Di bawah kepemimpinan Jago, desa itu telah bertransformasi menjadi sebuah oase kemajuan dan ketenangan di tengah dunia yang kelam. Jago, sang kepala desa, memberikan nama baru untuk pemukiman yang telah ia bangun ini: Desa Naga Langit. Nama itu bukan hanya simbol dari perlindungan yang tak tergoyahkan, tetapi juga dari aspirasi baru yang tinggi, mencerminkan kemampuan Jago yang melampaui batas bumi. Penduduk hidup dalam kedamaian yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Ketakutan akan serangan iblis telah lenyap di balik tembok batu kokoh, dan kelaparan adalah kenangan buruk masa lalu berkat pasokan makanan yang melimpah.
Setiap hari adalah bukti nyata keajaiban yang dibawa Jago. Anak-anak belajar ilmu pengetahuan modern di siang hari dan berlatih Chi serta bela diri di sore hari. Para ibu-ibu menikmati kemudahan peralatan listrik, dan para pekerja membangun infrastruktur baru dengan bantuan Jago yang tiada henti. Desa Naga Langit adalah sebuah anomali, sebuah titik terang yang terus membesar di hadapan tirani Raja Iblis Senen.
Suatu pagi, rombongan pemburu yang dipimpin oleh seorang pemuda gagah pulang dengan membawa informasi mengejutkan. Mereka tidak hanya membawa hasil buruan yang melimpah, tetapi juga berita tentang penemuan mereka: sebuah desa goblin yang tersembunyi jauh di dalam hutan, tidak jauh dari perbatasan wilayah Desa Naga Langit.
"Mereka ada banyak sekali, Tuan Kepala Desa," lapor sang pemburu. "Kita harus bersiap, mereka bisa menyerang kita kapan saja."
Jago memproses informasi itu. Keberadaan sarang goblin yang begitu dekat adalah ancaman langsung bagi kedamaian yang telah ia bangun. "Ancaman teridentifikasi. Probabilitas serangan: Meningkat. Solusi: Eliminasi ancaman di sumbernya."
Tanpa penundaan, Jago memutuskan untuk memusnahkan desa goblin itu. Ia tidak ingin menunggu sampai goblin-goblin itu mengganggu kedamaian Desa Naga Langit. Dengan Lyra yang kini tumbuh menjadi murid Chi yang cakap dan gesit di sampingnya, Jago memimpin sekelompok kecil pasukan patroli terbaik yang dipersenjatai pistol Colt M1911.
Perjalanan ke desa goblin tidak memakan waktu lama. Jago, dengan kecepatan dan sensor canggihnya, memimpin mereka melewati hutan lebat dengan mudah. Ketika mereka tiba di desa goblin, pemandangan yang menyedihkan terlihat. Gubuk-gubuk reyot, bau busuk, dan puluhan goblin yang hidup dalam kekacauan. Namun, di tengah semua itu, Jago mendeteksi beberapa sinyal kehidupan manusia yang terjebak di dalam kandang-kandang.
"Target prioritas: Pembebasan sandera. Pemusnahan unit musuh," perintah Jago.
Pertempuran itu singkat dan menentukan. Jago bergerak seperti bayangan di antara goblin-goblin, melumpuhkan mereka dengan pukulan presisi atau menembak jatuh mereka dengan pistolnya yang sangat akurat. Pasukan patroli yang dipimpinnya bergerak dengan disiplin, menembak goblin-goblin yang mencoba melarikan diri. Dalam waktu singkat, desa goblin itu telah "dibersihkan," dan ancaman mereka dihilangkan.
Jago segera mendekati kandang-kandang tempat manusia-manusia malang itu ditawan. Ada sekitar dua puluh orang, kurus, lemah, dan ketakutan. Jago membebaskan mereka dan berbicara dengan suara mekanisnya yang lembut. "Anda aman sekarang. Kalian akan ikut kami ke Desa Naga Langit. Kalian akan diterima di sana."
Para manusia yang baru diselamatkan itu menatap Jago, sosok berwajah tampan dengan mata biru terang, dan para prajurit bersenjata aneh di belakangnya. Mereka masih trauma, tetapi ada secercah harapan di mata mereka. Ketika mereka tiba di Desa Naga Langit, mereka terkesima.
Mereka melihat jalanan batu marmer yang mulus, lampu-lampu jalan yang menyala terang di malam hari, rumah-rumah modern dengan suhu yang nyaman di segala musim, tembok-tembok benteng yang menjulang kokoh dan dijaga ketat, dan yang paling mengejutkan, makanan yang berlimpah ruah—daging empuk, sayuran segar, dan buah-buahan yang manis. Mereka belum pernah melihat kemewahan dan keamanan seperti ini seumur hidup mereka. Desa Naga Langit terasa seperti surga di tengah neraka.
"Ini... ini sungguh nyata?" bisik seorang wanita yang diselamatkan, matanya berkaca-kaca melihat anak-anak bermain tanpa rasa takut.
"Selamat datang di Desa Naga Langit," kata Lyra, tersenyum hangat. "Kami akan menjagamu."
Dengan masuknya warga baru, populasi desa meningkat. Pasokan makanan yang dihasilkan dari pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan modern Jago, yang tadinya hanya berlimpah, kini menjadi sangat melimpah ruago.
"Sistem deteksi: Kelebihan produksi. Solusi: Optimalisasi distribusi melalui perdagangan," Jago memproyeksikan data kepada Lyra. "Kita harus menjual surplus ini."
"Menjualnya? Tapi ke mana?" tanya Lyra.
"Ke ibukota," jawab Jago. "Ibukota Luminara. Berdasarkan data yang saya kumpulkan, itu adalah pusat perdagangan terdekat."
Ibukuota Luminara, menurut informasi yang didapat Jago, tidak terlalu jauh, hanya sekitar dua hari perjalanan menggunakan kuda dari Desa Naga Langit. Jago menyiapkan gerobak besar, mengisi penuh dengan hasil pertanian terbaik mereka: sayuran segar, buah-buahan manis, daging olahan yang empuk, dan beberapa barang kerajinan tangan yang dibuat oleh warga.
Pada pagi hari yang cerah, Jago menarik gerobak yang penuh hasil bumi mereka. Lyra duduk di atas tumpukan hasil panen di gerobak, melambai kepada penduduk desa yang mengucapkan selamat jalan. Jago, dengan wajah tampannya, berjalan di depan, langkahnya mantap.
Yang mengejutkan Lyra, hanya dalam beberapa menit, mereka sudah sampai di gerbang megah Ibukota Luminara. Perjalanan dua hari dengan kuda telah ditempuh Jago dalam waktu kurang dari satu jam. Lyra terkesiap.
"Jago! Bagaimana bisa secepat ini?" serunya.
Jago menoleh. "Kecepatan optimalisasi telah diterapkan. Ini adalah perjalanan yang efisien."
Ibukuota Luminara adalah pemandangan yang sibuk, dengan jalanan yang ramai, bangunan tinggi, dan berbagai macam orang dan makhluk. Jago dan Lyra membuka kios sederhana di pasar yang ramai, menggelar barang dagangan mereka. Aroma segar dari hasil bumi mereka segera menarik perhatian.
Beberapa orang datang, terkesima dengan kualitas dan kesegaran barang dagangan Jago. Bisnis mereka berjalan lancar. Namun, di tengah hiruk pikuk itu, datanglah sekelompok pemuda yang tampak sombong, mengenakan pakaian rapi dan membawa pedang yang dihiasi permata. Mereka adalah calon-calon pahlawan yang datang ke ibukota untuk mencari ketenaran dan uang.
"Oh, lihat ini," kata salah satu pemuda, dengan nada merendahkan, mengambil beberapa buah apel terbaik. "Hasil panen desa biasa. Berapa ini?"
"Lima koin perak per lusin," jawab Lyra, sambil menghitung.
Pemuda itu melemparkan dua koin perak di atas meja. "Ambil ini. Kami adalah calon pahlawan. Kami akan menjadi pelindung dunia ini. Anggap saja ini sebagai sumbanganmu untuk masa depan."
Teman-temannya tertawa. Mereka bahkan mengambil beberapa daging olahan tanpa bertanya harganya.
Lyra terkejut dan marah. "Tapi itu tidak cukup! Harganya lebih dari itu!"
Pemuda itu menyeringai. "Jangan khawatir, gadis kecil. Saat kami menjadi pahlawan besar nanti, kami akan mengingatmu. Mungkin." Mereka pergi sambil tertawa, meninggalkan Lyra yang kesal.
Jago, yang selama ini mengamati, memproses kejadian itu. "Transaksi tidak seimbang. Pelanggaran kesepakatan. Prioritas: Pemulihan aset."
Ia menoleh ke Lyra. "Tetap di kios. Jaga barang dagangan."
Tanpa menunggu jawaban Lyra, Jago berbalik dan melangkah pergi, menyusul para pemuda sombong itu. Langkahnya tenang, namun tekadnya jelas. Ia akan menagih utang mereka.
Para pemuda itu berjalan angkuh, menuju sebuah aula besar di pusat ibukota, sebuah tempat yang dipenuhi dengan orang-orang yang juga datang untuk menjadi pahlawan, mencari ketenaran, dan mengukir nama mereka di dunia. Mereka tidak tahu bahwa seorang "penagih hutang" yang luar biasa sedang mengejar mereka, dan sebentar lagi, ego mereka akan hancur oleh kebenaran yang tak terduga.