Bab 3: Duel Tak Terduga dan Strategi 'Robotik' Jago

Keheningan yang mencekam menyelimuti gerbang Perguruan Naga Langit. Angin sepoi-sepoi berdesir, membawa aroma tanah basah dan ketakutan yang samar dari para anggota Geng Cakar Harimau. Pukulan tongkat kayu tebal yang hancur berkeping-keping di lengan Jago, seolah itu hanya sebatang ranting kering, telah membuat mereka terpaku di tempat. Bahkan si bandit berotot, yang tadi penuh ancaman, kini berdiri membeku, matanya terbelalak melihat Jago yang menatapnya polos.

"Apa... apa itu tadi?" salah satu bandit bergumam, suaranya tercekat.

Jago, yang masih belum sepenuhnya memahami dampak kekuatannya, hanya memiringkan kepalanya. "Aku sudah bilang, aku tidak suka dipukul." Ia kemudian memungut pecahan tongkat kayu yang berserakan di tanah. "Ini sepertinya rusak. Aku bisa memperbaikinya jika kalian mau."

Guru Tua Lung, yang selama ini hanya mengamati dengan tenang, kini tersenyum tipis, senyum yang jarang sekali terlihat. Mei, Ling, dan Kai, di sisi lain, tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka. Mereka tahu Jago kuat, tetapi ini di luar perkiraan mereka. Kekuatan yang bisa mematahkan senjata bandit sekuat itu tanpa goresan? Itu bukan lagi kekuatan manusia.

Pemimpin Geng Cakar Harimau, seorang pria bertubuh pendek namun kekar dengan janggut gimbal dan bekas luka di wajahnya, melangkah maju. Ia adalah Ma Cang, yang berarti "Macan Kuat", dan ia terkenal karena kekejaman serta kekuatan fisiknya yang luar biasa. Ia memegang sebilah kapak besar yang berkilauan. Matanya menyipit saat menatap Jago.

"Kau bukan orang biasa," geram Ma Cang. "Entah kau berlatih teknik rahasia atau kau adalah iblis yang menyamar. Tapi tanah ini akan menjadi milik Geng Cakar Harimau!"

Jago tidak gentar. Otaknya sedang memproses informasi. Ancaman, agresi, kepemilikan tanah. Semua itu berlawanan dengan apa yang ia rasakan tentang "keluarganya" di perguruan ini. "Kami tidak akan memberikannya padamu," kata Jago, suaranya mantap.

Ma Cang tertawa sinis. "Begitu? Kalau begitu, biar aku yang akan membuatmu mengerti!" Dengan raungan, Ma Cang melesat maju, kapaknya terangkat tinggi di atas kepalanya, memancarkan aura ancaman yang mematikan. Pukulan kapak itu cukup kuat untuk membelah batu besar menjadi dua.

Mei berteriak, "Jago, awas!" Ling bersiap melompat membantu, tetapi Guru Tua Lung menahan tangannya dengan isyarat.

Jago tidak bergerak. Ketika kapak itu hampir mengenainya, ia hanya menggeser tubuhnya sedikit ke samping, menghindari tebasan tajam itu dengan gerakan yang begitu halus dan cepat sehingga nyaris tak terlihat. Kapak Ma Cang hanya mengiris udara kosong di samping kepalanya.

Ma Cang terkejut. Ia tidak menyangka Jago bisa menghindar secepat itu. Sebelum ia sempat bereaksi, Jago mengangkat tangan kanannya. Jari-jarinya membentuk cakar, meniru gerakan kucing yang pernah ia lihat mengejar tikus.

"Aku akan mencubitmu," kata Jago dengan nada polos, seolah ia sedang mengancam anak kucing.

Dan ia benar-benar "mencubit" Ma Cang. Jari-jari Jago yang terbuat dari material tak dikenal itu mencengkeram lengan Ma Cang dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Ma Cang berteriak kesakitan. Bukan hanya karena cengkeraman Jago yang mematikan, tetapi juga karena Jago, dalam proses "mencubit", secara tidak sengaja meremas otot lengan Ma Cang hingga mengeluarkan suara "krek" yang mengerikan, seolah ada yang patah di dalamnya.

Ma Cang terjatuh, menggeliat di tanah, memegangi lengannya yang terasa seperti dihancurkan. Rasa sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Para bandit lainnya terkesiap, mundur selangkah.

"Aku hanya mencubit," kata Jago, tampak bingung mengapa Ma Cang bereaksi berlebihan. "Apa kau baik-baik saja?"

Ma Cang tidak menjawab. Ia hanya terus meraung kesakitan.

"Cukup!" teriak salah satu bandit. "Kita tidak bisa melawannya! Dia... dia monster!"

Ma Cang, dengan wajah pucat pasi dan menahan rasa sakit, mencoba bangkit. Ia melirik Jago dengan mata penuh teror. "Kau... kau akan membayar ini!" raungnya. "Ini belum berakhir! Aku akan kembali dengan seluruh Geng Cakar Harimau! Kalian tidak akan bisa melindungi tempat ini selamanya!"

Dengan susah payah, Ma Cang berdiri, ditopang oleh anak buahnya, dan mereka lari tunggang langgang, meninggalkan kapak besarnya yang tergeletak di tanah. Keheningan kembali melingkupi perguruan, kali ini diselingi oleh suara napas lega dari Mei, Ling, dan Kai.

"Dia... dia melakukannya," bisik Kai, matanya berbinar kagum.

Mei menatap Jago dengan campuran rasa hormat dan kengerian. "Dia sungguh luar biasa... tapi juga sangat mengerikan."

Ling mendekati Jago, menatapnya dengan tatapan menganalisis yang lebih intens dari sebelumnya. "Jago, bagaimana kau bisa melakukan itu? Kau tidak menggunakan teknik bela diri apapun."

Jago mengedipkan matanya. "Melakukan apa? Aku hanya mencubitnya. Dia ingin memukulku, jadi aku mencubitnya agar dia berhenti."

"Tapi... kau meremas lengannya seolah itu terbuat dari tahu," kata Ling, terkejut dengan ketidakpahaman Jago akan kekuatannya sendiri. "Itu bukan 'cubitan' biasa."

"Oh," Jago berpikir sejenak. "Mungkin aku terlalu bertenaga setelah minum oli bekas tadi pagi?" Ia mengangkat tangannya yang tadi digunakan untuk mencubit Ma Cang, mengamati dengan teliti. "Sepertinya efeknya sangat bagus."

Mei dan Ling hanya bisa menggelengkan kepala. Jago memang memiliki kekuatan yang tak tertandingi, tetapi pemahamannya tentang kekuatan itu sungguh polos, bahkan cenderung berbahaya.

"Kita harus lebih hati-hati dengan Jago," bisik Mei kepada Ling. "Dia bisa saja secara tidak sengaja melukai seseorang dengan serius."

"Kita juga harus melatihnya," balas Ling. "Bayangkan jika kekuatan sebesar itu bisa dikendalikan dan disalurkan dengan benar. Dia bisa menjadi pelindung terbaik perguruan ini."

Malam harinya, di ruang utama perguruan, Guru Tua Lung duduk di kursi goyangnya, sementara Jago, Mei, Ling, dan Kai berkumpul di sekelilingnya. Lilin-lilin kecil memancarkan cahaya redup, menciptakan suasana hangat namun tegang.

"Ma Cang tidak akan menyerah begitu saja," kata Guru Tua Lung, suaranya tenang namun ada nada serius. "Dia pasti akan kembali dengan seluruh pasukannya. Perguruan kita tidak akan mampu menahan mereka."

Mei mengangguk. "Mereka punya lebih dari dua puluh orang, Guru. Dan mereka sangat brutal."

"Tapi kita punya Jago!" seru Kai bersemangat.

Guru Tua Lung menatap Jago. "Memang. Kekuatan Jago adalah anugerah. Namun, kekuatannya belum terarah. Tanpa kendali dan teknik yang tepat, dia bisa menjadi pisau bermata dua."

Jago merasa sedikit tidak enak. Ia tahu Guru Tua Lung benar. Ia tidak mengerti mengapa tangannya bisa begitu kuat, atau mengapa ia bisa bergerak begitu cepat tanpa berpikir.

"Aku akan melatih Jago lebih intensif, Guru," kata Ling. "Aku akan mengajarinya kontrol dan presisi."

"Itu bagus, Ling," kata Guru Tua Lung. "Tapi kita butuh lebih dari itu. Ma Cang akan kembali dalam beberapa hari. Kita harus punya strategi."

Jago, yang selama ini hanya mendengarkan, tiba-tiba angkat bicara. "Strategi?"

"Ya, Jago," kata Mei. "Rencana untuk mengalahkan musuh yang lebih banyak dan lebih kuat."

"Pernahkah kalian berpikir untuk... membuat perangkap?" tanya Jago. "Atau... menggunakan keuntungan lingkungan?"

Semua mata menatap Jago. Ide itu terdengar sangat praktis, seperti sebuah program yang dirancang untuk efisiensi maksimum.

"Perangkap?" ulang Ling. "Bagaimana maksudmu?"

Jago berdiri dan mulai menjelaskan. Ia menggambar di tanah dengan jarinya, membuat sketsa tata letak perguruan. "Kita bisa menyusun jebakan tali di sini, lalu menumpuk batu di atas sana. Saat mereka lewat, kita lepaskan batunya. Lalu, kita bisa menyembunyikan diri di balik bambu-bambu ini, dan saat mereka mendekat, kita serang dari segala arah."

Idenya sederhana, brutal, dan sangat logis. Sebuah strategi yang dihitung berdasarkan efisiensi kerusakan dan penggunaan medan.

"Itu... itu ide yang cerdik, Jago!" seru Kai, matanya berbinar.

Mei dan Ling saling pandang. Mereka adalah petarung, terbiasa dengan duel satu lawan satu atau pertarungan kelompok kecil yang mengandalkan teknik bela diri. Strategi "perang gerilya" seperti ini adalah sesuatu yang asing bagi mereka.

Guru Tua Lung mengangguk pelan. "Menarik sekali, Jago. Sebuah pemikiran yang sangat... pragmatis." Ia tersenyum, menyadari bahwa cara berpikir Jago yang 'robotik' justru menjadi aset yang tak terduga. "Baiklah. Besok, kita akan mulai mempersiapkan perangkap. Ling, kau awasi Jago. Mei, kau siapkan jebakan tali. Kai, kau bantu mengumpulkan batu-batu."

Malam itu, di bawah langit berbintang, Jago menatap bintang-bintang di angkasa. Ia tidak tahu dari mana ia berasal, atau mengapa ia merasa begitu berbeda dari manusia lainnya. Tetapi satu hal yang ia tahu, ia akan melindungi perguruan ini. Ia akan menggunakan segala kekuatannya, segala logikanya, dan segala "energi" yang ia dapatkan dari makan daging panggang atau sesekali meminum oli bekas, untuk melindungi keluarga barunya. Pertempuran sesungguhnya baru saja akan dimulai.