan.
***
Namun pada malam itu juga, Simon tidak bisa tidur. Ia berbaring di atas tikar anyaman, menatap langit-langit kayu yang penuh retakan. Udara malam terasa dingin, tapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Setiap kali ia menutup matanya, bayangan itu kembali.
Ibunya.
Wajahnya yang sekarat, matanya yang dipenuhi rasa sakit dan ketakutan.
Suara tawa bangsawan yang mencemoohnya.
Darah yang mengalir di lantai marmer istana.
Simon terbangun dengan napas tersengal, dadanya naik-turun seperti ombak yang dihantam badai. Keringat mengalir di pelipisnya, dan tangannya menggenggam tikar anyaman begitu erat hingga serat-serat kasarnya menusuk telapak tangannya—mengingatkannya pada duri yang dulu pernah ia genggam saat masih tinggal di istana. Saat itu, duri hanya melukai kulitnya. Tapi sekarang? Yang terluka adalah sesuatu yang lebih dalam. Bayangan darah di lantai marmer istana kembali memenuhi pikirannya. Udara malam terasa sesak—seperti malam itu, ketika ia menyaksikan ibunya sekarat tanpa bisa berbuat apa-apa.
Ia perlu udara.
Simon keluar dari gubuk kecil itu, ia berjalan menuju pesisir pantai. Langit mulai menggelap saat Simon menyeret langkahnya. Tubuhnya lelah, tapi bukan itu yang membuatnya terus berjalan ke arah pantai. Ia hanya butuh... sepi.
Setelah mencuci tangannya dari debu pekerjaan, ia memilih menyendiri. Kakinya menginjak pasir yang masih hangat oleh sisa siang. Dan saat akhirnya ia duduk, angin laut menyapu wajahnya—mengingatkannya pada rumah yang tak pernah mengakui keberadaannya.
***
Ombak berbisik lirih, membawa pesan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang telah kehilangan sesuatu. Angin malam menyapu tubuh Simon, dinginnya terasa seperti jari-jari hantu yang mencoba meraih masa lalu yang tidak bisa ia sentuh lagi.
Saat angin malam berhembus, Simon merasakan sesuatu yang familiar—seolah ada sesuatu yang menunggu untuk bangkit bersama angin—sebuah kekuatan yang masih tertidur di dalam dirinya.
Suasana dingin nya sama seperti saat ibundanya tergeletak di lantai marmer yang dingin, saat air laut mengenai kakinya, Simon bergetar ketakutan—ia sempat mengira yang membasahi kakinya adalah darah ibunya.
Ia menggenggam pasir di tangannya, lalu perlahan membiarkannya jatuh satu per satu di sela jari-jarinya. Seperti itulah kekuatan yang dulu dimilikinya—perlahan menghilang, meninggalkan kehampaan.
Suatu hari nanti, ia akan kembali.
Dan ketika saat itu tiba…
Mereka akan tahu bahwa Simon Aetherius tidak pernah mati.
“…Kau menangis?”
Simon tersentak. Ia menoleh dan melihat Charlotte berdiri di dermaga, mengenakan pakaian tidur lusuh.
“Tidak.” jawabnya singkat, segera menghapus air mata di pipinya.
Charlotte menatapnya dari kejauhan, ragu-ragu sebelum akhirnya melangkah mendekat, kakinya yang kecil hampir tenggelam dalam pasir.
“Kenapa kak Simon duduk di sini sendirian?” suaranya lembut, seperti gumaman angin malam yang nyaris lenyap di antara deburan ombak.
Simon tetap diam, matanya menatap lautan seakan mencari sesuatu di antara riak gelapnya.
“Apa kau tidak suka tinggal bersama kami?” lanjut Charlotte, kali ini suaranya lebih kecil, seolah takut akan jawaban yang mungkin menyakitinya.
Simon menghela napas panjang. “Bukan itu masalahnya.” gumamnya, suaranya nyaris tenggelam bersama ombak.
Charlotte mengernyit, menunggu. Ketika Simon tak kunjung menjawab, ia berbisik, “Lalu apa?”
Simon tidak menjawab.
Charlotte memandangnya dengan mata yang jernih dan polos. “Aku dan Kai selalu berdoa agar kita bisa punya keluarga yang lengkap. Aku senang Kak Simon ada di sini.”
Simon menoleh ke arahnya. Kata-kata itu sederhana, tapi… terasa begitu nyata.
“Aku bukan keluarga kalian.” gumam Simon.
Charlotte tersenyum. “Nenek bilang, keluarga bukan soal darah. Keluarga adalah mereka yang tetap ada meskipun kita berada dalam situasi tersulit.”
Hening.
Angin laut bertiup pelan, membawa aroma asin yang menyegarkan.
Charlotte tiba-tiba memeluk Simon dengan erat. Hangat. Simon terdiam, membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam dirinya.
“Keluarga adalah mereka yang tetap tinggal.” Kata Charlotte sembari memeluk Simon. “Meskipun kita tetap berada di kondisi tersulit, mereka akan tetap ada untuk mengulurkan tangannya untuk menawarkan bantuan.”
Simon menatap Charlotte sebentar. Ada kehangatan aneh yang menjalar di dadanya—perasaan yang tidak ia izinkan, tapi juga tidak bisa ia tolak. Ia menatap lautan yang biru, membiarkan pikirannya tenggelam bersama ombak.
“Mungkin kau benar,” gumamnya pelan. “Mungkin...”
Charlotte tersenyum kecil, lalu bersandar di bahunya.
Simon mengelus kepala Charlotte dengan lembut, air mata membasahi rambut gadis kecil itu. Simon kemudian menatap rembulan yang tertutup awan, seperti kebenaran yang tertutup dalam kegelapan.
Mungkin… ini adalah rumahnya sekarang. Dalam hatinya yang telah lama membeku oleh duka dan dendam.
Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Tak ada lagi suara ombak, tak ada lagi deru angin, hanya detak jantung kecil yang bersandar di dadanya.
Pelukan itu—tindakan yang sederhana dan tulus—menggugurkan lapisan terakhir kesepian yang selama ini ia sembunyikan di balik wajah keras dan sikap diamnya.
Dalam keheningan malam, Simon perlahan memejamkan mata. Ia tidak menangis. Tidak kali ini. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang mulai mencair.
“Aku akan jaga kalian.” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Charlotte mengangguk dalam pelukannya.
Dan di bawah cahaya bulan yang pucat, di ujung dermaga yang lapuk, angin membawa janji itu ke laut.
Angin perubahan telah datang.
Dan Simon Aetherius mulai memahami satu hal:
Kadang, kekuatan terbesar tidak datang dari darah bangsawan atau pedang yang tajam. Tapi dari keberanian untuk mencintai lagi—meski dunia pernah merenggut segalanya darimu.
Dalam hatinya yang sudah lama beku.
Pelukan itu—rapuh, ringan, namun mengandung kekuatan yang luar biasa. Seolah-olah Charlotte berusaha menambal lubang di dalam dirinya dengan sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh darah bangsawan, mahkota emas, atau kekuasaan.
Ia memejamkan mata, membiarkan keheningan malam menjadi saksi dari sesuatu yang tumbuh dalam dirinya—bukan lagi kebencian, bukan hanya dendam. Tapi juga harapan.
Harapan yang lembut, seperti pelukan anak kecil yang tulus mencintai tanpa alasan.
“Terima kasih, Charlotte.” ucapnya akhirnya, suaranya lirih namun tulus.
Charlotte tidak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya sesaat sebelum melepaskan dan kembali berdiri. Ia menatap Simon dengan senyum kecil, lalu berbalik perlahan.
Sebelum pergi, gadis kecil itu berkata pelan, “Kalau Kak Simon ingin menangis lagi, jangan sendirian.”
Simon terdiam, menatap punggung kecil itu berjalan kembali ke gubuk. Ombak kembali berdebur pelan, seolah dunia pun mengakui kerapuhan malam itu.
Ia menatap langit. Bintang-bintang mulai merangkak naik, dan angin membawa bisikan yang berbeda kini—bukan sekadar kenangan, tapi janji.
Angin perubahan telah datang.
Dan Simon tahu, jalan yang harus ia tempuh tidak akan mudah. Tapi untuk pertama kalinya sejak kejatuhannya, ia tidak berjalan sendiri. ...dalam dirinya, seperti ombak yang akhirnya mencapai tepian setelah perjalanan panjang.
Untuk pertama kalinya sejak tragedi di istana, Simon membiarkan dirinya diam, membeku dalam pelukan seseorang yang tak memiliki darah yang sama, tapi menawarkan kehangatan yang bahkan tak ia temukan di balik tirai sutra kerajaan.Malam itu, langit tampak lebih jernih. Bintang-bintang bersinar, seolah memberi restu pada awal yang baru. Mungkin angin perubahan benar-benar telah datang, tak dengan guntur atau gemuruh, tapi dengan bisikan halus dan tangan kecil yang memeluk erat. Ombak kecil menyentuh ujung kakinya, lalu surut kembali, seperti kenangan yang datang dan pergi sesuka hati.
Dan Simon merasa dunia menjadi lebih ringan untuk sesaat.