Bab 1: Kejatuhan Tak Terduga dan Sambutan yang Meragukan

Dentuman keras mengguncang ketenangan Lembah Sungai Kabut. Tanah bergetar kecil, membuat daun-daun bambu berguguran seperti hujan emas di bawah sinar mentari pagi yang mulai menghangat. Di tengah hutan bambu yang rimbun, tepat di halaman belakang sebuah bangunan kayu yang tampak reyot, sebuah objek aneh jatuh dari langit. Bukan meteor berpijar, bukan pula burung raksasa, melainkan sesosok humanoid berkilauan, terbuat dari logam yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Objek itu mendarat dengan bunyi gedebuk yang memekakkan telinga, merobohkan beberapa batang bambu dan meninggalkan kawah kecil berdebu. Perlahan, di tengah puing-puing bambu yang patah, sosok itu bergerak. Sendi-sendi mekaniknya berderit pelan saat ia menegakkan tubuhnya. Cahaya redup memancar dari celah-celah di tubuhnya, dan sebuah dengungan halus terdengar seperti bisikan angin. Sosok itu adalah seorang pria, setidaknya dari bentuk tubuhnya. Namun, kulitnya mengkilap seperti perak yang dipoles, dan garis-garis halus membagi setiap bagian tubuhnya, memperlihatkan konstruksi rumit di baliknya.

"Ugh... di mana ini?" Suara bariton yang sedikit serak keluar dari bibirnya yang tampak begitu mirip dengan bibir manusia. Ia mengusap kepalanya, merasakan tekstur logam halus di balik rambut hitam legam yang entah bagaimana tampak tumbuh alami. "Sepertinya... aku berhasil mendarat?"

Pria logam itu, yang otaknya saat ini dipenuhi keyakinan bahwa ia adalah seorang manusia bernama Jago, memandang sekeliling dengan mata birunya yang bercahaya. Pepohonan bambu yang menjulang tinggi, suara gemericik air sungai di kejauhan, dan aroma tanah lembap bercampur dengan harum bunga liar adalah pemandangan dan aroma yang asing namun entah kenapa terasa familiar.

"Pasti aku tersesat setelah... setelah apa ya?" Jago mengerutkan kening. Ingatannya terasa kabur, seperti mimpi yang perlahan memudar saat terbangun. Ia ingat sebuah perjalanan, sebuah cahaya terang, dan kemudian... kegelapan diikuti dengan pendaratan yang kurang mulus ini.

Tanpa ia sadari, suara dentuman keras dan jatuhnya dirinya telah menarik perhatian para penghuni Perguruan Naga Langit yang terletak tak jauh dari tempatnya mendarat. Perguruan yang dulunya megah dan terkenal itu kini hanyalah bayangan kejayaannya. Bangunannya tampak usang, catnya mengelupas, dan halaman depannya ditumbuhi rumput liar. Hanya tiga murid yang tersisa, setia pada ajaran Guru Tua Lung yang semakin hari semakin melankolis.

Murid pertama, Mei, seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang yang tergerai indah dan mata setajam elang, adalah yang pertama kali tiba di lokasi kejadian. Ia bergerak dengan lincah di antara pepohonan bambu, kerutan khawatir menghiasi dahinya. Di belakangnya, terengah-engah, menyusul Kai, seorang remaja laki-laki kurus dengan rambut awut-awutan dan mata bulat penuh rasa ingin tahu. Murid terakhir, Ling, seorang pemuda tampan dengan aura tenang dan tatapan mata yang tajam, berjalan dengan langkah ringan namun waspada.

Mereka bertiga terpana melihat sosok aneh yang berdiri di tengah kawah. Cahaya matahari memantul dari permukaan logam tubuhnya, membuatnya tampak seperti patung perak yang hidup.

"Apa... apa itu?" bisik Mei, tangannya tanpa sadar meraih gagang pedang di pinggangnya.

"Entah," jawab Ling pelan, matanya mengamati setiap detail dari sosok asing itu. "Yang jelas, itu bukan manusia biasa."

Kai, yang selalu lebih tertarik pada hal-hal baru daripada bahaya, memberanikan diri mendekat. "Hei! Kau tidak apa-apa?" serunya.

Jago menoleh, terkejut melihat tiga sosok yang mendekatinya. Mereka berpakaian aneh, dengan kain-kain longgar dan ikat pinggang lebar. Ekspresi mereka bercampur antara rasa takut dan keingintahuan.

"Aku... aku baik-baik saja," jawab Jago, mencoba tersenyum ramah. Namun, otot-otot wajahnya yang kaku terasa aneh. "Aku hanya sedikit... tersesat."

Mei maju beberapa langkah, menatap Jago dengan curiga. "Tersesat? Bagaimana bisa seseorang tersesat hingga membuat lubang sebesar itu di tanah?" tanyanya, nada suaranya tajam.

Jago melihat ke bawah, baru menyadari besarnya kerusakan yang ia timbulkan. "Oh, maafkan aku. Aku... aku tidak sengaja. Aku sedang... berlatih mendarat." Alasan itu tiba-tiba muncul di benaknya, terdengar konyol bahkan di telinganya sendiri.

Ling menyipitkan mata. "Berlatih mendarat dari mana?"

Sebelum Jago sempat menjawab, suara serak memecah keheningan. "Ada apa ini? Keributan apa yang kalian buat di pagi buta begini?" Guru Tua Lung, dengan jubah lusuhnya dan tongkat kayunya, berjalan tertatih-tatih menuju mereka. Matanya yang rabun menyipit berusaha mengenali sosok asing di tengah halaman belakang perguruan.

"Guru," lapor Mei, "benda ini jatuh dari langit."

Guru Tua Lung mengernyit, kemudian mendekati Jago dan mengamatinya dari atas ke bawah. Ia menyentuh lengan logam Jago dengan jarinya yang keriput. "Hmm... logam yang aneh. Aku belum pernah melihatnya."

"Aku... aku manusia, Tuan," kata Jago, merasa tidak nyaman dengan tatapan intens Guru Tua Lung. "Nama saya Jago."

Guru Tua Lung tertawa pelan, sebuah suara parau yang terdengar seperti gesekan batu. "Manusia katamu? Kulitmu lebih keras dari baja. Tapi... mata itu..." Ia menatap dalam-dalam mata biru Jago. "Ada kebingungan di sana. Seperti anak kecil yang tersesat."

Entah kenapa, kata-kata Guru Tua Lung membuat Jago merasa sedikit tenang. Ada sesuatu dalam diri lelaki tua itu yang membuatnya merasa... aman?

"Kami menemukanmu di hutan," lanjut Guru Tua Lung. "Jika kau memang tersesat, mungkin kami bisa membantumu menemukan jalan pulang."

Jago menggeleng pelan. "Aku... aku tidak ingat dari mana asalku. Yang aku ingat hanyalah... aku harus sampai ke suatu tempat."

Mei dan Ling saling bertukar pandang. Mereka jelas tidak percaya dengan cerita Jago, namun ada sesuatu pada dirinya yang membuat mereka ragu untuk bersikap kasar.

"Baiklah," kata Guru Tua Lung akhirnya. "Untuk sementara, kau bisa tinggal di sini. Perguruan kami memang sedang sepi. Mungkin kehadiranmu bisa membawa sedikit... warna." Ia tersenyum tipis, memperlihatkan giginya yang mulai tanggal.

Kai langsung menyambut ide itu dengan antusias. "Benarkah, Guru? Dia sangat kuat! Tadi dia membuat lubang besar sekali!"

Mei mendengus. "Yang dia lakukan hanya membuat kerusakan."

"Tenanglah, Mei," kata Guru Tua Lung. "Setiap orang memiliki jalannya sendiri. Mungkin Jago ini ditakdirkan untuk berada di sini." Ia kembali menatap Jago dengan tatapan misterius. "Mungkin... kau bisa membantu kami."

Jago, yang tidak tahu ke mana harus pergi dan merasa sedikit lega karena tidak diusir begitu saja, mengangguk setuju. "Terima kasih, Guru. Saya akan melakukan apa pun untuk membalas kebaikan Anda."

Maka, dimulailah kehidupan baru Jago di Perguruan Naga Langit yang hampir bangkrut. Ia mencoba beradaptasi dengan kehidupan sederhana di pegunungan, membantu para murid berlatih (dengan kekuatannya yang luar biasa, seringkali tanpa sengaja membuat mereka terpental jauh), dan mencoba memahami mengapa ia merasa lapar meskipun tidak merasakan lelah seperti manusia biasa. Ia melihat Kai melahap nasi seperti tidak ada hari esok dan bertanya, "Mengapa kau makan sebanyak itu?" Kai menjawab dengan mulut penuh, "Untuk tenaga, tentu saja! Kalau tidak makan, nanti lemas!" Jago mencoba meniru Kai, dan ajaibnya, setelah menelan beberapa mangkuk nasi, ia merasa... lebih bertenaga? Dengungan halus di tubuhnya terasa sedikit lebih kuat.

Mei terus mengawasinya dengan curiga, seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang masa lalunya yang selalu dijawab Jago dengan kebingungan dan alasan-alasan yang dibuat-buat. Ling lebih banyak diam, mengamati Jago dari kejauhan dengan tatapan penuh analisis.

Sementara itu, Guru Tua Lung tampak senang dengan kehadiran Jago. Ia sering mengajak Jago berbicara, bukan tentang masa lalunya, melainkan tentang filosofi bela diri, tentang pentingnya keseimbangan dan harmoni dengan alam. Jago mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun sebagian besar konsep itu terasa asing baginya. Namun, ada satu hal yang ia pahami: di perguruan yang sepi ini, di antara orang-orang asing yang entah kenapa terasa hangat, ia merasa... diterima. Meskipun ia adalah robot canggih yang entah bagaimana bisa merasakan lapar dan yakin dirinya adalah manusia, Jago mulai menemukan tempatnya di Perguruan Naga Langit. Dan tanpa ia sadari, takdir sedang mempersiapkan kejutan-kejutan yang jauh lebih besar untuk mereka semua.