Waktu adalah ilusi di tempat ini. Rifki tidak tahu sudah berapa lama ia terikat, berbaring atau meringkuk di lantai beton yang dingin. Jam biologisnya kacau. Ia tidak bisa membedakan siang dan malam, hanya gelap yang pekat diselingi jeda singkat saat makanan hambar diantarkan.
Setiap kali pintu logam itu berderit dan cahaya redup menyelinap, ia selalu berharap itu adalah cahaya kebebasan, atau setidaknya pertanda bahwa siksaan akan berakhir. Namun, setiap kali itu pula, ia hanya disuguhi makanan, air, dan kemudian kegelapan kembali menelannya. Keringat dingin sering membasahi dahinya, meskipun suhu ruangan terasa beku. Mimpi buruk sering menghantuinya saat ia berhasil memejamkan mata, wajah-wajah tak dikenal yang membayangi, jeritan yang tidak bisa ia keluarkan.
Pergelangan tangannya mulai lecet, kulitnya terkelupas akibat gesekan tali yang kasar. Sendi-sendinya terasa ngilu karena posisi yang tidak nyaman. Tenggorokannya masih terasa kering, dan perutnya kerap bergejolak. Rasa takut itu terus-menerus membelenggu, seolah ia terendam dalam lautan es yang tidak pernah mencair. Ia berusaha keras untuk tetap berpikir rasional, mencoba mengingat wajah-wajah yang menangkapnya, mencoba mencari cara untuk melarikan diri. Namun, otaknya terasa kabur, terbebani oleh ketakutan dan kelemahan fisik.
Malam itu, atau mungkin pagi buta—ia tak bisa membedakan—suara derit pintu logam itu kembali memecah keheningan. Kali ini, cahayanya lebih terang, meskipun tetap remang-remang. Dan kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada lebih banyak langkah kaki, dan suara-suara bisikan kasar yang lebih banyak dari biasanya. Rifki merasakan alarm bahaya berteriak di dalam kepalanya, lebih keras dari sebelumnya. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melompat keluar.
Dua sosok tinggi besar masuk, disusul oleh seorang pria bertubuh lebih pendek namun dengan postur tegap yang mengancam. Pria pendek itu mengenakan kemeja gelap yang rapi, dengan rambut klimis dan wajah tanpa ekspresi yang menakutkan. Matanya hitam, dingin, dan tajam, seperti mata predator. Ia membawa sebuah tongkat kecil di tangannya, menggerakkannya perlahan, menunjuk ke arah Rifki.
"Bangun," perintah pria itu dengan suara berat, dalam bahasa yang asing namun nadanya sangat jelas. Perintah. Bukan permintaan.
Kedua pria besar itu mendekati Rifki. Rifki mencoba mundur, meronta, tapi tubuhnya terlalu lemah. Mereka mengikat Rifki dengan tali ke sebuah pilar yang kokoh di tengah ruangan. Kini ia terduduk tegak, namun tangannya masih terikat ke belakang dan kakinya juga terikat ke pilar, membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Ia bisa melihat tawanan lain di sudut, meringkuk ketakutan, menatap kosong ke arah dinding.
Pria berkemeja gelap itu mendekat, berdiri tepat di hadapan Rifki. Rifki bisa merasakan aura dingin dan kejam terpancar darinya. Pria itu menunduk, menatap Rifki dari atas ke bawah, seolah menilai sebuah barang. Sebuah senyum tipis, sinis, dan menjijikkan tersungging di bibirnya.
"Bagus," gumam pria itu dalam bahasa yang tidak Rifki pahami, namun ia merasakan getaran ancaman di dalamnya. "Baru, muda, dan... bersih."
Rifki mencoba berkata sesuatu, memohon, apa pun. Tapi tenggorokannya tercekat. Ia hanya bisa menatap mata pria itu, mencari secercah belas kasihan yang tidak pernah ia temukan. Matanya penuh kekejaman, kosong dari kemanusiaan.
Tiba-tiba, pria itu menggerakkan tongkatnya, menyentuh dagu Rifki, memaksa Rifki untuk mendongak. "Kau tidak akan pernah bisa lari dari sini, anak muda," bisiknya dalam bahasa asing itu, terdengar seperti bisikan iblis. Meskipun bahasanya asing, nada dan tatapan matanya memberitahu Rifki bahwa ini adalah ancaman, sebuah pernyataan mutlak tentang nasibnya.
Kemudian, salah satu pria besar itu meraih kerah baju Rifki, menariknya kasar hingga kancing-kancing kemejanya terlepas. Rifki merasakan dinginnya udara menyentuh kulitnya yang terbuka. Ia tahu apa yang akan terjadi. Rasa mual itu kembali, lebih kuat dari sebelumnya, disertai ketakutan yang membuat seluruh tubuhnya gemetar tak terkendali.
"Tidak!" Rifki berhasil mengeluarkan suara, sebuah bisikan putus asa yang nyaris tak terdengar. Ia mencoba meronta, menarik tangannya yang terikat, menendang-nendang dengan kakinya yang terbelenggu. Sebuah pukulan keras mendarat di rahangnya, membuat pandangannya kabur sesaat dan rasa besi membanjiri mulutnya. Ia merasakan darah. Air mata menggenang di pelupuk matanya, panas, membasahi pipinya yang kotor.
Pria berkemeja gelap itu tersenyum lagi, senyum yang menghinakan. "Berteriaklah sesukamu. Tidak ada yang akan mendengar."
Rifki merasakan tangan-tangan kasar merobek sisa pakaiannya. Kain celananya ditarik paksa, menyisakan dirinya telanjang di tengah ruangan yang dingin itu. Ia berusaha memalingkan wajah, menutup mata, mencoba tidak melihat, mencoba tidak merasakan. Namun, rasa sakit itu tak tertahankan. Penghinaan itu begitu besar. Jiwanya meronta, menjerit, menuntut untuk mati saja.
Ia merasakan tubuhnya diangkat paksa, diposisikan secara brutal. Pria berkemeja gelap itu mendekat, tatapan matanya seperti pisau yang menguliti harga dirinya. Rasa sakit dan penghinaan itu begitu besar, melebihi apa pun yang pernah ia bayangkan. Setiap sentuhan, setiap gerakan, terasa seperti siksaan. Ia tidak lagi punya kontrol atas tubuhnya sendiri. Ia adalah objek, sebuah benda yang diperlakukan semena-mena.
Air mata terus mengalir, bukan hanya karena sakit fisik, tapi karena jiwanya hancur. Ia tidak bisa melawan, ia tidak bisa lari. Ia hanya bisa merasakan, menahan, dan membiarkan dirinya ditelan oleh kegelapan yang lebih pekat dari ruangan itu sendiri. Suara erangan tertahan keluar dari tenggorokannya, bukan karena ia ingin, tapi karena tubuhnya tidak bisa menahan rasa sakit itu.
Pikirannya melayang, mencoba melarikan diri dari realitas yang mengerikan ini. Ia mencoba mengingat wajah ibunya, suara tawa teman-temannya, kehangatan matahari pagi di Jogja. Ia mencoba berpegangan pada kenangan-kenangan itu, seolah-olah itu adalah tali penyelamat yang akan menariknya keluar. Tapi kenangan itu terasa jauh, buram, seperti asap yang lenyap di udara.
Ia merasakan setiap gerakan, setiap rasa sakit. Setiap inci tubuhnya terasa dinodai. Ia ingin menjerit, berteriak sekencang-kencangnya, sampai pita suaranya putus. Tapi suaranya terkunci, terperangkap di dalam dirinya, hanya bisa bergema sebagai jeritan internal yang tak terdengar.
Kemudian, ia merasakan semburan rasa sakit yang tajam, seperti ada sesuatu yang merobek bagian dalam dirinya.
Rasa perih itu menjalar ke seluruh tubuhnya, diikuti oleh rasa kebas yang aneh, seolah saraf-sarafnya mati rasa karena terlalu banyak menerima rasa sakit. Ia merasakan tubuhnya kotor, menjijikkan, bukan lagi miliknya sendiri.
Ketika semua itu berakhir, ia merasakan tubuhnya dihempaskan kembali ke lantai yang dingin. Rasa sakit itu belum hilang, namun kini bercampur dengan rasa mual dan pening yang luar biasa.
Ia terbatuk, mencoba menarik napas. Air mata dan ingus membasahi wajahnya. Ia mencoba meringkuk, memeluk lututnya, tapi tangannya masih terikat ke belakang. Ia hanya bisa tergeletak, telanjang, hancur.
Pria-pria itu tertawa. Tawa mereka terdengar seperti suara guntur di telinganya, tawa yang penuh kemenangan dan kekejaman. Pria berkemeja gelap itu berjongkok di depannya, menatapnya dengan tatapan merendahkan.
"Selamat datang di dunia yang baru, anak manis," bisiknya, nadanya penuh ejekan. Ia meludah ke arah Rifki, dan ludah itu mendarat di pipi Rifki.

Rifki tidak bereaksi. Ia hanya tergeletak, matanya kosong, menatap dinding yang basah dan kotor. Jiwanya terasa terkoyak, hancur berkeping-keping.
Mereka tidak membantunya. Mereka hanya meninggalkannya begitu saja, tergeletak di lantai, berlumuran darah dan kehinaan. Pintu logam kembali berderit dan ditutup dengan suara keras, mengunci Rifki kembali dalam kegelapan dan penderitaannya.
Ia tidak bisa bergerak. Setiap ototnya terasa sakit. Darah mengering di tubuhnya, menempel di kulitnya yang dingin. Rasa sakit itu tidak hanya di fisik, tetapi juga di dalam jiwanya. Ia merasa kotor, menjijikkan, tak berharga. Harga dirinya, martabatnya, kemanusiaannya—semuanya telah dicuri dalam satu malam yang mengerikan.
Tangisan yang tertahan akhirnya pecah. Bukan tangisan keras, melainkan isakan-isakan kecil yang bergetar, keluar dari tubuh yang sudah tidak punya tenaga lagi. Ia menangis untuk dirinya yang dulu, untuk kehidupannya yang normal, untuk impian-impiannya yang kini hancur lebur. Ia menangis untuk tubuhnya yang kini ternoda, untuk jiwanya yang kini terluka parah.
Ia hanya ingin mati. Mati saja. Lebih baik mati daripada harus hidup dengan kehinaan ini. Namun, tubuhnya terlalu lemas, terlalu hancur bahkan untuk sekadar mengakhiri penderitaannya sendiri. Ia terperangkap dalam neraka yang baru saja dibuka untuknya, dan ia tahu, ini hanyalah permulaan.