Rantai Tak Terlihat

Kegelapan adalah hal pertama yang menyapa Rifki saat ia perlahan menarik kesadarannya kembali. Bukan kegelapan malam yang ia kenal, bukan gelapnya kamar kos saat lampu dimatikan, melainkan kegelapan absolut yang menelan segalanya, tanpa sedikit pun celah cahaya. Ia mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa sangat berat, seolah ditindih batu. Kepalanya berdenyut hebat, berirama dengan detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Bau apek, debu, dan sesuatu yang amis menusuk hidungnya, jauh lebih kuat dari saat ia masih samar-samar sadar di dalam mobil van. Bau itu, seperti bau kematian yang tersembunyi, membuat perutnya bergejolak.

Perlahan, ingatan tentang apa yang terjadi mulai kembali. Jogja yang ramah, jalanan sepi, van hitam, tangan yang membekap, bau manis memabukkan. Sebuah jeritan tanpa suara tersangkut di tenggorokannya. Ia mencoba bergerak, tapi sebuah sensasi dingin dan keras menghentikan gerakannya. Pergelangan tangannya terasa terbelenggu, terikat erat. Rifki mengerahkan sisa-sisa kekuatannya, mencoba mengangkat tangannya, tapi yang ia rasakan hanyalah gesekan tali atau rantai yang menusuk kulitnya. Ia terikat. Rapat. Tak bisa bergerak bebas.

Panik mulai menyergap, menusuk dingin hingga ke ulu hati. Ia menggerakkan kakinya, mencoba mencari pijakan, tapi lagi-lagi, pergelangan kakinya juga terikat. Ia terbaring di permukaan yang keras dan dingin, seolah lantai beton yang dilapisi sesuatu yang lembap dan kotor. Di mana ia? Apa yang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di benaknya, bertabrakan satu sama lain, menciptakan badai kebingungan dan ketakutan.

Ia berusaha memfokuskan pendengarannya. Ada suara-suara. Samar, jauh, tapi nyata. Suara deru mesin yang konstan, seperti suara generator atau pendingin udara raksasa. Dan... suara isakan. Pelan, tertahan, tapi jelas itu suara tangisan seseorang. Atau lebih dari satu orang? Suara itu membuat bulu kuduknya meremang. Ia tidak sendirian di dalam kegelapan ini.

"Halo?" Rifki mencoba memanggil, tapi suaranya serak dan pecah, tenggorokannya kering kerontang seolah tidak minum selama berhari-hari. Panggilannya tidak menghasilkan jawaban. Suara isakan itu mendadak berhenti, mungkin karena terkejut mendengar suaranya. Kegelapan kembali terasa hening, hanya ditemani deru mesin yang monoton.

Ia berbaring, mencoba menenangkan napasnya yang memburu. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara di ruangan ini tipis dan pengap. Ia mencoba meraba sekeliling dengan tangannya yang terikat. Tali. Bukan rantai. Tali yang kuat, diikatkan ke sesuatu yang kokoh di atas kepalanya. Ia tidak bisa duduk tegak, hanya bisa berbaring miring atau telentang. Ruangan itu terasa sempit, berbau pengap, dan lembap. Seperti bunker, atau ruang bawah tanah.

Pikirannya melayang pada keluarganya. Ibunya, yang pasti sudah cemas karena ia tidak kunjung menelepon. Ayahnya, yang selalu mengajarkan untuk berani dan tidak menyerah. Saudara-saudaranya. Teman-teman kampusnya. Mereka semua pasti mencarinya. Ini pasti penculikan. Tapi untuk apa? Uang tebusan? Keluarganya bukan orang kaya. Mereka hanya keluarga biasa yang hidup pas-pasan. Apa yang salah? Mengapa ia?

Kepanikan kembali melonjak, diikuti oleh gelombang mual yang membanjiri perutnya. Ia merasa ingin muntah, tapi tidak ada apa-apa di perutnya selain rasa perih. Tubuhnya terasa lemas, tidak berdaya. Sisa efek obat bius masih merayapi setiap serat ototnya, membuat gerakannya lambat dan tidak bertenaga.

Tiba-tiba, sebuah suara berat yang familiar terdengar dari sudut ruangan. Suara langkah kaki yang menyeret, diikuti oleh erangan pelan.

"Kau sudah bangun?" Suara itu serak, seperti seseorang yang sudah lama tidak bicara.

Rifki terkesiap. "Siapa itu?"

Tidak ada jawaban. Hanya erangan dan suara gesekan tali.

"Aku... aku tidak bermaksud apa-apa," Rifki mencoba lagi, suaranya sedikit lebih kuat. "Siapa kau? Kita di mana?"

Orang itu terdiam sejenak. "Aku... aku tidak tahu. Aku di sini... sudah lama."

Rifki mencoba mencari arah suara. Suara itu terdengar lesu, penuh keputusasaan.

"Apa yang terjadi? Mengapa kita diikat?"

"Mereka... mereka mengambil kita," jawab suara itu, hampir seperti bisikan. "Untuk dijual."

Jantung Rifki serasa berhenti berdetak. Dijual? Untuk apa? Perdagangan manusia? Kata-kata itu berputar di otaknya, mengukir ketakutan yang lebih dalam dari sekadar penculikan. Gambar-gambar mengerikan yang pernah ia baca di berita atau tonton di film berkelebat di benaknya. Tidak, ini tidak mungkin nyata. Ini pasti mimpi buruk.

"Tidak, ini tidak mungkin," Rifki menggumam, lebih kepada dirinya sendiri. "Mereka tidak bisa melakukan ini."

Orang itu terkekeh pelan, tawa yang kering dan pahit. "Oh, mereka bisa. Dan mereka akan."

Hening kembali menyelimuti. Hanya deru mesin dan napas mereka yang berpacu dalam gelap. Rifki mencoba bertanya lagi, mencari informasi, tapi orang itu diam seribu bahasa, seolah pasrah pada takdir.

Setelah beberapa waktu yang terasa seperti keabadian, suara yang sangat dekat dengannya membuat Rifki terlonjak. Sebuah pintu logam berderit terbuka, mengeluarkan suara gesekan yang mengerikan. Samar-samar, seberkas cahaya tipis menyelinap masuk. Bukan cahaya matahari, melainkan cahaya remang-remang dari lampu neon yang jauh di luar. Cahaya itu menerangi sebagian kecil ruangan, menampakkan siluet beberapa orang yang berdiri di ambang pintu. Mereka bertubuh besar, mengenakan pakaian gelap, wajah mereka tertutup bayangan.

"Waktunya makan," salah satu suara berat menggeram. Bukan suara yang lembut, melainkan perintah kasar.

Rifki melihat ada tiga sosok yang masuk. Dua membawa nampan, satu membawa ember dan gayung. Mereka bergerak cepat, tanpa bicara. Rifki merasakan sentuhan kasar di tangannya saat talinya sedikit dilonggarkan. Ia dipaksa duduk, di depannya diletakkan piring kaleng berisi bubur hambar dan segelas air. Air itu terasa seperti air surga bagi tenggorokannya yang kering. Ia menenggak habis dalam sekali teguk.

Cahaya remang-remang itu cukup untuk menunjukkan sekelilingnya. Ia berada di sebuah ruangan sempit, mungkin sekitar 3x4 meter, dengan dinding beton telanjang yang lembap dan kotor. Di sudut ruangan, ada sesosok tubuh lain, terikat sama sepertinya, menunduk lesu di depan piring makan. Ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Selain mereka berdua, ruangan itu kosong. Bau amis yang tadi tercium ternyata berasal dari genangan kecil di salah satu sudut ruangan, mungkin bekas muntahan atau cairan tubuh lainnya.

"Makan," perintah salah satu pria, menendang pelan kaki Rifki.

Rifki mulai makan, meskipun nafsu makannya hilang. Bubur itu hambar, dingin, dan terasa seperti ampas. Tapi ia tahu ia harus makan. Ia harus mempertahankan kekuatannya. Jika ia ingin keluar dari sini, ia butuh tenaga.

Saat ia makan, matanya melirik ke sekeliling, mencoba mencari celah, apa pun yang bisa ia gunakan. Tidak ada jendela. Pintu logam itu terlihat kokoh, tertutup rapat. Ventilasi? Mungkin ada, tapi terlalu tinggi untuk dijangkau. Sebuah lampu kecil tergantung di langit-langit, memancarkan cahaya redup yang hanya menerangi bagian tengah ruangan. Tidak ada perabot, tidak ada apa-apa, hanya dinding-dinding beton yang dingin dan kotor.

Setelah beberapa menit, para pria itu kembali. Mereka mengumpulkan piring dan gelas kosong, lalu mengikat kembali tangan Rifki dengan ketat. Kali ini, mereka mengikatnya ke sebuah pipa besi yang tertanam di dinding. Ia tidak bisa lagi berbaring bebas. Ia hanya bisa duduk bersandar, tubuhnya terasa pegal dan sakit.

"Ingat, jangan coba-coba," salah satu pria berkata dengan suara rendah dan mengancam, seolah membaca pikirannya. "Percuma."

Pintu logam kembali berderit dan ditutup dengan suara keras, meninggalkan Rifki kembali dalam kegelapan dan keheningan, hanya ditemani deru mesin yang tak kunjung berhenti dan suara napasnya sendiri. Teman tawannya di sudut sana juga tidak bersuara lagi.

Rifki menyandarkan kepalanya ke dinding yang dingin, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Ia sudah dewasa, mahasiswa teknik, seharusnya kuat. Tapi rasa takut ini begitu besar, melumpuhkan seluruh inderanya. Ia merindukan kehangatan kasur kosan, suara riuh teman-teman, aroma masakan Ibu. Semuanya terasa begitu jauh, seperti kehidupan lain yang tak akan pernah bisa ia sentuh lagi.

Ia berpikir tentang Jogja. Kota yang ia cintai. Kota yang menjadi saksi bisu impian-impiannya. Apakah ia akan pernah melihatnya lagi? Ia teringat percakapan terakhirnya dengan dosen pembimbing, rencana skripsi, target kelulusan. Semuanya hancur dalam sekejap.

Tubuhnya mulai menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena ketakutan yang menggigit. Ia mencoba memeluk dirinya sendiri, tapi tangan-tangannya terikat. Ia hanya bisa meringkuk, menyandarkan tubuhnya ke dinding, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun, realitas bau apek, dinginnya lantai, dan ikatan di pergelangan tangannya terus menerus mengingatkan bahwa ini adalah kenyataan. Sebuah kenyataan yang jauh lebih brutal dari imajinasinya yang paling liar sekalipun.

Waktu berlalu lambat. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia di sana. Berjam-jam? Seharian? Setiap detik terasa seperti berabad-abad. Ia mencoba tidur, tapi otaknya menolak istirahat. Gambar-gambar menakutkan terus berkelebat: wajah penyerang, van hitam, ibunya yang cemas. Ketakutan itu menggerogoti setiap sel tubuhnya.

Di tengah kegelapan yang pekat itu, Rifki merasakan sesuatu yang lain. Bukan hanya dingin dan kotor, tapi juga kehadiran. Kehadiran orang yang terikat di sudut ruangan. Ia mencoba berbicara lagi.

"Hei," panggilnya pelan.

Tidak ada jawaban.

"Kau baik-baik saja?"

Hening.

Rifki merasa putus asa. Ia ingin tahu, ia ingin mengerti, ia ingin mencari kekuatan dari orang lain. Tapi orang itu memilih diam, mungkin sudah terbiasa dengan nasibnya, atau terlalu takut untuk bicara.

Rifki menutup matanya, membiarkan air mata yang tadinya ia tahan akhirnya mengalir. Air mata panas yang membasahi pipinya yang kotor. Ini bukan lagi Jogja. Ini bukan lagi rumah. Ini adalah neraka, dan ia baru saja tiba di pintunya. Ia tidak tahu apa yang menantinya di balik pintu ini, tapi ia tahu satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Rantai tak terlihat itu, yang mengikat tubuh dan jiwanya, baru saja dimulai.