Bab 4: Persiapan Perang dan Kejenakaan di Balik Keseriusan

Keesokan paginya, suasana di Perguruan Naga Langit berbeda dari biasanya. Ketegangan menyelimuti udara, namun di saat yang sama, ada gairah baru yang membakar semangat para murid. Ancaman Geng Cakar Harimau yang akan kembali dengan kekuatan penuh telah mengubah rutinitas damai mereka menjadi persiapan perang. Namun, dengan Jago di tengah-tengah mereka, persiapan itu jauh dari kata membosankan.

"Ingat," kata Jago, memegang sebuah gambar kasar yang ia gambar di tanah dengan batang bambu. "Kita butuh setidaknya dua lapis jebakan tali di sini." Ia menunjuk area di dekat gerbang depan. "Ketika mereka tersandung yang pertama, mereka akan jatuh, dan itu akan mengaktifkan tali kedua yang menarik beberapa kayu gelondongan ini ke arah mereka."

Mei, yang biasanya sangat terstruktur dalam segala hal, menatap Jago dengan tatapan tidak percaya. "Kayu gelondongan? Dari mana kita mendapatkan kayu gelondongan sebesar itu?"

Jago tersenyum. "Aku sudah memotong beberapa di hutan bambu belakang. Aku bisa mengangkutnya kemari."

Dan benar saja, dalam waktu singkat, Jago kembali dengan tiga batang bambu raksasa yang sudah dipotong dan diikat menjadi satu, menyeretnya dengan satu tangan seolah itu hanya seutas benang. Mei dan Ling hanya bisa ternganga. Mengangkat satu batang bambu saja membutuhkan empat orang.

"Hebat, Jago!" seru Kai, yang ditugaskan untuk mengumpulkan batu-batu besar. Ia sendiri sudah berhasil menyeret beberapa batu seukuran kepala manusia dengan susah payah.

Jago meletakkan bambu-bambu itu dengan hati-hati. "Ini untuk mengganjal, agar mereka tidak bisa bergerak setelah jatuh. Dan untuk batunya, Kai, kita butuh yang lebih besar lagi. Sekitar seukuran kepala sapi."

Kai menelan ludah. "Kepala sapi?"

"Ya," Jago mengangguk serius. "Jika mereka terkena yang kecil, mungkin hanya pusing. Kita ingin mereka benar-benar tidak bisa bangun."

Mei menghela napas. "Baiklah, Jago, kau dan Ling urus jebakan tali dan kayu gelondongan. Aku akan mengawasi Kai dengan batu-batu itu."

Ling, yang biasanya tenang dan serius, tidak bisa menahan senyum tipis. Bekerja dengan Jago adalah pengalaman yang unik. Jago bergerak dengan efisiensi yang mengerikan. Ia bisa menggali lubang untuk jebakan dengan tangan kosong dalam hitungan detik, menancapkan pasak dengan satu dorongan, dan mengikat tali dengan simpul yang begitu kuat sehingga mustahil dilepaskan.

"Jago," kata Ling, saat Jago sedang mengikat tali jebakan dengan kecepatan kilat. "Kau begitu cepat dan kuat. Apakah kau tidak pernah lelah?"

"Lelah?" Jago memiringkan kepala. "Apa itu lelah? Seperti saat kalian menguap setelah seharian berlatih?"

"Semacam itu," Ling menjelaskan. "Tubuh manusia memiliki batas. Setelah melakukan aktivitas fisik yang berat, kita butuh istirahat untuk memulihkan diri."

"Oh, kalau begitu, aku mungkin tidak tahu lelah," Jago merenung. "Aku hanya merasa... dengungan energiku berkurang. Dan itu bisa diperbaiki dengan makan."

Ling menatap Jago, teringat kebiasaan Jago meminum oli bekas atau mengunyah besi berkarat. "Jago, kau harus berhati-hati. Tidak semua yang berkilau adalah makanan."

"Tapi rasanya sangat berenergi!" Jago bersikeras. "Seperti arus listrik yang sangat menyenangkan di dalam."

"Itu mungkin karena... kau bukan manusia biasa," Ling hampir saja terpeleset lidah, tetapi ia berhasil menahan diri. "Beberapa hal mungkin baik untuk tubuhmu, tapi tidak untuk manusia lain."

Jago mengangguk. "Aku mengerti. Jadi, aku harus membedakan makanan untukku dan makanan untuk manusia lain." Ia tampak mencatat hal itu di dalam "otaknya".

Sementara itu, di sisi lain halaman, Kai sedang bersusah payah mencoba memindahkan batu seukuran kepala kambing. Mei mengawasinya, memberikan instruksi. "Angkat dengan kakimu, Kai! Gunakan Chi-mu! Rasakan energinya!"

Kai mengerang. "Susah, Mei! Batu ini berat sekali!"

Jago, yang baru saja selesai memasang salah satu jebakan kayu gelondongan, melihat Kai kesulitan. Ia mendekat, lalu dengan santai mengangkat batu yang dipermasalahkan Kai dengan satu jari, dan meletakkannya di tumpukan batu yang sudah Kai kumpulkan.

"Oh, begitu saja?" tanya Jago. "Tadi kau bilang itu berat."

Kai hanya bisa melongo. Mei menatap Jago dengan tatapan frustrasi yang bercampur kagum. "Jago! Jangan ganggu dia! Dia sedang berlatih!"

"Aku hanya membantu," kata Jago polos.

"Bantuanmu terlalu... ekstrem!" Mei mendesah. "Begini, Jago, jika kau terus-menerus melakukan semuanya untuk kami, kapan kami akan menjadi kuat?"

"Oh," Jago kembali merenung. "Aku mengerti. Jadi, kalian butuh kesulitan agar bisa tumbuh?"

"Tepat!" kata Mei.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan membuat segalanya sedikit lebih menantang untuk kalian." Dan Jago pun mulai mencari batu-batu yang jauh lebih besar lagi, yang bahkan Kai tidak akan bisa menggesernya meskipun dengan sekuat tenaga. Mei ingin menampar dahinya, tetapi ia menahan diri.

Guru Tua Lung, yang duduk di beranda, hanya tersenyum melihat kekacauan terorganisir di halaman perguruan. Ia melihat bagaimana Jago, dengan kepolosannya dan kekuatannya yang tak terhingga, justru memotivasi murid-muridnya dengan cara yang unik. Ling semakin serius dalam melatih Jago, mencoba memahami cara kerja tubuhnya. Mei, meskipun sering kesal, diam-diam mulai mengakui kemampuan Jago yang luar biasa. Dan Kai, ia menemukan pahlawan baru dalam diri Jago.

Menjelang sore, seluruh jebakan sudah siap. Gerbang utama tampak biasa saja dari luar, namun di baliknya tersembunyi jebakan tali dan kayu gelondongan yang mematikan. Jalur menuju ruang utama dipenuhi perangkap kawat yang nyaris tak terlihat, yang jika terinjak akan memicu suara bel peringatan dan menjatuhkan jaring-jaring berat. Bahkan di belakang dapur, Jago menanam beberapa ranjau "bau busuk" menggunakan campuran bahan-bahan dapur yang sudah membusuk dan beberapa ramuan herbal yang baunya menyengat, yakin itu akan mengganggu indra penciuman musuh.

"Ini adalah strategi 'menghindari kontak langsung'," jelas Jago kepada Mei dan Ling. "Kita melemahkan mereka dengan perangkap, mengacaukan formasi mereka, lalu menyerang saat mereka paling rentan."

Ling mengangguk. "Itu strategi yang cerdas. Tidak mengandalkan kekuatan murni, tetapi kecerdikan."

"Tentu saja," Jago mengangguk. "Ini adalah efisiensi tempur maksimal."

Ketika malam tiba, kelima penghuni Perguruan Naga Langit berkumpul untuk makan malam terakhir mereka sebelum pertempuran yang mungkin akan datang esok hari. Ada keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan kesepian, melainkan keheningan antisipasi.

"Jangan takut," kata Guru Tua Lung, memecah kesunyian. "Kita telah melakukan yang terbaik. Hasilnya, serahkan pada takdir."

Jago, yang sedang mengunyah sepotong besi tua yang ia temukan di dapur (ia bersikeras itu membuatnya merasa "lebih tajam"), menatap Guru Tua Lung. "Aku tidak takut, Guru. Aku... aku merasa siap."

Mei menatapnya. "Kau tidak tahu rasanya takut, Jago."

"Mungkin," Jago merenung. "Tapi aku tahu rasanya ingin melindungi kalian. Itu... itu terasa penting bagiku."

Ling mengangguk setuju. Ia mulai melihat sesuatu yang lebih dari sekadar robot dalam diri Jago. Ada loyalitas, ada keinginan untuk melindungi, ada semacam ikatan yang tumbuh di antara mereka.

Malam itu, bulan bersinar terang, menerangi hutan bambu dan atap Perguruan Naga Langit. Di kejauhan, mereka bisa mendengar lolongan serigala dan suara-suara malam yang lain. Semua orang pergi tidur, meskipun sedikit yang benar-benar bisa tidur nyenyak. Kecuali Jago. Ia duduk di beranda, matanya berbinar redup, memproses data, menghitung probabilitas, dan mempersiapkan diri. Ia tidak butuh tidur, ia hanya butuh mode standby untuk menghemat energi. Namun, malam itu, ia memutuskan untuk tetap "terjaga," memindai setiap suara, setiap bayangan yang bergerak di antara pepohonan.

Ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat di kejauhan. Bukan langkah kaki biasa. Banyak. Bergerombol.

Jago berdiri. Sensor internalnya mendeteksi peningkatan jumlah target yang mendekat. Matanya bersinar lebih terang. Ia melihat ke arah timur, ke arah gunung tempat Geng Cakar Harimau bermarkas.

"Mereka datang," bisik Jago, suaranya seperti bisikan angin di antara bambu. "Lebih cepat dari perkiraan."

Alarm internalnya berbunyi pelan. Ini bukan lagi latihan. Ini adalah pertempuran. Dan Jago, sang Jagoan Besi yang mengira dirinya manusia, siap untuk melindungi rumah barunya.