Bab 12 : Klimaks

Bab 10: Klimaks

Rasa nostalgia. Rasa yang tidak asing. Perasaan yang aneh namun nyata. Matanya tertutup, namun dia dapat merasai kehangatan yang menyelinap dari balik kelopak yang terkatup. Finn perlahan membuka mata.

Sosok itu ada di hadapannya. Rafaila.

Dia duduk tenang, memangku kepala Finn di atas pahanya. Senyuman itu… damai, seperti ibu yang menyambut anak yang baru pulang dari medan perang. Finn tahu ini mimpi, tetapi dia tidak peduli. Kalau ini mimpi, biarlah ia kekal lama.

Mulut Finn bergerak, mahu berkata sesuatu, tapi tiada suara keluar.

Rafaila hanya menggeleng perlahan. Sebuah isyarat senyap—belum saatnya. Finn mengerti. Dia memilih diam, membiarkan ketenangan itu meresap hingga ke tulangnya, walau hanya sekejap.

Tok Tok Tok.

Ketukan pintu membangunkan Finn serta-merta. Nafasnya berat, tubuhnya seperti baru keluar dari ruang yang sangat dalam.

Dia bangkit, membuka pintu.

Node berdiri di hadapan dengan senyum lebar, pedang kayu bersandar di bahunya. Pagi… atau mungkin sudah menjelang tengah hari. Finn terlajak tidur.

“Eh, Finn. Aku panggil dari tadi tak dengar. Aku minta izin masuk, terus mereka izinkan. Tak ganggu tidur kau, kan?” ujar Node sambil ketawa kecil.

Finn mengangkat tangan mahu menjawab, namun sesuatu mengalir di pipinya.

Air mata.

Dia tidak tahu mengapa. Node kelihatan terkejut.

“Kau okey, Finn?”

“…Entahlah. Aku pun tak tahu,” jawabnya sambil menyeka pipi.

Node berpeluk tubuh. “Kalau kau letih, kita tangguh esok pun tak apa. Masih banyak masa.”

“Tak perlu. Aku okey. Kau datang nak ajak aku, kan? Tunggu kejap. Aku bersiap.”

“Kalau kau kata begitu, aku tunggu di bawah.”

Finn menutup pintu dan berdiri diam. Kenapa dia menangis? Kenapa Rafaila muncul dalam mimpinya… dan kenapa wajahnya penuh simpati? Apa yang akan berlaku?

Dia menggeleng, menolak segala andaian. Fokus. Hari ini bukan untuk fikiran bersimpang-siur. Hari ini, dia akan melawan Node.

Tempat latihan sudah riuh. Node sedang menunggu, bersandar santai. Finn tiba sambil mencari pedang kayu yang sesuai.

Matanya membulat melihat pedang milik Node. Panjangnya hampir menyamai tinggi tubuh Finn. Lebarnya seperti papan pintu.

“Oi, oi. Itu pedang ke atau pintu rumah? Kau yakin boleh angkat?”

Node tertawa lalu mengangkat pedang itu dengan sebelah tangan. “Lebih ringan dari pedang sebenar aku, tahu tak? Hahaha!”

Finn senyum kecil, namun dalam hati dia tahu—Node memang luar biasa. Kalau dia dilahirkan sebagai manusia penuh, dengan otot seperti itu, mungkin dia sudah menjadi legenda.

Tidak lama kemudian, orang-orang di sekitar mula berkumpul. Sebahagian berhenti berlatih, sebahagian lagi berlari menyebarkan khabar. Pertarungan antara Node dan Finn bakal bermula. Dalam masa singkat, Dorothy, Freya, dan Riana turut datang, naik ke tingkat atas Kediaman Shina yang menghadap langsung ke arena. Dari situ, mereka dapat menyaksikan segalanya.

Suasana menjadi tegang.

Tok! Dor! Dash!

Pertarungan bermula. Pedang kayu beradu. Getarannya terasa hingga ke tulang.

Finn menangkis setiap serangan, tapi lengannya terasa kebas. Pedang Node terlalu besar, terlalu berat. Menahan serangan semata-mata bukan strategi terbaik. Node menutup jarak, menggunakan panjang senjatanya untuk mengawal medan.

‘Gila... dia seperti raksasa,’ fikir Finn.

Lebih menakutkan lagi, Node bukan hanya kuat. Dia juga cepat. Kecepatannya aneh—seperti bukan bergerak, tapi berpindah tempat. Seperti melangkau ruang.

Finn segera mengaktifkan skill Buff kecepatan. Tubuhnya jadi lebih ringan. Dia cuba masuk dari sisi.

Node mengundur tiba-tiba. Cepat. Tidak logik.

“Apa tu?! Curang! Kau kata badan kau berat?!” jerit Finn sambil berkelit.

Node tertawa. “Berat tu relatif, Finn! Riana nampak aku lambat sebab dia arnab! Tapi bagi manusia normal, aku ni Flash!”

Finn mencebik.

Dia aktifkan Ilusi. Sekeliling Node berubah jadi gelap pekat. Senyap. Tiada suara. Tiada cahaya. Kegelapan total.

Node terhenti. “Ohh… jadi ini yang Dorothy nampak dulu… Menyeramkan juga.”

Di tengah kekosongan itu, Finn muncul dari belakang. Bukan dengan pedang panjang, tapi sebilah pedang pendek. Dia menikam—kena! Node terkejut, tapi tidak marah. Sebaliknya dia tertawa.

“Hahaha! Menarik! Tunjuk lagi!”

“Baiklah.”

Finn melesat ke depan, lalu tubuhnya berubah menjadi burung kecil. Dia terbang memutari Node lalu berubah semula ke bentuk asal tepat di hadapan musuh. Tanpa sempat mengambil senjata, Finn memutar dan menendang wajah Node—darah mengalir dari hidungnya.

Namun Node tidak marah. Dia senyum. Dalam sekelip mata, dia hilang dari pandangan.

Finn tidak sempat berpaling.

“Arghh!!”

Ayunan besar menghentam punggungnya. Tubuh Finn terpelanting ke tanah. Debu berterbangan. Node tidak memberi peluang. Serangan susulan menyusul—untung hanya kayu, jika tidak, Finn pasti sudah tidak sedarkan diri.

Penonton bersorak—namun tiba-tiba…

Gelap.

Penonton panik.

“Oi?! Kenapa gelap?!”

“Mana aku ni?!”

Ilusi kali kedua—tetapi kali ini ditujukan kepada penonton termasuk Dorothy, Shina dan Riana. Hanya Freya, dari sudut jauh, masih melihat segalanya dengan jelas. Matanya tidak terpejam. Dia melihat, dan dia tahu.

Finn berubah. Gerakannya menjadi… anggun. Namun bukan seperti Dorothy.

Finn menari. Tubuhnya menyelusur seperti air deras. Kalau Dorothy seperti angin yang tenang, Finn ialah sungai yang memecah batu—liar, deras, tapi tidak hilang kendali. Setiap langkah mengalir dalam irama.

Node menangkis, tapi alirannya terganggu. Dia kehilangan titik pijak. Finn menyerang bertubi-tubi. Tubuh Node akhirnya terbuka—satu hentakan ke lutut, satu ke bahu.

Finn bersedia menyelesaikan pertarungan.

Namun saat dia hendak melompat, Node… menghilang.

Sesuatu melayang.

Tuk!

Batu kecil.

Finn sempat mengelak. Tapi pandangannya jadi gelap. Di saat berikutnya, dia sedar…

Node berada di belakang.

“Sial… Kau berpindah tempat, bukan sebab laju...” bisik Finn sebelum—

Bumm!!

Ayunan pedang raksasa kayu menghentam tubuhnya. Finn terlempar jauh, menghentam tanah. Tubuhnya tak bergerak.

Kesedaran hilang.

Finn, kalah.