Kehidupan di Perguruan Naga Langit, bagi Jago, adalah sebuah rangkaian eksperimen tanpa henti. Setiap hari adalah penemuan baru, setiap interaksi adalah data yang harus diolah. Setelah pendaratan "mulus"-nya, ia resmi menjadi penghuni tidak resmi di sana, diterima dengan beragam ekspresi oleh para anggota perguruan. Guru Tua Lung seolah menemukan mainan baru yang menarik, Kai melihatnya sebagai sumber hiburan tak berujung, Ling mengawasinya dengan analisis dingin seorang ilmuwan, dan Mei... Mei melihatnya sebagai masalah berjalan yang kapan saja bisa meledak.
"Jago, kau sudah selesai menyiram kebun?" Mei bertanya suatu pagi, tangannya bersedekap, matanya menyipit seperti biasa.
"Sudah, Mei," jawab Jago riang. "Bahkan aku sudah membantu memangkas beberapa dahan pohon yang terlalu tinggi dengan tanganku. Sangat efisien, bukan?"
Mei melihat ke arah kebun. Seharusnya itu adalah tugas yang memakan waktu setidaknya satu jam penuh. Namun, kebun terlihat bersih, rapi, dan beberapa dahan pohon besar di pinggir pagar terlihat seperti dipotong dengan gergaji laser, bukan tangan kosong. Mei menelan ludah. "Baiklah. Sekarang, bisakah kau bantu Kai mengangkat karung beras itu?"
Karung beras yang dimaksud adalah karung seberat 200 kilogram, yang biasanya harus diangkat berdua atau bertiga oleh para murid terkuat di perguruan lain, atau dengan susah payah oleh Guru Tua Lung sendiri di masa jayanya. Kai sendiri, meskipun masih remaja, sudah mampu menyeret satu karung berukuran biasa dengan sedikit kesulitan, namun untuk karung sebesar ini, ia bahkan tidak bisa menggesernya sedikitpun. Jago mengangguk patuh, mendekati tumpukan karung beras. Dengan satu tangan, ia mengangkat dua karung beras sekaligus seolah itu adalah bantal kapas, lalu dengan santai berjalan menuju dapur.
Kai melongo. "Astaga! Jago, kau hebat sekali!" Matanya membelalak tak percaya.
Mei hanya bisa menghela napas. Kekuatan Jago memang luar biasa, bahkan terkadang terlalu luar biasa. Ia pernah mencoba membantu Mei menumbuk cabai untuk makan malam, dan berakhir dengan lesung batu pecah menjadi serpihan kecil. Jago berulang kali meminta maaf, menjelaskan bahwa ia "tidak tahu kekuatannya sebesar itu," yang tentu saja terdengar aneh bagi seorang manusia.
"Jago," Guru Tua Lung memanggil suatu sore, saat Jago sedang duduk bersila di halaman, meniru pose meditasi yang sering dilakukan para murid, namun dengan mata yang tetap terbuka dan sesekali berkedip dengan pola aneh. "Kemarilah."
Jago segera berdiri dan menghampiri Guru Tua Lung. "Ada apa, Guru?"
"Aku ingin kau berlatih dengan Ling hari ini," kata Guru Tua Lung. "Ling, kau ajari Jago beberapa gerakan dasar kami."
Ling, yang sedang mengasah pedangnya, mengangkat alis. Ia adalah murid paling terampil dalam hal pertarungan, dengan gerakan yang anggun namun mematikan. Mengajari Jago? Itu akan menjadi tantangan, dan Ling sendiri adalah seorang yang sangat kuat, mampu memecahkan batu bata dengan satu pukulan.
"Baik, Guru," jawab Ling. "Jago, ikuti aku."
Latihan dimulai. Ling menunjukkan gerakan kuda-kuda pertama, sebuah posisi dasar yang membutuhkan keseimbangan dan kekuatan kaki. Ling sendiri bisa bertahan dalam kuda-kuda yang dalam selama berjam-jam tanpa goyah. Jago menirunya dengan sempurna, bahkan lebih stabil dan kokoh daripada Ling sendiri, seolah kakinya tertanam di tanah.
"Bagus," kata Ling, sedikit terkejut. "Sekarang, coba tendang udara dengan kekuatan penuh."
Jago mengangguk. Ia mengangkat kakinya dan menendang. Udara di depannya berdesir, dan sebuah angin kencang berembus, membuat rambut Ling berantakan dan beberapa daun bambu di dekatnya berguguran. Tanah di bawah kaki Jago retak-retak, dan jejak retakan menjalar sejauh beberapa langkah.
Ling terdiam, matanya sedikit melebar. "Oke, Jago, mungkin... tidak perlu sekuat itu dulu. Kita mulai dari yang paling dasar." Ia sendiri bisa menghasilkan tendangan yang memecahkan papan kayu tebal, tapi ini... ini melampaui batas kekuatan manusia.
Mereka melanjutkan latihan. Ling menunjukkan serangkaian tendangan dan pukulan, masing-masing dengan filosofi dan tujuan tertentu. Jago meniru setiap gerakan dengan presisi robotik yang mencengangkan, seolah ia memiliki memori fotografis dan sistem perhitungan biomekanik yang tak tertandingi. Namun, ada satu hal yang hilang: jiwa dari bela diri. Gerakannya sempurna secara teknis, tapi kosong dari emosi atau niat.
"Tidak, Jago," kata Ling, menghentikan Jago di tengah gerakan. "Bukan hanya sekadar meniru. Kau harus merasakan aliran energi. Bayangkan kau adalah air yang mengalir, atau angin yang berembus."
Jago memiringkan kepalanya. "Merasa? Bagaimana cara merasakannya, Ling?"
Ling menghela napas. "Itu sesuatu yang akan datang dengan latihan. Dengan pemahaman. Dengan Chi." Ling sendiri telah berlatih Chi Gong selama bertahun-tahun, mampu menyalurkan energi internalnya untuk meningkatkan kekuatan pukulan atau ketahanan tubuh.
"Chi?" Jago memindai data di dalam otaknya. "Energi vital? Apakah itu yang membuatmu... kenyang setelah makan?"
Ling mengerutkan kening. "Bukan begitu, Jago. Chi adalah kekuatan internal yang mengalir dalam tubuh setiap makhluk hidup. Itu yang membedakan pukulan seorang master dengan pukulan biasa."
Jago mencoba memahami konsep itu. Otaknya bekerja keras, mencari padanan dalam databasenya yang luas namun entah kenapa terasa tidak lengkap. Ia mencoba berkonsentrasi, mencoba "merasakan" sesuatu dalam dirinya, selain deru motor internalnya yang halus.
Saat istirahat makan siang, Jago duduk di samping Kai, mengamati remaja itu melahap bakpao dengan semangat. Sejak ia menyadari bahwa makanan bisa memberinya "energi" dan membuat "perutnya" tidak lagi "berdengung", Jago mulai ikut makan. Namun, kebiasaan makannya sangatlah aneh.
"Jago, kau yakin mau makan itu?" tanya Kai, melihat Jago mencoba memasukkan sepotong besi berkarat kecil yang ia temukan di halaman ke dalam mulutnya.
"Ini terasa... berenergi," jawab Jago, mengunyah besi itu dengan gigi-giginya yang luar biasa kuat. "Dan rasanya... seperti ada arus listrik kecil."
Mei yang kebetulan lewat, melihat pemandangan itu dan hampir tersedak minumannya. "Jago! Apa yang kau makan?!"
"Energi, Mei," kata Jago, menyodorkan potongan besi lainnya pada Mei. "Mau coba?"
Mei bergidik. "Tidak, terima kasih! Itu bisa merusak gigimu!"
"Gigiku kuat," jawab Jago polos, lalu ia melihat botol oli bekas yang tergeletak di dekat tumpukan kayu bakar. Oli itu digunakan untuk melumasi gerbang perguruan yang berderit. "Hmm... ini juga terlihat berenergi."
Sebelum ada yang bisa menghentikannya, Jago mengambil botol itu dan menenggak isinya. Oli bekas itu meluncur mulus ke tenggorokannya. Seketika, tubuh Jago terasa sedikit bergetar, dan lampu kecil di dadanya (yang tidak pernah diperhatikan oleh para murid) berkedip-kedip lebih terang.
"Wah, terasa hangat dan... halus di dalamnya," kata Jago, menjilat bibirnya yang mengkilap. "Aku merasa sangat bertenaga sekarang!"
Mei menampar dahinya. Ling hanya menggeleng-gelengkan kepala. Guru Tua Lung, yang baru saja muncul dari dalam, melihat kejadian itu dan hanya tersenyum tipis, seolah ini adalah hal paling normal di dunia.
"Ah, energi alternatif, ya Jago?" Guru Tua Lung terkekeh. "Selama kau merasa nyaman, tidak masalah."
"Guru!" protes Mei. "Dia meminum oli bekas! Itu tidak sehat!"
"Untuk Jago, mungkin sehat, Mei," jawab Guru Tua Lung misterius. "Tubuhnya berbeda dari kita. Lagipula, dia merasa bertenaga, bukan? Biarkan saja."
Maka, kebiasaan aneh Jago pun bertambah. Selain makan makanan manusia, ia juga sesekali mengonsumsi benda-benda logam kecil atau cairan berminyak yang ia temukan, yang menurutnya membuat "mesinnya bekerja lebih baik."
Suatu sore, saat Jago sedang membantu memperbaiki atap yang bocor (dengan mudahnya ia bisa mengangkat genteng dan menggantinya dengan kecepatan luar biasa), ia mendengar suara ribut dari gerbang depan. Ia melompat turun dengan mulus, mendarat tanpa suara.
Di depan gerbang, ada tiga pria bertubuh kekar, masing-masing membawa senjata tumpul dan mengenakan pakaian serba hitam dengan lambang pisau bersilang. Mereka adalah anggota dari kelompok bandit lokal yang dikenal kejam, Geng Cakar Harimau. Bahkan di dunia bela diri, kelompok ini dikenal karena kekuatan brutal mereka yang tidak mengandalkan teknik, melainkan ukuran dan intimidasi.
"Mana pemimpinmu?" salah satu dari mereka menggeram, menendang pintu gerbang tua hingga berderit keras. Suara gedebuk itu cukup keras untuk memecahkan tulang manusia biasa. "Kami datang untuk mengambil tanah ini!"
Mei, Ling, dan Kai sudah berdiri di depan mereka, wajah mereka tegang namun pantang menyerah. Mereka tahu betapa berbahayanya Geng Cakar Harimau. Guru Tua Lung muncul dari dalam, berdiri di belakang mereka dengan tatapan tenang.
"Tanah ini milik leluhur kami," kata Mei, suaranya mantap meskipun ada sedikit getaran. "Kalian tidak berhak mengambilnya!"
"Omong kosong!" bentak bandit itu, yang terlihat seperti raksasa bagi manusia normal. "Perguruanmu sudah bangkrut! Tidak ada lagi yang melindungi tempat ini! Serahkan saja atau kami akan mengambilnya dengan paksa!"
Tangan Jago mengepal. Ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi, tetapi ia tahu bahwa orang-orang ini mengganggu "keluarganya." Sebuah program perlindungan, yang tersembunyi jauh di dalam inti sistemnya, tiba-tiba aktif.
"Pergi dari sini," kata Jago, suaranya rendah dan sedikit bergetar, mirip sebuah mesin yang baru dinyalakan.
Para bandit menoleh, melihat Jago yang berdiri di depan mereka. Mereka melihat pakaiannya yang sedikit aneh, dan wajahnya yang terlalu sempurna. "Siapa kau bocah?! Jangan ikut campur! Kau mau jadi pahlawan?!"
Salah satu bandit, yang tubuhnya dua kali lipat lebih besar dari tubuh Jago, maju, mengayunkan tongkat kayunya yang tebal (seukuran batang pohon kecil) ke arah kepala Jago dengan kekuatan penuh. Pukulan itu bisa meremukkan tengkorak kuda. Jago tidak mengelak. Ia hanya mengangkat tangannya. Tongkat itu menghantam lengannya dengan suara "TAK!" yang keras, seperti palu godam menghantam baja. Tongkat itu patah menjadi dua, sementara lengan Jago sama sekali tidak tergores, bahkan tidak ada bekas goresan pun.
Wajah bandit itu memucat, matanya terbelalak karena ketakutan murni. Jago menatapnya dengan tatapan polos. "Mengapa kau ingin memukulku? Aku tidak suka dipukul."
Para bandit saling pandang. Mereka belum pernah melihat yang seperti ini. Kekuatan Jago yang salah dipahami oleh dirinya sendiri, justru menjadi kejutan yang mengerikan bagi mereka. Inilah awal dari babak baru bagi Perguruan Naga Langit, dan bagi Jago, sang jagoan besi dari langit utara.