Jago, dengan langkah tenang namun penuh tekad, mengikuti para pemuda sombong itu menuju aula besar di jantung Ibukota Luminara. Ia tidak peduli dengan keramaian atau kemegahan arsitektur; fokusnya adalah pemulihan aset dan prinsip keadilan. Namun, saat ia melangkah masuk ke dalam aula, sebuah suara tegas menghentikan langkahnya.
"Maaf, Tuan," kata seorang penjaga bertubuh kekar, menghalangi jalan Jago dengan tombaknya. "Anda harus mendaftar terlebih dahulu jika ingin memasuki Aula Pahlawan. Ini adalah pertemuan penting untuk calon pahlawan, bukan pasar."
Jago memproses informasi itu. Ia tidak memiliki kebutuhan untuk menjadi pahlawan di mata mereka; misinya adalah melindungi dan menyeimbangkan. Namun, untuk menagih utang, ia harus masuk. "Solusi optimal: Mematuhi prosedur. Tujuan: Akses internal."
"Baik," kata Jago, suaranya tenang. "Saya akan mendaftar."
Penjaga itu, sedikit terkejut dengan kepatuhan Jago, mengarahkannya ke meja pendaftaran di samping pintu. Seorang juru tulis tua dengan kacamata tebal menatap Jago, sedikit terkejut dengan penampilannya yang begitu sempurna dan asing.
"Nama?" tanya juru tulis itu.
"Jago," jawab Jago.
"Pekerjaan?"
"Pelindung."
Juru tulis itu mencatatnya dengan alis terangkat. Setelah proses pendaftaran singkat, yang diakhiri dengan Jago menerima lencana kecil bertuliskan "Calon Pahlawan", ia akhirnya diizinkan masuk ke dalam aula.
Aula besar itu megah, dengan langit-langit tinggi, pilar-pilar batu yang menjulang, dan tribun-tribun yang dipenuhi ratusan orang. Jago segera mengaktifkan sensornya, memindai kerumunan untuk menemukan jejak energi para pemuda yang berutang padanya. Ia menemukannya, duduk di barisan depan, masih tertawa-tawa dan membual.
Jago mulai melangkah maju, melewati barisan demi barisan. Namun, sebelum ia sempat mencapai mereka, seorang pria dengan jubah sutra mewah, yang tampaknya adalah pembawa acara, melangkah ke tengah panggung.
"Perhatian! Perhatian, hadirin sekalian!" suaranya menggelegar di seluruh aula. "Acara pemilihan pahlawan akan segera dimulai! Mohon semuanya duduk di bangku masing-masing!"
Jago, yang terbiasa dengan disiplin dan efisiensi, memproses instruksi itu. "Prioritas utama saat ini: Ketaatan aturan. Penagihan utang: Ditunda hingga acara selesai." Ia menemukan bangku kosong di bagian belakang dan duduk dengan tenang, matanya tetap tertuju pada para pemuda itu. Ia bisa menagih mereka setelah ini selesai.
Setelah semua orang duduk, seorang pria yang terlihat sangat kuat dan memiliki aura kepemimpinan yang kharismatik berdiri di tengah aula. Rambutnya abu-abu di pelipis, dan bekas luka lama menghiasi wajahnya yang tegas. Ia adalah ksatria veteran, dengan zirah yang bersih dan sebuah pedang besar yang terhunus di sampingnya.
"Salam, para calon pahlawan! Saya Sullivan," katanya dengan suara yang dalam dan menggelegar, meskipun hampir semua orang di aula sudah tahu siapa dia. "Mantan pahlawan yang telah mengabdi kepada kerajaan ini selama bertahun-tahun."
Sullivan mulai menceritakan kisah-kisah pertempurannya melawan berbagai jenis iblis, dari goblin rendahan hingga makhluk-makhluk yang lebih kuat dan licik. Ia menjelaskan taktik dan kelemahan masing-masing jenis iblis, sebuah pelajaran berharga bagi para calon pahlawan.
"Setiap iblis berbeda," jelas Sullivan. "Beberapa rentan terhadap api, yang lain terhadap es, dan ada pula yang bisa dilumpuhkan dengan serangan kecepatan. Seorang pahlawan sejati tidak hanya kuat, tetapi juga bijaksana."
Saat Sullivan selesai bercerita, tiga orang keluar dari balik panggung menuju tempat Sullivan berdiri. Mereka membawa tiga pedang artefak yang legendaris, masing-masing bersinar dengan aura uniknya sendiri. Pedang pertama memancarkan kekuatan api yang berkobar, gagangnya terbuat dari logam gelap. Pedang kedua, dengan bilah kristal es, memancarkan aura dingin yang menusuk. Dan pedang terakhir, bilahnya tipis dan elegan, berdesir dengan kekuatan angin.
"Ini adalah Pedang Kemarahan Api, Pedang Embun Beku, dan Pedang Pusaran Angin," kata Sullivan, suaranya dipenuhi rasa hormat. "Pedang-pedang ini telah memilih pahlawan di masa lalu. Siapa saja yang dapat memegang salah satu pedang ini dan membangkitkan kekuatannya, maka pedang itu akan memilihnya sebagai majikannya. Hanya ada tiga pahlawan yang akan dipilih hari ini. Maju dan coba keberuntungan kalian!"
Semua orang di aula segera berbaris, bersemangat untuk mencoba peruntungan mereka. Menjadi pahlawan adalah impian banyak orang di dunia yang dikuasai iblis ini. Mereka melihat kesempatan untuk mendapatkan ketenaran, kekayaan, dan kekuatan untuk melawan kegelapan.
Jago tidak tertarik dengan pedang itu. Kekuatan Chi-nya sendiri jauh melampaui kemampuan artefak kuno, dan ia tidak membutuhkan pengakuan dari mereka untuk menjadi pelindung. Jadi, ia memutuskan untuk menjadi peserta terakhir, mengamati barisan orang-orang yang antusias. Ia tetap fokus pada para pemuda yang berutang kepadanya, memastikan mereka tidak melarikan diri dari pandangannya.
Satu per satu, para calon pahlawan maju, mencoba memegang pedang. Mereka mencoba Pedang Api, Pedang Es, dan Pedang Angin. Namun, tidak ada satu pun dari pedang itu yang bereaksi. Pedang-pedang itu tetap kusam di tangan mereka, seolah menolak untuk mengakui tuan. Rasa frustrasi dan kekecewaan mulai melanda aula.
Setelah banyak sekali yang tidak terpilih, akhirnya ada seorang wanita muda cantik yang melangkah maju. Ia memiliki rambut panjang berwarna putih salju yang menjuntai hingga pinggang, dan matanya berwarna biru es yang tajam. Ia mengambil Pedang Embun Beku. Saat tangannya menyentuh gagangnya, pedang itu bergetar, dan kemudian, sebuah cahaya biru terang memancar dari bilah kristal es, menyelimuti wanita itu dalam aura dingin yang indah. Aula terkesiap. Pedang itu telah memilihnya.
"Luar biasa!" seru Sullivan. "Sang pedang telah memilih tuan! Anda adalah Esmeria, Sang Permaisuri Es yang Baru!"
Kemudian, seorang wanita muda lain melangkah maju. Ia memiliki telinga yang sedikit runcing, ciri khas suku Elf, dan rambutnya berwarna coklat keemasan. Ia mengambil Pedang Pusaran Angin. Begitu tangannya menyentuh gagang, pedang itu bersiul pelan, dan kemudian, bilahnya memancarkan cahaya hijau terang yang berputar-putar, menciptakan pusaran angin kecil di sekitarnya. Ini juga sebuah keajaiban!
"Fantastis!" seru Sullivan, semangatnya membara. "Sang pedang telah memilih! Anda adalah Aeris, Sang Penari Angin yang Baru!"
Kini, hanya tersisa Pedang Kemarahan Api. Kerumunan semakin bersemangat. Siapa pahlawan ketiga yang akan terpilih?
Tiba-tiba, salah satu dari pemuda yang ingin Jago tagih utang melangkah maju dengan angkuh. Ia memiliki rambut pendek berwarna merah menyala dan senyum percaya diri yang mengganggu. Ia mengambil Pedang Kemarahan Api. Saat tangannya menggenggam gagang pedang, bilahnya segera memancarkan cahaya merah terang yang berkobar, dan aura panas membakar menyelimuti pemuda itu. Pedang itu telah memilihnya!
Aula bersorak riuh. Tiga pahlawan telah terpilih!
"Dan akhirnya!" seru Sullivan. "Pedang telah memilih! Anda adalah Valerius, Sang Pemadam Api yang Baru!"
Valerius, dengan terpilihnya dia sebagai pahlawan, menjadi lebih sombong lagi. Ia tersenyum miring ke arah teman-temannya, lalu ke arah Jago yang duduk di belakang. Ia bahkan menepuk-nepuk kantungnya, seolah mengejek Jago.
Jago mengamati. "Tiga individu telah teridentifikasi sebagai 'pahlawan' oleh artefak. Status utang: Belum terbayar. Waktu yang tepat untuk penagihan: Setelah acara utama selesai."
Kini giliran Jago untuk maju, namun ia tidak berniat mencoba pedang itu. Misinya masih sama, dan kali ini, ia akan memastikan bahwa keadilan ditegakkan, baik di medan perang maupun di meja perdagangan.